Kado kecil untuk Nenek Amina
“Tanya dong. Hadiah apa kiranya yang layak diberikan pada seorang pahlawan terlupakan? Kalau berupa uang, berapa nilai yang pantas?” Demikian pertanyaan yang saya lempar melalui status Facebook, 15 Mei lalu. Pertanyaan yang sebenarnya intro bagi satu rencana saya.
Tak banyak respon saya dapat. Hanya ada 23 like, tiga love, serta enam komentar. Mungkin saya melempar pertanyaan itu bukan pada waktu yang tepat. Pukul 22:45 WIB, tentu banyak teman Facebook sudah beristirahat.
Menariknya, dari enam respon itu ada tiga usul yang menurut saya fantastis. Dua orang menyebut “rumah”, sedangkan satu lagi menulis “1,2M”, menyiratkan uang sebesar Rp 1,2 miliar sebagai hadiah untuk sang pahlawan terlupakan.
“1,2M masukkan deposito, setiap bulan dia otomatis punya kurang lebih 5jt utk lanjutkan hidup tanpa harus bekerja lagi.” Begitu si pengusul menjabarkan idenya. Sebuah usul jangka panjang yang bagus, saya harus mengakui itu.
Masalahnya, saya tidak dapat membayangkan uang sebanyak Rp 1,2 miliar. Yang terlintas di benak saya ketika itu cuma Rp 25 juta. Bagi saya ini jumlah ideal. Tidak terlalu sedikit sehingga pantas saat diserahkan, juga tidak terlalu banyak untuk diperoleh.
Nilai inilah yang kemudian saya jadikan target ketika dua hari berselang membuka laman donasi di Kitabisa.com.

Nenek Amina Sabtu saat dikunjungi di rumahnya, 17 Agustus 2017. Susah payah saya mencari cara agar dapat menjepret beliau sedang tersenyum begini. FOTO: bungeko.com/Eko Nurhuda
Fatmawati-nya Tidore
Siapakah sang pahlawan terlupakan itu? Namanya Amina Sabtu, nenek 90 tahun di Kelurahan Mareku, Tidore. Sekilas kita hanya akan melihatnya sebagai wanita renta biasa, yang menghabiskan sebagian besar harinya duduk di kursi memandangi sekitar melalui jendela rumah.
Siapa sangka dari kedua tangannya pernah lahir benda bersejarah bagi Republik Indonesia. Selembar bendera dari kain bekas dan dijahit menggunakan serat nanas. Benda yang membuat Amina muda harus bersembunyi, bahkan dari orang tuanya sendiri, ketika membuatnya.
Bendera Merah Putih buatan Amina dibawa sekelompok pemuda Mareku menyeberang ke Ternate. Salah satu dari pemuda itu, Abdullah Kadir, masih terhitung sepupu Amina. Dullah-lah yang sebelumnya meminta Amina menjahit bendera tersebut.
“Apa nanti tidak dimarahi?” tanya Amina pada Dullah ketika itu, setengah cemas.
“Masa menjahit bendera saja dimarahi,” Dullah meyakinkan sepupunya.
Begitu selesai dijahit, Amina menyerahkan bendera pada Dullah. Tentu saja sembunyi-sembunyi.
Awalnya, bendera akan dikibarkan di Jembatan Residen sebagai tempat paling strategis di Ternate. Sayang, penjagaan tentara asing terlalu ketat sehingga Dullah dkk. terpaksa balik kucing ke Tidore.
Mereka berunding mengenai lokasi paling tepat untuk mengibarkan bendera. Akhirnya diputuskan Tanjung Mafutabe di Mareku sebagai lokasi pengibaran. Tanjung kecil ini berlokasi tak sampai 100 meter dari rumah Amina dan Dullah.

Di tempat inilah Abdullah Kadir, dkk. mengibarkan bendera Merah Putih buatan Amina Sabtu pada 18 Agustus 1946. Monumen ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat sebagai bentuk penghormatan pada putera-puteri terbaik Mareku. FOTO: bungeko.com/Eko Nurhuda
Pemilihan Tanjung Mafutabe bukan tanpa alasan. Selain berada tepat di pinggir jalan raya Rum-Soasio, tanjung menghadap ke Ternate. Bendera yang dikibarkan di tanjung ini dapat terlihat jelas dari Ternate.
18 Agustus 1946, berkibarlah bendera Merah Putih pertama di kawasan Maluku Kie Raha, kalau tidak malah di Indonesia Timur. Aksi ini menunjukkan dukungan masyarakat Tidore terhadap proklamasi Republik Indonesia setahun sebelummya. Sekaligus mementahkan klaim Belanda bahwa RI hanya didukung Jawa-Sumatera.
Dan, Nenek Amina-lah penjahit bendera bersejarah itu. Jika Ibu Fatmawati menjahit bendera Merah Putih pertama dalam sejarah Republik, rasanya tidak salah menyematkan julukan “Fatmawati-nya Tidore” untuk Nenek Amina.
70 Tahun Terlupakan
Entahlah, saya tidak begitu yakin istilah yang tepat “terlupakan” atau “tak dikenal”. Saya sendiri baru mengetahui kisah ini ketika berkunjung ke rumah beliau, 10 April lalu. Saya hanya bisa ternganga mendengar tentang peristiwa Tanjung Mafutabe dan peran Nenek Amina dari Ci Anita Gathmir.
“Nenek ini nggak ada yang merhatiin,” kata Ci Anita, owner Ngofa Tidore Tour yang membawa saya bersama beberapa blogger, kolomnis wisata, dan aktivis lingkungan, berwisata ke Tidore.
Ci Anita melanjutkan, selama ini Nenek Amina seolah diabaikan oleh sejarah. Jangankan kami yang jauh dari Tidore, generasi muda setempat pun banyak tak mengenal beliau. Penghargaan dari pemerintah sendiri sejauh ini hanya berupa santunan uang setiap 17 Agustus. Setahun sekali.
Apa yang saya saksikan dan dengar malam itu begitu menggetarkan hati, sampai-sampai terbawa jauh hingga saya kembali ke Pemalang.

Saya mencium tangan Nenek Amina disaksikan Ci Anita yang memperkenalkan kami pada sosok bersahaja ini, 10 April 2017. Dengan kedua tangan yang saya cium inilah bendera Merah Putih pertama di Maluku Kie Raha dibuat. FOTO: Rifqy Faiza Rahman, digunakan dengan izin.
Di rumah, saya googling informasi lebih banyak mengenai Nenek Amina. Hanya segelintir referensi yang saya dapat. Dari yang segelintir itu ada dua tulisan paling menarik perhatian lantaran ditulis secara detil. Mengungkap siapa Nenek Amina, apa yang pernah beliau lakukan, dan bagaimana kondisinya saat ini.
Sumber pertama adalah feature di laman Jawa Pos, tertanggal 18 Agustus 2015. Judulnya sesuai dengan apa yang diceritakan Ci Anita pada kami: “Amina Sabtu, Pahlawan yang Terlupakan“.
“Ada perempuan penting di Maluku Utara yang terlupakan sejarah.” Demikian laman Jawa Pos membuka feature tersebut. Kalimat terakhir paragraf pertama membuat saya ngilu, “70 tahun setelah Indonesia merdeka, kini Amina masih harus βberjuangβ melawan kemiskinan.”
Di paragraf-paragraf berikutnya Jawa Pos mengisahkan keluarga Nenek Amina yang cenderung pas-pasan. Beruntung beliau dikelilingi tetangga-tetangga baik hati. Rumahnya beberapa kali diperbaiki oleh warga sekitar. Tak jarang pula tetangga kanan-kiri mengulurkan bantuan ketika Nenek Amina membutuhkan uang.
Tulisan kedua berupa opini yang ditulis sastrawan/aktivis Maluku Utara, Sofyan Daud. Tayang di portal Malut Post, 25 Agustus 2015, Ko Sofyan rasa-rasanya orang pertama yang memakai istilah “Fatmawati-nya Tidore” untuk menggambarkan jasa besar Nenek Amina.
Ko Sofyan menutup opininya dengan harapan agar kisah heroik Nenek Amina, Kakek Dullah, dan para pejuang lain dapat terdokumentasikan “secara pantas”. Tujuannya agar generasi penerus bangsa ini mengenal sosok-sosok berjasa seperti beliau-beliau.

Saya disambut oleh Alex Toduho dan Yuk Annie Nugraha begitu sampai di Soasio, Tidore, 16 Agustus 2017. Dua orang ini banyak mendukung dan membantu saya selama menggelar campaign untuk Nenek Amina Sabtu di Kitabisa.com. FOTO: bungeko.com/Eko Nurhuda

Dijamu makan malam oleh Bunda Permaisuri Ani Fabanyo (jilbab biru) dan Jou Sultan H. Husain Syah (tengah) di Kadato Kie. Yuk Annie (kiri) dan saya ditemani beberapa bobato, Abdul Harris Muhiddin (kanan), juga Alex (tak terlihat). FOTO: bungeko.com/Alex Toduho
Apresiasi untuk Sang Pahlawan
Usai membaca dua tulisan itu saya berdiskusi dengan Ci Anita melalui WhatsApp. Saya minta pendapat mengenai rencana penggalangan dana yang ingin saya lakukan sebagai apresiasi untuk Nenek Amina. Ci Anita merestui, dan detik itu pula laman crowdfunding di Kitabisa.com saya luncurkan.
Teman-teman yang ikut menemui Nenek Amina jadi orang-orang pertama yang saya kabari. Sekaligus saya “todong”. Alhamdulillah, dukungan dari mereka membuat saya semakin yakin dan optimis. Setelah mengirim tak kurang dari 100 direct message dan chat ke banyak kenalan di Facebook dan WhatsApp, donasi demi donasi berdatangan.
Langkah ini bukannya tanpa hambatan. Sekitar 10 hari campaign berjalan donasi yang terkumpul cuma Rp 1 juta sekian. Tak banyak respon saya dapat. Saya pun harus menurunkan target dari Rp 25 juta menjadi Rp 10 juta.
Untunglah, sepanjang Ramadhan saya banyak dibantu Radio Hard Rock FM Jakarta. Stasiun radio ini membuat iklan tentang Nenek Amina dan campaign saya. Lalu dua kali saya diberi kesempatan berbicara di program 9 To Midnight, 15 dan 22 Juni, untuk bercerita tentang Nenek Amina.
Tak berhenti sampai di situ. Berkat donasi Hard Rock FM kampanye saya qualified untuk mendapatkan tambahan sumbangan dari program Patungan THR Bersama Wardah. Dua “sponsor” ini total menyumbang Rp3.730.903.

Campaign saya untuk Nenek Amina Sabtu di Kitabisa berakhir tanpa mencapai target. Kurang sedikiiit saja lagi. Gambar: Screenshot laman Kitabisa.com/aminasabtu
Campaign berakhir di angka Rp9.485.586. Kurang sedikiiit dari target, tapi sudah membuat saya luar biasa bahagia melihat kepedulian teman-teman pada Nenek Amina. Juga pada kemudahan demi kemudahan yang ditunjukkan Allah SWT.
Misalnya soal keberangkatan ke Tidore. Ini bukan perkara mudah buat saya. Sebagai “pengacara sukses” alias “pengangguran banyak acara (keuangan) suka ngepres,” saya musti banyak berkrompomi demi membeli selembar tiket pesawat Semarang-Ternate seharga sejuta sekian.
Itu baru tiket berangkat. Bagaimana pulangnya? Bagaimana kebutuhan lain seperti ongkos Ternate-Tidore dan sebaliknya, penginapan, makan-minum, dll.? Setelah ditotal-total, saya malah jadi mengontak seorang teman di Tidore. Saya minta tolong padanya untuk menyerahkan donasi.
Alex Toduho, teman yang saya kontak itu, menolak.
“Mas Eko ajalah yang serahkan langsung,” katanya via WhatsApp.
Terbantu Fitur Best Price Finder
Well, niat baik selalu mendapat jalan. Berkat bantuan Ci Anita, saya boleh menginap di rumah entrepreneur muda Tidore Abdul Harris Muhiddin. Sedangkan untuk keperluan wira-wiri selama di sana, Alex siap dengan sepeda motornya.
Alhamdulillah, beban saya berkurang.
Urusan tiket pesawat saya serahkan pada Traveloka. Saya sangat mengandalkan fitur best price finder pada Traveloka App untuk mencari harga terbaik. Hasilnya, saya mendapat tiket seharga di bawah budget untuk penerbangan Semarang-Ternate via Jakarta dan Ternate-Jakarta.
Tak sulit menikmati fitur best price finder di aplikasi Traveloka. Cukup masukkan bandara asal dan bandara tujuan, lalu pilih tanggal keberangkatan. Selanjutnya Traveloka akan menampilkan kalender beserta estimasi harga di bawah tiap tanggal.
Ketika tombol “Cari” di-tap, Traveloka akan mengurut daftar hasil pencarian dari yang termurah. Selain itu, algoritma pencarian Traveloka juga menunjukkan sebuah penerbangan direct flight atau harus transit. Kalau transit, berapa kali dan di mana saja serta berapa lama? Berapa bagasi yang disediakan? Apakah mendapat makanan dalam perjalanan?
Semua informasi ini terpampang detil di satu halaman. Kita bisa langsung melihat penerbangan mana yang cocok. Pilih direct flight atau transit biar hemat? Pilih maskapai A yang menyediakan makanan, atau maskapai B yang tanpa ransum?
Keputusan dapat diambil tanpa harus melihat banyak halaman. Saya sendiri biasanya hanya melihat dan memilih yang paling atas. Kecuali waktu penerbangan tidak bersahabat atau pertimbangan lain, baru scroll ke bawah melihat opsi berikutnya.
Beragamnya pilihan pembayaran juga sangat membantu. Karena anggaran mepet, saya meminjam kartu kredit adik di Jakarta untuk menebus tiket pulang. Dengan begini saya bisa berangkat ke Tidore meskipun saldo di rekening BCA tak mencukupi.
Begitulah. 16 Agustus 2017, saya mendarat di Ternate lalu menyeberang ke Tidore. Dua hari setelahnya saya mengikuti upacara di Tanjung Mafutabe. Menyaksikan langsung Nenek Amina dielu-elukan warga Mareku.
Selepas upacara, saya bersama Alex dan Pak Burhan Faroek menyerahkan donasi dari Kitabisa ditambah donasi susulan dari Bunda Ani Fabanyo, Ci Anita, juga Koh Deddy Huang. Rasa haru menyelimuti ketika Sultan Husain Syah, melalui pengawal pribadi beliau Moch. Chamaluddin Alting, menyerahkan piagam penghargaan untuk Nenek Amina.
Inilah piagam penghargaan pertama yang diterima Nenek Amina atas keberaniannya 70 tahun lalu.

Alex, saya, dan Pak Burhan Faroek menyerahkan donasi untuk Nenek Amina usai upacara 18 Agustus di Tanjung Mafutabe, Mareku. FOTO: bungeko.com/Olan.

Nenek Amina Sabtu menunjukkan piagam penghargaan dari Kesultanan Tidore yang diberikan oleh Sultan H. Husain Syah. Penghargaan pertama atas keberanian yang beliau lakukan 70 tahun lalu. FOTO: bungeko.com/Eko Nurhuda
Thanks ffor sharing
SukaSuka
selamat mas eko, tulisan ini memang layak dapat juara pertama, sangat bagus dan menginspirasi untuk selalu berbagi.
SukaSuka
Terima kasih banyak untuk apresiasinya, Mas π
Cuma itu yang bisa saya lakukan untuk Nenek Na.
SukaSuka
Wah, selamat mas tulisannya menang lomba, usaha memang tak pernah ingkar janji.
SukaSuka
Wah, suatu kehormatan dikunjungi Mas Dzulfikar π
Alhamdulillah, Mas. Yang saya inget lagunya Paramitha Rusady, Merpati Tak Pernah Ingkar Janji π
SukaDisukai oleh 1 orang
Huaaaa. Semoga nenek selalu diberikan kesehatan sama gusti Allah dan kamu keren Mas bisa menuliskan kisah beliau. Selamat, yaaaa! π
SukaSuka
Terima kasih banyak, Mbak π
Jangan nangis tapi ya habis baca posting ini hehehe
SukaSuka
Kisahnya bagus sekali. Gak kerasa saya bacanya sampai habis. Cocok memang dpt juara.
SukaSuka
Terima kasih banyak udah membaca π
SukaSuka
Selamat Mas Eko, aq baca tulisan ini nggak terasa air mataku menggenang
SukaSuka
Hehehe, aku bikin kamu nangis dong ya?
Maafkan. Tapi ini kisah nyata, Mbak π
SukaSuka
Saya ikut terharu menyaksikan perjuangan Mas Eko untuk Nenek Amina. Semoga dilapangkan segalanya, semoga sehat selalu agar bisa bersua kembali π
SukaSuka
Makasih banyak ya, Mas. Waktu itu berharap banget Mas Rifqy bisa ikut ke sana dan kita garap dokumentasinya lebih baik lagi. Karenanya aku masih menyimpan hasrat untuk membuat dokumentasi Nenek Amina dan kejadian di Tanjung Mareku 18 Agustus 1946 itu. Insya Allah nanti ada jalannya.
SukaSuka
Apa daya saat itu memang belum waktunya bagi saya. Mudah-mudahan niat baik Mas Eko dimudahkan π
SukaSuka
Amin…
SukaSuka
keren nih bung eko bisa berkontribusi langsung, semoga Nenek Amina diberikan kesehatan selalu
SukaSuka
Hehehe, cuma itu yang terpikir dan bisa saya lakukan. Terima kasih π
SukaSuka
Wuah ini yang setahun kemarin kampanyenya ya Mas Eko. Luar biasa crowding sosial-nya, terkumpul maksimal. Semoga Nenek Amina disehatkan wal afiat oleh Allah SWT
SukaSuka
Belum setahun lalu. Medio Mei start, medio Agustus selesai dan nggak mencapai target. Tapi tetap bersyukur berapapun jumlah yang terkumpul π
SukaSuka
Semoga nenek Amina selalu sehat yaa..
SukaSuka
Amin…
SukaSuka
Kangen Tidore dan saudara saudara disana.
semoga nenek Aminah selalu sehat.
dan semoga mas eko menang ke Yurop. Aaminn ya Allah
SukaSuka
Amin, amin, Ya Allah. Dapet apa aja aku mau kok, Mbak. Hehehe.
Makasih banyak ya untuk doanya π
SukaSuka
Jadi ingat saat ketemu nek Na, dia menjabat tangan kita lamaaa sekali dengan tatapan matanya yang….unik π
Semoga sehat terus nek Na, semoga tahun depan bisa berjumpa kembali dengan nek Na. Amiin.
SukaSuka
Iya, betul banget. Dipegang lama-lama tangan kita sambil dipandanginya wajah kita. Yang aku salut, pandangan matanya masih tajam banget. Cuma memang pendengarannya udah berkurang, sama bicaranya kurang jelas. Udah gitu cuma bisa bahasa Tidore pula π
SukaSuka
Haha iya, jadi terasa makin kurang jelas karena pakai bahasa Tidore.
SukaSuka
Suatu kebahagiaan yg luar biasa bagi saya untuk bisa mengenal Eko dan menjadi bagian dari project Nenek Amina Sabtu ini. Semoga semua usaha menjadi berkah dan mendapatkan balasan yg berlipat ganda dari Allah SWT. Aamiin YRA
SukaSuka
Samo, Yuk. Aku juga meraso beruntung nianlah pacak ngetrip bareng kalian pas ke Tidore itu. Mimpi apolah aku ni sampe bisa segrup samo namo-namo besak ini. Insya Allah apo yang sudah kito lakukan bernilai ibadah. Amin.
SukaSuka