Highlight:

Kiprah Wenny Ira membangun desa pesisir Sungai Batanghari lewat bank sampah

Wenny Ira Reverawati (Instagram)

MENJELANG senja, ratusan orang datang memadati Jembatan Gentala Arasyi yang membentang di atas Sungai Batanghari, Kota Jambi. Tak hanya dipenuhi kaum muda-mudi, pengunjung dari kalangan keluarga juga ada. Bahkan tidak sedikit yang membawa anak-anak balita.

Mereka berduyun-duyun untuk menantikan momen terbenamnya matahari yang seolah jatuh di ujung sungai. Sembari menunggu sunset, berbagai menu makanan yang disajikan oleh para pedagang di sepanjang tepian adalah godaan tak terelakkan.

Sudah menjadi pemandangan lumrah di negeri ini, setiap kali ada kerumunan manusia maka yang ditinggalkan setelahnya adalah serakan rupa-rupa sampah. Umumnya berupa sampah plastik, seperti botol minuman atau kemasan aneka penganan.

Sebagian dari sampah itu kemudian berakhir di Sungai Batanghari. Menyebabkan pencemaran yang membuat airnya lama-lama tak lagi layak pakai karena mengandung bermacam-macam zat berbahaya bagi kesehatan tubuh.

Padahal Sungai Batanghari masih menjadi penyuplai utama kebutuhan air sehari-hari bagi warga desa-desa di sepanjang tepiannya. Salah satu di antaranya warga Desa Penyengat Olak, satu desa pesisir sekitar 10 km di barat laut Gentala Arasyi.

Pencemaran Sungai nan Memprihatinkan

Desa Pematang Olak terletak tepat di tepian Sungai Batanghari. Lebih persisnya lagi di ujung Jembatan Aurduri I yang merupakan pembatas wilayah Kota Jambi dengan Kecamatan Jambi Luar Kota di Kabupaten Muaro Jambi.

Saat air pasang, sebagian daerah pemukiman di Penyengat Olak bahkan berubah menjadi badan sungai. Itu sebabnya sebagian besar penduduk membangun rumah panggung dari kayu nan tinggi.

Sejak dahulu kala warga Desa Penyengat Olak memanfaatkan air Sungai Batanghari sebagai sumber penghidupan. Untuk mandi anak-anak sekolah di pagi hari, untuk mencuci pakaian dan segala perkakas bagi ibu-ibu rumah tangga, juga tempat mencari penghasilan bagi kaum pria.

Setiap pagi, ketika anak-anaknya mandi dan istrinya mencuci, para lelaki di Desa Penyengat Olak mengarahkan perahu lebih ke tengah. Ada yang memancing, ada pula yang memasang jala. Tentu dengan harapan agar saat kembali ke rumah mereka membawa pulang sekawanan ikan.

Ikan-ikan hasil tangkapan dari sungai berjuluk Nago dari Selatan ini tak sekadar untuk lauk makan sekeluarga. Jika dapat banyak, maka selebihnya akan berakhir di pasar-pasar terdekat.

Rutinitas seperti itu sudah menjadi pemandangan umum di bantaran Sungai Batanghari selama puluhan tahun. Bahkan sebuah foto lawas dari era penjajahan Belanda telah menangkap gambaran serupa.

Sampai kemudian pencemaran sampah selama bertahun-tahun membuat kondisi air Sungai Batanghari tak lagi layak pakai.

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Jambi edisi 2015 menegaskan hal tersebut. Hasil pengujian yang dilakukan terhadap air Sungai Batanghari menunjukkan adanya kandungan-kandungan berbahaya, sehingga tidak memenuhi kriteria Status Baku Mutu Air.

Menurut laporan tersebut, setiap tahun Sungai Batanghari dicemari Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 54,5 ton. Ditambah Total Suspended Solid (TSS) sebanyak 97,2 ton, lalu yang tertinggi adalah Chemical Oxygen Demand (COD) sejumlah 164,3 ton per tahun.

Ini belum termasuk 17,4 ton jenis limbah lainnya dalam setahun. Gabungan angka-angka ini menghasilkan jumlah yang mencengangkan serta layak membuat kita semua prihatin.

Lebih memprihatinkannya lagi, sebagian dari limbah ratusan ton per tahun itu berasal dari masyarakat sendiri. Sungai Batanghari yang punya peran besar dalam setiap kilasan sejarah penting Negeri Jambi ini difungsikan tak ubahnya sebagai tong sampah raksasa.

Minimnya Peran Perempuan di Desa

Berangkat dari keprihatinan inilah Wenny Ira Reverawati memulai kiprahnya. Di tahun yang sama ketika Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Jambi edisi 2015 dipublikasi, ia mendapat mandat sebagai anggota sebuah tim Community Development di kampusnya untuk turun ke Desa Penyengat Olak.

Mulanya yang menjadi perhatian utama Wenny adalah rendahnya peran serta kaum perempuan dalam pengelolaan dan pembangunan di desa tersebut. Tujuan awal yang ingin ia capai adalah menempatkan para perempuan Penyengat Olak dalam posisi yang setara dalam proses pengambilan keputusan, penganggaran dan pengawasan pembangunan desa. Maklum saja, Wenny memang telah lama berkecimpung dalam bidang pemberdayaan perempuan.

Semasa menempuh pendidikan sarjana dan master di Yogyakarta, perempuan kelahiran Desa Pematang Kancil, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, ini aktif di beberapa organisasi perlindungan perempuan. Di antaranya Garda Perempuan dan Save Our Sister.

Dari kiprahnya berorganisasi, Wenny jadi semakin jauh melihat akan adanya diskriminasi gender dalam masyarakat. Utamanya di daerah yang kental dengan budaya patriarki. Dalam segala sektor yang sebetulnya bukan dominasi gender tertentu, perempuan selalu saja tertinggal jauh dari laki-laki.

Dalam bidang pendidikan, misalnya, masih banyak orang tua yang beranggapan jika perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh, ujung-ujungnya hanya akan jadi ibu rumah tangga. Hal ini, dalam pandangan Wennny, sungguh merendahkan peran penting perempuan sebagai guru pertama bagi anak-anaknya sebagai penerus bangsa.

Bagi Wenny, anak-anak cerdas hanya akan terlahir dari seorang ibu yang cerdas pula. Karena itulah membatasi akses pendidikan terhadap perempuan adalah kerugian besar bagi sebuah bangsa di masa depan.

Lalu pada bidang lainnya, perempuan bahkan tak lebih sebagai pelengkap saja. Sikap dan suaranya tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan. Kalaupun dilibatkan dalam sebuah kegiatan, peran perempuan seringkali pasif saja. Sekadar pelaksana tugas dari program yang, lagi-lagi, dirancang dan ditetapkan oleh laki-laki.

Hal-hal seperti inilah yang ingin Wenny ubah. Sebagai perempuan, ia tak ingin kaumnya terus berada di belakang laki-laki. Bukan bermaksud hendak melangkahi, tetapi setidaknya tempatkanlah perempuan di sisi laki-laki sebagai teman seiring sejalan.

Pola pikir progresif yang dibarengi semangat dan pengalaman berorganisasi di tanah rantau inilah yang kemudian Wenny terapkan sekembali ke Jambi. Di tengah-tengah kesibukan sebagai tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah, ia menyempatkan diri terjun langsung mendalami problematika yang dihadapi masyarakat.

Melalui partisipasinya di tim Community Development, Wenny aktif menggarap proyek Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (PPM). Ia mengamati berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, lalu secara bersama-sama mengurai masalah sehingga ditemukan solusi.

Tahun 2015, kiprahnya dalam tim Community Development membuat Wenny tiba di Penyengat Olak. Diskriminasi gender yang selama ini jadi perhatian utama Wenny, ia temui pula saat pertama kali masuk di desa pesisir tersebut.

Sebelumnya Wenny dan tim telah melakukan observasi mendalam terhadap Desa Penyengat Olak. Dari hasil pengamatan itulah mereka berkesimpulan jika keterlibatan perempuan dalam pembangunan desa tersebut masih sangat rendah.

Apa yang terjadi di Penyengat Olak sebetulnya hanyalah gambaran kecil dari rendahnya Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Provinsi Jambi kala itu. Tahun 2015, angka IPG dan IDG Provinsi Jambi masing-masing adalah 88,44 dan 62,43. Ini jauh berada di bawah indeks nasional, 91,03 dan 70,83.

Karena perempuan tak banyak berperan dalam kepemimpinan dan pengelolaan Desa Penyengat Olak, akibatnya tidak banyak anggaran desa yang dialokasikan bagi kepentingan kaum perempuan di sana.

Memberdayakan Perempuan dengan Sampah

Namun masalah ketimpangan partisipasi gender ini seperti lingkaran setan. Kaum lelaki di Penyengat Olak seolah punya alasan mengapa tidak banyak melibatkan perempuan. Penyebabnya tak lain adalah tingkat pendidikan dan keterampilan yang minim. Akibatnya, para perempuan hanya dipercaya sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan pemerintah desa. Tidak lebih.

Di tengah upayanya memikirkan solusi bagi pemerataan peran perempuan dalam pembangunan Desa Penyengat Olak, Wenny menemukan problematika lain yang tak kalah serius: pencemaran Sungai Batanghari. Dengan cerdas ia lantas menggabungkan solusi atas kedua persoalan itu dalam satu gagasan cemerlang.

Wenny bersama tim mengajak para perempuan Penyengat Olak untuk berdiskusi. Dari pertemuan ke pertemuan, akhirnya dicapai kata sepakat untuk merintis sebuah aksi penyelamatan Sungai Batanghari yang dibarengi dengan pemanfaatan limbah rumah tangga sebagai bahan kerajinan daur ulang.

Sekali dayung dua pulau terlampaui. Wenny tak cuma mengupayakan peran aktif perempuan Desa Penyengat Olak, tetapi sekaligus menyelamatkan Sungai Batanghari dengan mencegah sampah rumah tangga terus-terusan dibuang ke alirannya.

Pucuk di cinta ulam tiba, gagasan Wenny disambut baik oleh para perempuan Desa Penyengat Olak. Isu pencemaran Sungai Batanghari sebagai urat nadi kehidupan warga desa sangat ampuh untuk menggerakkan kesadaran mereka.

Aksi sukarela kaum perempuan ini lantas dikukuhkan dalam sebuah organisasi pada Januari 2016. Namanya adalah Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak. Sekolah Bank Sampah Al-Kautsar Kota Jambi yang telah lebih dulu berkiprah digandeng sebagai mitra sekaligus organisasi percontohan.

Sesuai namanya, Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak memang bagaikan sekolah tempat para perempuan setempat belajar mengelola sampah. Tak sekadar agar paham dalam hal pemilahan sampah, tetapi juga mengolahnya menjadi karya-karya kriya nan bernilai.

Kegiatan pembelajaran dilakukan setiap Senin siang, di mana Wenny mendampingi para perempuan Penyengat Olak dengan telaten. Ia sadar betul, usahanya ini merupakan sebuah proses panjang. Pun anggota-anggotanya butuh waktu tidak sebentar untuk menyerap seluruh materi yang diajarkan dalam setiap pertemuan.

Untuk meningkatkan kemampuan dan kreativitas anggota, Wenny mendatangkan pengajar dari kalangan praktisi daur ulang sampah yang lebih berpengalaman. Hal ini membuat para perempuan Penyengat Olak lebih terpacu semangatnya.

Pelan tetapi pasti, hasil pembelajaran pun terlihat. Para perempuan anggota Sekolah Bank Sampah Penyengat Olak sudah mulai mahir membuat karya kerajinan tangan berbahan sampah. Kertas koran, potongan-potongan maupun, botol dan gelas plastik, semuanya berubah menjadi dompet, topi, vas bunga, kotak pensil dan aneka produk lain.

Jika dulu sampah-sampah itu berakhir di aliran Sungai Batanghari, maka sejak itu berubah menjadi rupa-rupa barang kerajinan yang menyumbang pemasukan tambahan bagi para perempuan pembuatnya.

Setelah berjalan sepuluh bulan, Wenny dan timnya sukses mendapatkan Surat Keputusan Pembentukan Sekolah Bank Sampah Penyengat Olak ke pemerintah desa setempat. Maknanya, kini organisasi para perempuan tersebut telah berbentuk badan resmi setingkat desa.

Menyusul legalisasi tersebut, pemerintah desa juga memasukkan kebutuhan aktivitas Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Artinya, ada dana yang bakal digelontorkan untuk mendukung kegiatan para perempuan tersebut.

Perhatian sama ditunjukkan oleh Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dan kemudian Pemerintah Provinsi Jambi. Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak mendapat kesempatan untuk memperkenalkan produk-produk karya tangan anggotanya dalam berbagai kegiatan pameran di tingkat kabupaten dan provinsi.

Ini tentu saja tawaran yang tak ingin Wenny lewatkan. Akan tetapi ia harus mengakui jika dirinya sempat tidak percaya diri. Merasa belum terlalu lama belajar, Wenny menganggap hasil garapan para perempuan binaannya masih belum rapi. Masih belum layak dipamerkan.

Namun justru pihak penyelenggara yang terus mendorong. Hasil karya anggota Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak dipamerkan dari satu pameran ke pameran lain, sehingga semakin dikenal.

Diganjar SATU Indonesia Award

Jika dihitung sejak melakukan observasi permulaan di awal 2015 sampai mendapat legalitas dari pemerintah desa, nyaris dua tahun Wenny memperjuangkan lahirnya Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak.

Perjuangan itu tidak sia-sia, sebab para perempuan Penyengat Olak punya semangat yang sama dengan bahkan melebihi dirinya. Konsistensi dan semangat mereka membuat Sekolah Bank Sampah Perempuan terus berkembang dari waktu ke waktu.

Berkat dukungan para perempuan Desa Penyengat Olak dan berbagai pihak lain, kiprah Wenny ini diganjar anugerah Penghargaan Indonesia SATU dari Astra Indonesia pada 2017.

Namun Wenny tidak bisa terus-terusan di Penyengat Olak. Menuruti ketentuan dalam program Community Development yang ia ikuti, Wenny hanya boleh mendampingi secara langsung selama tiga atau paling lama empat tahun.

Karena itu, per 2018 Wenny sudah tidak lagi menangani Sekolah Bank Sampah Perempuan binaannya tersebut. Ia melanjutkan kiprahnya di desa dan bidang lain. Salah satunya dengan turut menggagas lahirnya Festival Kampung Senaung yang bertujuan melestarikan nilai sejarah dan budaya Desa Senaung, salah satu pemukiman tua di Muaro Jambi.

Wenny juga aktif menuangkan gagasan-gagasannya di media, kegiatan yang sudah ia mulai sejak menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Artikel-artikelnya dapat dengan mudah ditemui di berbagai jurnal dan media massa.

Tema-tema sosial, terutama yang berhubungan dengan kaum perempuan, menjadi perhatian besar Wenny. Dan ia tak sekadar berwacana. Lahir dan tumbuh besar di desa kecil nun jauh dari pusat provinsi, perempuan bernama lengkap Wenny Ira Reverawati ini adalah contoh nyata bagaimana perempuan dapat berperan nyata dalam masyarakat.

Referensi:

  • kompasiana.com/wennyirawahyuni/58adb5b5ed9273de099b4655/membangun-ekonomi-desa-melalui-tangan-ibu
  • kompasiana.com/wennyirawahyuni/5869f3be2e7a619305f2f77b/eksplorasi-rumah-penghulu-kampung-berusia-350-tahun-di-desa-penyengat-olak
  • idntimes.com/life/inspiration/ratumas-ovvy/wenny-peran-perempuan-dalam-pembangunan-desa-lewat-bank-sampah
  • jambiupdate.co/artikel-orang-rimba-dan-orang-trans.html
  • puan.my.id/2018/07/putri-birru-shafa-si-pendaki-cilik/
  • jambi.antaranews.com/berita/332622/festival-kampung-senaung-angkat-potensi-desa
  • puan.my.id/2017/12/festival-kampung-senaung-revitalisasi-budaya-kampung-di-jambi/

Foto-foto merupakan dokumentasi pribadi Wenny Ira. Kecuali foto lawas rumah-rumah di pinggiran Sungai Batanghari (sekitar tahun 1877-1879) diambil dari laman Wikiwand.

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (410 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

3 Comments on Kiprah Wenny Ira membangun desa pesisir Sungai Batanghari lewat bank sampah

  1. Keren banget ini Wenny, perempuan inspiratif yang menggerakkan masyarakat. Ya sadar lingkungan, ya pemberdayaan ekonomi, juga kesetaraan gender. Semoga muncul Wenny lain di Indonesia biar daerah kian sejahtera lewat tangan komunitas positif seperti ini. Cakep, Mas ulasannya!

    Suka

Beri komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: