Highlight:

Pengaruh Tionghoa di Palembang, dari sedapnya pempek sampai meriahnya Imlek

SEBAGAI kota kelahiran dan tempat menghabiskan seluruh masa kecil, Palembang banyak memperkenalkan hal-hal baru dalam kehidupan saya. Salah satunya interaksi dengan etnis Tionghoa yang fisik dan bahasanya sangat berbeda dari etnis Melayu. Di Kota Pempek-lah saya pertama kali melihat, berinteraksi dengan orang Tionghoa.

Tionghoa pertama yang saya ingat adalah sekelompok pemilik kebun sayur di Jl. H. Sanusi. Saya tidak paham sekarang daerah tersebut masuk Kelurahan Ario Kemuning atau Kelurahan Talang Aman. Namun letaknya persis di pinggir jalan besar, sehingga mudah terlihat dari atas mobil ketek jurusan Pasar Pal V-Lebong Siareng (dari Jl. Sosial ke Jl. Mayor Zurbi Bustan).

Ada beberapa keluarga Tionghoa yang menetap di sana, sehingga tempat tersebut dulu dikenal sebagai Bedeng Cino. Mereka menanam aneka sayur, beberapa yang lain membuat tahu (ibu saya cerita beliau sering beli tahu di sini), ada pula yang beternak babi.

Kandang hewan tersebut yang paling menarik perhatian saya dan adik-adik. Kami yang sejak kecil diajarkan babi haram dimakan, jadi tahu kalau ternyata ada orang lain dengan keyakinan berbeda yang diperbolehkan menyantapnya. Saya pun mulai belajar mengenai perbedaan sekalipun hanya dalam skala kecil.

Tergantung kapan mobil ketek yang saya tumpangi lewat di sana, apek-apek pemilik kebun tampak sedang mencangkul, membersihkan gulma atau menyirami tanaman. Kadang sendirian, kali lain bersama istrinya. Lalu di lain kesempatan pasangan tersebut sama sekali tak terlihat karena hari sudah rembang petang.

Saat menulis posting ini saya coba melacak posisi Bedeng Cino dimaksud via Google Maps. Saya ingat betul, kebun sayur dan kandang babi tersebut terletak tak jauh dari SMEA Karya (kini SMK Swa Karya). Jadi, saya rasa lokasi Bedeng Cino dulu adalah deretan rumah-rumah yang kini ada di sekitaran Vihara Tay Liong Oh.

Amoy Teman Masa Kecil

Jika keluarga Tionghoa pemilik kebun sayur dan kandang babi di atas hanya bisa saya lihat, Tionghoa kedua adalah teman masa kecil saya. Seorang gadis sebaya yang sebenarnya tidak tinggal sekampung dengan saya.

Gadis bermata sipit itu juga bukan teman sekolah saya di SD Negeri 374 Palembang (kini jadi SD Negeri 146 Palembang). Namun tiap kali bertemu kami selalu main bersama-sama dengan seru.

Baca juga kisah masa kecil saya di Palembang:
Ibuku (Pernah Jadi) Tukang Cuci Pakaian
Putra Jawa Kelahiran Sumatera
Kabar Duka dari Palembang
Musi Triboatton, Balap Perahu Menyusuri Venesia dari Timur

Sayang, saya lupa namanya. Untuk memudahkan bercerita di sini, kita sebut saja namanya Amoy.

Yang saya ingat benar, si Amoy bersama keluarganya tinggal dalam bedeng persis di sebelah rumah Bude Plaju, panggilan kami untuk sepupu Bapak yang tinggal di Plaju. Karena saya dan adik-adik sering diajak Ibu berkunjung ke rumah Bude, saya bisa bertemu dengannya setiap satu-dua pekan sekali.

Begitu tahu saya datang, Amoy biasanya langsung datang ke rumah Bude. Kami lantas bermain bersama di ruang tamu rumah Bude. Terkadang sampai menyeberang ke rumah panggung Wak Anik (Saani Sagiman, kakak ipar Bude), lalu asyik bermain di tangga besar yang jadi akses masuk utama ke rumah atau di kolong rumah.

Kalau saya dan Amoy ada di sana, biasanya Hendro yang juga seumuran dengan saya ikut bergabung dengan kami. Hendro adalah cucu Wak Anik dari anaknya yang bernama Herman. Jadi, boleh dibilang Hendro adalah cucu Bude juga karena Pakde Ari (Saari Sagiman, suami Bude) adalah adik kandung Wak Anik.

Sayang, saya harus berpisah dengan Amoy dan juga Kota Palembang saat diboyong Ibu ke Batumarta pada pertengahan 1992. Saya sempat ke Plaju lagi tiga tahun berselang, tapi hanya sebentar. Tak sempat bertemu Amoy.

Legenda Tionghoa di Bumi Sriwijaya

Amoy dan keluarga pekebun sayur di Bedeng Cino hanyalah sebagian kecil dari begitu banyaknya Tionghoa di Palembang. Keberadaan etnis dari tanah seberang samudera itu sudah sangat melekat, tak bisa dipisahkan dari sejarah Kota Pempek itu sendiri.

Pengaruh Tionghoa bahkan sampai masuk ke dalam legenda dan cerita rakyat. Salah satu contohnya adalah legenda Pulau Kemaro.

Ini merupakan kisah cinta antara Puteri Siti Fatimah dari Kerajaan Palembang dengan saudagar Tionghoa bernama Tan Bun An. Sepasang kekasih ini menceburkan diri ke Sungai Musi untuk mencari guci-guci berisi perhiasan yang sebelumnya dibuang Tan Bun An. Keduanya tak pernah muncul lagi ke permukaan, malah terbentuk sebuah pulau di tempat mereka menceburkan diri.

Pagoda 9 lantai di Pulau Kemaro, satu contoh eksistensi Tionghoa di Palembang. Foto: KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM

Ada pula legenda asal-usul nama Sungai Musi. Konon, dulu ada perompak asal daratan Tiongkok yang berlayar hingga Teluk Bangka. Melihat sungai lebar yang ramai dilalui perahu besar dan tongkang berisi hasil bumi, perompak tersebut tertarik dan menyusuri masuk ke arah hulu. Dari penelusuran tersebut ia melihat daerah-daerah di sekitar sungai sangat subur.

Si perompak lantas memutuskan tinggal lebih lama di tepian sungai tak bernama itu. Ia kemudian menamai sungai itu Mu Ci. Dalam bahasa Han, Mu Ci berarti ayam betina yang merupakan perlambang keberuntungan. Kata “mu” sendiri bisa berarti kayu, yang dulu sempat jadi komoditas utama di Palembang.

Legenda asal-usul nama Palembang pun ada versi Tionghoa-nya. Menurut versi ini, kata tersebut berasal dari nama Pai Li Bang yang merupakan menteri dari daratan Tiongkok. Pai Li Bang sampai ke Sumatera untuk menemani Puteri Ong Tien, anak Kaisar Hong Gie, yang jatuh hati pada Sunan Gunung Jati dan ingin menyusul ke Jawa.

Alkisah, Sunan Gunung Jati tahu bakal disusul Putri Ong Tien bersama Pai Li Bang yang tak lain muridnya. Karenanya ketika diminta memilihkan pemimpin baru sepeninggal Ario Damar – pemimpin Palembang masa itu, beliau berkata, “Tunggulah. Nanti ada muridku dari Tiongkok bernama Pai Li Bang. Ia yang akan menjadi pemimpin kalian.”

Dari Yi Jing hingga Shi Jinqing

Kalau legenda dan cerita rakyat masih bisa dipertanyakan kebenarannya, tidak demikian halnya fakta sejarah. Catatan sejarah menunjukkan Tiongkok dan Sriwijaya sudah saling berhubungan sejak lama. Setidaknya ada dua faktor yang membuat orang-orang Tionghoa membanjiri Palembang.

Pertama, Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama Buddha terbesar masa itu. Banyak sekolah-sekolah didirikan dengan murid-murid berasal dari berbagai negara, salah satunya Tiongkok.

Yang paling dikenal luas adalah I-Tsing atau Yi Jing. Sosok ini merupakan bikkhu Buddha asal Dinasti Tang. Ia mengabadikan pengalaman selama menuntut ilmu di Sriwijaya pada tahun 671 dan 687-689 M.

Dalam travelogue-nya Yi Jing menyebut lebih dari seribu bikkhu berada di Palembang saat itu. Mereka datang dari berbagai daerah untuk memperdalam agama Buddha, mempelajari bahasa Sanskerta, serta menerjemahkan kitab-kitab ke bahasa masing-masing. Yi Jing juga menyarankan teman-temannya sesama bikkhu dari Tiongkok untuk memperdalam ilmu ke Palembang.

Kedua, Sriwijaya yang menguasai Selat Malaka menjadi penghubung jalur perdagangan laut Tiongkok-India. Karena kapal-kapal masa itu masih mengandalkan angin, pedagang asal Tiongkok yang hendak menuju ke India (dan sebaliknya) harus singgah di Palembang selama beberapa bulan. Mereka harus menanti pergantian musim yang mempengaruhi arah angin.

Tak hanya di bidang keilmuan, hubungan Sriwijaya dan dinasti-dinasti di Tiongkok juga terjalin di bidang politik. Ketika Kerajaan Medang dari Jawa menyerang Palembang pada 990 M, raja Sri Cudamani Warmadewa meminta bantuan Dinasti Song. Pasukan Medang akhirnya berhasil dipukul mundur dari Bumi Sriwijaya pada tahun 1006.

Tionghoa kembali mewarnai sejarah Palembang jelang keruntuhan Sriwijaya. Kekuasaan yang kian melemah menjadikan Sriwijaya dipenuhi bajak laut. Di antaranya dua bajak laut terkenal Chen Zuyi dan Liang Daoming.

Lalu datanglah Laksmana Cheng Ho atau Zheng He yang dikirim Dinasti Ming untuk menangkap Chen.

Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang. Foto: TRAVELERIEN.COM/KATERINA SANDRA

Sriwijaya sendiri sudah runtuh oleh serangan Majapahit beberapa tahun sebelum kedatangan Cheng Ho. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Dinasti Ming mengangkat seorang Tionghoa Muslim bernama Shi Jinqing sebagai penguasa Palembang.

Kedatangan Geding Suro atau Ki Gede Ing Suro, seorang bangsawan Demak, ke Palembang membuka lembaran baru. Ki Gede Ing Suro menyebar-luaskan ajaran Islam dan mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam. Namun pengaruh Tionghoa terus lekat, terutama lewat perkawinan antara keluarga kesultanan dengan putri-putri Tionghoa.

Well, singkat kata, sepanjang sejarahnya Palembang sangat lekat erat dengan Tionghoa. Karenanya tak heran bila ada banyak sekali kesamaan antara kebudayaan Palembang dan Tionghoa. Misalnya warna merah dan kuning keemasan yang dominan dalam pakaian adat Palembang, merupakan warna favorit etnis Tionghoa sejak dahulu kala.

Festival Imlek Indonesia

Dengan keterkaitan yang demikian erat, tak heran bila perayaan upacara Tionghoa di Palembang selalu berlangsung meriah. Coba saja lihat betapa semaraknya perayaan Cap Go Meh di Kelenteng Hok Ceng Bio yang terletak di Pulau Kemaro. Perayaan di pulau ini telah dimulai sejak 350-an tahun lalu, di jaman Kapitan Tjoa Ham Him.

Cap Go Meh di kelenteng ini sekaligus menunjukkan kerukunan antara warga Melayu pribumi (Muslim) dan etnis Tionghoa (Konghucu) di Palembang. Tak sekedar datang menyaksikan, warga Melayu pribumi turut serta menyiapkan segala hal yang diperlukan bagi kelancaran perayaan Cap Go Meh.

Sebaliknya, panitia acara turut memberi penghormatan pada Siti Fatimah yang mereka sebut sebagai Buyut Fatimah. Panitia selalu menyiapkan sesaji berupa nasi kuning, ayam panggang, pisang mas, dan berbagai kelengkapannya sesuai adat Palembang. Tak cuma itu, dalam rangkaian perayaan juga dipersembahkan seekor kambing hitam.

[googlemaps https://www.youtube.com/embed/3rBvlYy7bYk” frameborder=”0″ allowfullscreen>

Perayaan Imlek pun tak kalah meriah. Bahkan Palembang disebut-sebut sebagai kota dengan perayaan Imlek termeriah kelima se-Indonesia, setelah Solo, Semarang, Singkawang, dan Medan. Kelenteng Chandra Nadi di kawasan 10 Ulu yang selalu menjadi pusat perayaan Imlek, termasuk dalam daftar 10 kelenteng paling eksotis di Indonesia.

Penyelenggaran Festival Imlek Sriwijaya pada Maret 2015 jadi bukti kemeriahan Imlek di Palembang. Dalam acara yang digelar Kompas Gramedia Group saat itu, ribuan warga Kota Pempek membanjiri venue acara, Lapangan Hatta, untuk menyaksikan berbagai pertunjukan. Selain tari barongsai dan liang-liong, juga ada atraksi wushu, festival kuliner, serta berbagai lomba.

Tahun ini, perayaan Imlek di Palembang bakal semakin meriah. Kementerian Pariwisata RI memasukkan Palembang dalam daftar 9 kota penyelenggara Festival Imlek Indonesia 2017. Berikut jadwalnya:

TANGGALKOTA PENYELENGGARA
18-22 Januari 2017Batam (Kepulauan Riau)
22-26 Januari 2017Solo (Jawa Tengah)
24-26 Januari 2017Semarang (Jawa Tengah)
27-28 Januari 2017Bali
28 Januari 2017Bintan (Kepulauan Riau)
28 Januari – 11 Februari 2017Singkawang (Kalimantan Barat)
11 Februari 2017Bogor (Jawa Barat)
11-12 Februari 2017Palembang (Sumatera Selatan)
25-26 Februari 2017Jakarta

Ada banyak agenda yang telah disiapkan panitia acara selama dua hari tersebut. Padat sekali sehingga siapapun yang menghadirinya dijamin bakal puas dengan berbagai atraksi yang disuguhkan sepanjang festival digelar.

Secara garis besar, rangkaian acara dalam Festival Imlek Indonesia 2017 di Palembang dibagi dalam tiga hajatan utama, yaitu:

1. Pawai Budaya
Rangkaian Festival Imlek Palembang dimulai dengan Pawai Budaya pada Sabtu, 11 Februari 2017. Dimulai pukul 08.00 WIB, pawai mengambil rute dari Kambang Iwak ke Palembang Sport and Convention Center (PSCC) melalui sepanjang Jl. Kapten A. Rivai.

Lihat Google Maps berikut ini. Rute yang akan dilalui peserta berjarak sekitar 1,5 kilometer, dengan waktu tempuh antara 18-20 menit. Tapi karena peserta pawai banyak, panitia mengalokasikan waktu hingga pukul 10.00 WIB.

https://www.google.com/maps/embed?pb=!1m28!1m12!1m3!1d7968.814613868391!2d104.74579926466501!3d-2.984348041343111!2m3!1f0!2f0!3f0!3m2!1i1024!2i768!4f13.1!4m13!3e6!4m5!1s0x2e3b75fc781b580b%3A0x476edb23622568df!2sKambang+Iwak%2C+Talang+Semut%2C+Palembang+City%2C+South+Sumatra!3m2!1d-2.9895771!2d104.7462747!4m5!1s0x2e3b75e725b8dfbd%3A0xf0aa6cdde1e15ef5!2spscc+palembang!3m2!1d-2.978519!2d104.745412!5e0!3m2!1sen!2sid!4v1485447375515

Peserta pawai didominasi kebudayaan Tionghoa: barongsai, tari naga (liang liong), rombongan pendekar Tai Chi, perwakilan kelenteng, barisan pendekar Wing Chun, paguyuban/komunitas Tionghoa, dan kontestan pemilihan Koko Cici Palembang.

Selain itu ada pula rombongan Paskibraka, karyawan hotel, perwakilan kabupaten dan kota se-Sumsel, pasukan sepeda onthel, serta rombongan yang mewakili keragaman etnis di Sumsel: tanjidor (Betawi), reog Ponorogo (Jawa), ogoh-ogoh (Bali), dan atraksi kebudayaan Batak.

Saya yang semasa kecil sering menonton pawai peringatan HUT RI tiap Agustus di Palembang sudah bisa membayangkan bakal seperti apa meriahnya Pawai Budaya ini nanti. Saking sesaknya penonton, dulu saya pernah terpisah dari Ibu dan adik-adik. Untung ada tetangga yang menemukan saya sehingga bisa pulang ke rumah di Lebong Siareng.

2. Festival Budaya
Di hari kedua, 12 Februari 2017, acaranya adalah Festival Budaya yang digelar di PSCC. Rangkaian acara dimulai pukul 09.00 dan menyajikan beragam atraksi.

Antara lain festival barongsai, penampilan perwakilan komunitas Tionghoa di Sumsel, pertunjukan Tari Tangan Seribu, sajian tari kreasi, pembacaan cerita pendek, pemutaran film-film pendek dan film Gie, ditutup dengan closing ceremony.

Untuk tari kreasi, panitia juga menggelar lomba yang menghadirkan legenda tari nasional Didik Nini Thowok. Menurut rencana juga akan ditampilkan drama kolosal legenda Pulau Kemaro. Dan karena Festival Imlek 2017 bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh, panitia menyediakan bus shuttle gratis dari PSCC ke Pulau Kemaro untuk melihat kemeriahannya.

Saya sangat penasaran dengan perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro. Ketika mengunjungi pulau tersebut tahun lalu, pulau ini sepi-sepi saja karena memang tidak ada acara apa-apa. Hanya ada rombongan saya, rombongan alumnus SMA Xaverius I Palembang yang tengah menggelar reuni, serta beberapa pelancong perorangan.

3. Festival Kuliner
Nah, bagi penyuka makan-makan ini dia event yang ditunggu-tunggu. Sebagai bagian dari rangkaian acara, panitia menggelar Festival Kuliner yang mengambil tempat di PSCC selama dua hari (11-12 Februari).

Tentunya bakal ada sajian makanan khas Palembang di sini. Pempek, tekwan, model, mie celor, kemplang, kue gandus, kue srikaya, burgo, lakso, es kacang merah, you name it.

Saya sendiri ingin sekali mencicipi laksan. Ini satu-satunya makanan khas Palembang yang belum pernah saya makan sejak meninggalkan kota tersebut medio 1992.

Wow, itu berarti sudah 25 tahun saya tak makan laksan! Padahal dulu saya tiap hari memakannya.

Bagaimana tidak tiap hari, orang dulu sewaktu kelas IV SD saya berjualan laksan di emperan rumah tetangga di pinggir Jl. Mayor Zurbi Bustan. Kelak kalau ada kesempatan ke Simpang Limo di Lebong Siareng, saya tunjukkan rumah tetangga tersebut. Mudah-mudahan masih belum banyak berubah keadaannya.

Tak hanya makan-makan, dalam festival kuliner ini juga ada lomba memasak bertajuk Chef Battle. Lalu ada demo memasak yang menampilkan koki-koki berpengalaman. Ada pula Mie Festival yang digelar di Palembang Icon, pusat perbelanjaan tepat di sebelah PSCC.

Oya, pengaruh Tionghoa juga ada lho dalam makanan khas Palembang. Pempek, contohnya. Sebuah teori menyebut pempek merupakan adaptasi dari ngo hiang atau kekkian, makanan asli penduduk Fujian di daratan Tiongkok.

Mengenai nama pempek, konon bermula dari panggilan untuk orang Tionghoa yang pertama kali membuat dan menjajakan makanan ini di Palembang. Ketika memanggil, calon pembeli biasanya menyerukan “Pek-Apek” yang merupakan panggilan untuk lelaki tua dalam bahasa Tionghoa. Dari sinilah nama pempek berasal.

 

Pempek Pak Raden, Palembang. With @travelerien @relindapuspita

A photo posted by Eko Nurhuda (@bungeko_) on May 15, 2016 at 12:54am PDT

//platform.instagram.com/en_US/embeds.js

Sebuah Harapan
Sejak jaman saya kecil Palembang terkenal sebagai kota yang meriah. Setiap kali mengadakan event dijamin berlangsung semarak. Penyelenggaraannya rapi, pesertanya banyak, dan selalu mengesankan bagi siapapun yang melihat.

Masa itu saya biasa diajak Ibu menyaksikan pawai tujuh-belasan setiap Agustus. Dan selalu saja penontonnya membludak, memenuhi pinggiran jalan yang akan dilewati kontingen pawai. Selain kendaraan hias nan cantik-cantik, saya paling suka atraksi drum band Universitas Tridinanti yang ketika itu paling tersohor di Palembang.

Hal itu terus dipertahankan Palembang hingga kini. Tahun lalu setidaknya ada tiga event besar di Kota Pempek, yakni Gerhana Matahari Total (GMT), International Musi Triboatton 2016, dan Festival Sriwijaya. Saya menjadi saksi perhelatan kedua, dan sungguh benar-benar terkesan sekali oleh keseluruhan acara. Semarak, meriah, dan meninggalkan kesan mendalam.

Karena itulah saya berharap dapat kembali mengunjungi Palembang untuk mengikuti Festival Imlek Indonesia 2017. Sudah terbayang dalam benak saya bakal seperti apa keseruan event ini. Apalagi setelah membaca-baca berita mengenai Festival Imlek Sriwijaya tahun 2015 lalu. Seru!

Semoga saja ada rejeki saya ke Palembang untuk mengabadikan kemeriahan Imlek suatu saat nanti. Syukur-syukur bisa sekalian mengikuti perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro.

Allahumma amin.

Perayaan Imlek di Kota-Kota Besar di Indonesia. #FestivalImlekIndonesia #PesonaIndonesia pic.twitter.com/69UnpTXHCm

— Pesona Sriwijaya (@pesonasriwijaya) 21 Januari 2017

//platform.twitter.com/widgets.js

Foto-foto:
Foto 1:
Foto 2: Dokumentasi pribadi
Foto 3: http://travel.kompas.com/read/2014/01/29/1112417/Pulau.Kemaro.Legenda.Cinta.di.Bulan.Purnama.Cap.Go.Meh
Foto 4: Wikipedia
Foto 5: travelerien.com/2016/03/berwisata-di-palembang-melihat-pesona.html
Foto 6: Wikipedia

Referensi:
– Wikipedia
– travelingyuk.com/perayaan-imlek-di-indonesia/2886/
– travelingyuk.com/kelenteng-di-indonesia/25363/
– tionghoa.info/tahun-baru-imlek/
– tionghoa.info/sejarah-cap-go-meh/
– merdeka.com/peristiwa/cerita-mata-sipit-kulit-putih-orang-palembang.html
– tionghoa-muslim.blogspot.co.id/2012/05/jejak-muslim-tionghoa-di-palembang.html
– nationalgeographic.co.id/berita/2015/06/kampung-kapitan-palembang-jejak-pertama-keturunan-tionghoa
– nasional.news.viva.co.id/news/read/621951-seri-walisanga-sunan-gunung-jati-dan-asal-usul-palembang
– tribunnews.com/travel/2016/06/14/makam-ki-gede-ing-suro-di-palembang-yang-kini-jadi-warisan-dunia
– tribunnews.com/travel/2015/07/06/pulau-kemaro-daratan-di-tengah-sungai-musi-dari-legenda-siti-fatimah
-travel.kompas.com/read/2014/01/29/1112417/Pulau.Kemaro.Legenda.Cinta.di.Bulan.Purnama.Cap.Go.Meh

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

20 Comments on Pengaruh Tionghoa di Palembang, dari sedapnya pempek sampai meriahnya Imlek

  1. satu lagi penduduk melayu disini juga masih banyak yg keturunan tionghoa entah dari generasi keberapa karena itulah kadang kadang klo lihat orang palembang asli sekilas mukanya mirip orang orang tionghoa
    saya sendiri keturunan tionghoa dan palembang
    tapi ya begitu lah palembang dengan budaya melayu nya memang tak bisa dipisahkan dengan pengaruh tionghoa nya seolah pengaruh ini seperti sudah diikat layaknya legenda siti fatimah dan tan bun an

    jaya selalu kak
    main main ke palembang

    Suka

    • Iyap, betul sekali. Sepanjang sejarahnya Palembang memang erat sekali kaitannya dengan Tionghoa dalam segala hal. Dan, betul sekali, kita akan mudah sekali melihat kemiripan orang Palembang (atau Sumatera SElatan pada umumnya) dengan orang Tionghoa.

      Btw, kalu aku ke Palembang bukan main namonyo, tapi balik kampung hahaha.

      Suka

  2. Hehehe, cuma ini nggak masuk kriteria penilaian, Mas. Temanya kan tentang perayaan Imlek, nah, aku kan malah cerita pengaruh Tionghoa di Palembang. Hihihihihi.

    Suka

  3. Aku selalu melewatkan Imlek, Mbak. Hahaha. Makanya pengen banget suatu saat ikut mengabadikan momen ini. Tahun depan kudu bisa nih, walaupun cuma di klenteng deket sini atau syukur bisa ke Semarang. Insya Allah.

    Suka

  4. Ini rumahnya koh Deddy, Palembang. Btw SERIWIJAYA bukan SRIWIJAYA. Dan postinganya total abis, referensinya banyak

    Suka

  5. aku kemarin melewatkan Imlek yang di Solo, banyak kerjaan dan pas liburan anakku malah sakit, sedikit nyesel sih

    tapi yasudahlah 🙂

    Suka

  6. Tapi di tulisan ini aku nggak bahas itu sama sekali, Mas. Malah kujabarkan kalo pempek itu pengaruh dari Tionghoa, asal-usul nama pempek gimana, dan siapa yang pertama kali membuatnya. Hahaha.

    Suka

  7. Kalau tentang Tionghoa saya suka dengan desain dan warna bangunannya. Keren. Terus kalau tentang Palembang suka dengan pempeknya 🙂

    Suka

  8. Wah, aku dulu jaman kecil ya sarapannya pempek, jajan di sekolah pempek, sore-sore banyak mamang-mamang ngider yang dijual juga pempek. Segala macam pempek deh. Dulu jaman kecil aku seneng banget pempek panggang 🙂

    Suka

  9. Iya, udah kebayang bakal seseru apa kalo palembang ngadain event. Makanya pengen banget liat Festival Imlek ini. Semoga aja ada rejekinya 🙂

    Suka

  10. Di Palembang kaum pendatang aman tenteram, terutama etnis Tionghoa. Wajarlah ngeliat sejarahnya warga di sana sudah berinteraksi dengan orang asing sejak ratusan tahun lalu. Seiring dengan semakin berkembangnya kota ini, sekarang Palembang nampaknya sudah semakin nyaman didatangi 🙂

    Suka

  11. Masihlah, Koh, Kualat gek kalo dak inget hahaha

    Suka

  12. Masih, hahaha. Foto di Lebong Siareng juga masih, apalgi foto-foto di Plaju. Kalo pas main di Plaju pasti difoto sama Bude, jadi di sana labum fotonya pasti ada fotoku dan adik-adik.

    Suka

  13. moga bisa dataang ah

    Suka

  14. Sangaat menarikk melihat jejak budayaa yg ada di Palembang mas ekoo. . Hehehe saya belum pernah langsung mencicipi pempek di tkp alias di asalnya langsung. kalau ada rejeki semogaa bisa maen” ke palembang. . Aamiin. .

    Suka

  15. agendanya lengkap bgt, seru bgt kali yaa klo bisa ngeliat lgsg.. oiya aku juga baru tau nih asal nama pempek, makasih sharingnya ya

    Suka

  16. Wah, lengkap banget pembahasannya, Bung. Saya punya dua teman Palembang. Satu teman kantor, satu lagi teman sewaktu belajar bahasa Mandarin. Memang pempeknya enak di Bogor, dah nyobain. Dih jadi mupeng pagi-pagi. Belum pernah ke Sumatera malahan. Mungkin suatu saat ada rezeki. Baru tahu Mas ada masjid Cheng Ho di Palembang. Akulturasi budaya sangat lekat ya di masyarakat kita. Jadi sebenarnya jangan jadi bahan perpecahan karena membangunnya sudah susah payah. Semoga beruntung Mas.

    Suka

  17. Mantep. Walau udah rantau jauh tapi tetap ingat kampung kelahiran ya

    Suka

  18. Masih ada aja foto Monpera tahun segitu mas, saluuut 🙂 aku masih belom lahir haha. Baca tulisan mas Eko jadi tahu tentang Yi Jing. Semoga berhasil lombanya 🙂

    omnduut.com

    Suka

1 Trackback / Pingback

  1. Tahun Memantapkan Hati – bungeko.com

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.