Highlight:

Belajar dari LPI

KONFLIK sepakbola nasional semakin memanas. Setelah kubu status quo berusaha menjegal langkah Arifin Panigoro dan George Toisutta melalui Komisi Pemilihan, giliran Pemerintah melalui Menpora yang meminta Komisi Banding untuk “mengoreksi” keputusan Komisi Pemilihan tersebut.

Ujung ceritanya sudah sama-sama kita ketahui. Komisi Banding malah membatalkan hasil verifikasi Komisi Pemilihan dan mengembalikan mandat kongres kepada Komite Eksekutif PSSI. Kongres pun ditunda, dan rencananya mulai digelar lagi 26 Maret mendatang.

Sungguh sangat disayangkan jika konflik ini terus berlanjut. Imbasnya bahkan sudah dirasakan Timnas U-23 yang akan melakoni laga leg kedua pra-Olimpiade melawan Turkmenistan di Ashgabat, Rabu (9/3) lalu. Pengucuran anggaran untuk Timnas Pra-Olimpiade dari Pemerintah tersendat, membuat Badan Tim Nasional (BTN) terpaksa menalangi seluruh dana operasional yang mencapai Rp 3 miliar (BOLA edisi 2.164).

Saya pribadi sependapat dengan apa yang dikatakan Pemred BOLA, Ian Situmorang, saat diundang tvone dalam program Apa Kabar Indonesia, Ahad (27/2) pagi. Dengan lugas Ian mengatakan, tidak selalu yang kita musuhi itu jelek. Jadi, solusi yang diusulkannya adalah PSSI dan Konsorsium LPI duduk bersama demi menemukan solusi terbaik bagi kemajuan sepakbola Indonesia.

Ilustrasi: Jurnal Perempuan
Nurdin Halid: Tetap ngeyel maju sebagai ketua umum PSSI meski kepemimpinannya “gatot” alias gagal total.
Ya, tidak selalu yang kita musuhi itu jelek. Terkadang justru ada banyak hal positif yang bisa dipelajari dari “musuh”. Dalam kaitannya dengan konflik PSSI vs Konsorsium LPI, secara jujur PSSI harus mengakui kalau LPI memiliki sejumlah hal positif yang bisa mereka adopsi demi meningkatkan kualitas LSI. Saya mencatat setidaknya ada 6 poin positif yang diajarkan LPI kepada PSSI.

1. Nama Klub Peserta Lebih Kreatif
Dalam rubrik Bolamania di BOLA edisi 1.316, 3 Juni 2003, saya sempat mengkritisi nama klub-klub Liga Indonesia yang nyaris seragam. Bahkan ada sejumlah klub yang namanya sama persis: Persiba Bantul dan Persiba Balikpapan, Persis Solo dan Persiss Sorong. Bukankah nama-nama seperti Bogor Raya, Bandung FC, Semarang United, atau Real Mataram lebih enak didengar?

2. Tidak Ada Iklan Rokok
Rokok dan kegiatan olahraga adalah 2 hal yang sangat berlawanan. Maka, iklan rokok di kompetisi sepakbola merupakan sebuah paradoks. Lucunya, sepanjang sejarah Liga Indonesia sponsor utamanya hampir selalu rokok! Selain sponsor utama yang produknya justru membuat tidak sehat, sponsor pendukung biasanya “hanya” perusahaan apparel klub tuan rumah, Bank Pembangunan Daerah setempat, dan koran lokal. Bedakan dengan LPI yang sanggup menggaet sejumlah perusahaan besar dunia seperti Coca Cola atau Microsoft.

Logo Liga Primer Indonesia3. Wasit Asing
Ketika penggunaan wasit asing di LSI masih sekedar wacana, pertandingan LPI, terutama yang disiarkan langsung, sudah memakai wasit luar negeri. Memang hal ini terbukti belum menjadi solusi atas jeleknya kinerja wasit lokal. Beberapa wasit asing yang didatangkan LPI malah dikeluhkan klub peserta. Tapi setidaknya LPI telah mengajarkan bahwa setiap ide itu harus dicoba untuk mengetahui hasilnya. Kini, PT Liga Indonesia sudah mulai menggunakan wasit asing di LSI.

4. Kualitas Siaran Langsung
Saya tidak tahu dengan daerah lain, tapi di kota Yogyakarta (saya 10 tahun di sana) dan Pemalang (tempat domisili saya sejak Mei 2010) siaran langsung LSI yang dipancarkan antv tidak pernah jernih. Ini ditambah lagi dengan host yang masih sering salah menyebut nama pemain dan hanya menyampaikan apa yang juga penonton lihat di layar kaca. Demikian pula dengan komentatornya yang kerap berkomentar secara subjektif.
Bandingkan dengan siaran langsung LPI yang disiarkan oleh Indosiar, Trans TV, dan Trans 7. Ketiga stasiun televisi ini mampu menampilkan gambar yang sangat jernih, serta kualitas host dan komentatornya—menurut saya—sedikit di atas kualitas host dan komentator siaran langsung LSI.

5. Lagu Indonesia Raya
Di LPI, sebelum kick off selalu diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Memang ini bukan aturan baku dalam sebuah pertandingan kompetisi lokal, namun pemutaran lagu kebangsaan sebelum pertandingan sedikit banyak akan meningkatkan rasa nasionalisme. Saya rasa ini hal positif.

Foto: PSSI
Irfan Bachdim: Nasibnya di Timnas bakal terus terkatung-katung akibat konflik PSSI vs Konsorsium LPI.
6. Tidak Menggunakan APBD
Velix Wanggai, salah satu staf Presiden SBY, sempat melontarkan pujian terhadap LPI di media. Poin plus LPI yang menurut Velix patut dicontoh adalah klub-klub pesertanya tidak menggunakan dana APBD. Di LSI, hanya Arema Indonesia, Persib Bandung, dan Semen Padang saja yang tidak dibiayai APBD. Lalu di Divisi Utama mungkin nama Pro Titan bisa disebut. Sampai kapan klub-klub Liga Indonesia lepas dari APBD? Atau, pertanyaan yang lebih tepat mungkin, bisakah klub-klub Liga Indonesia lepas dari APBD?

Selama ini PSSI hanya mengandalkan legalitas setiap membandingkan LSI dengan LPI. Oke, legalitas memang penting. Tapi, apa gunanya legalitas tanpa kualitas? Peringkat 8 besar Asia yang disematkan AFC pada LSI 2 tahun lalu nyatanya tidak terlihat dalam ajang Liga Champions Asia maupun AFC Cup. Bukti teranyar, Sriwijaya FC mampu ditahan imbang 1-1 di kandang oleh VB Sports dari Maladewa.

Jadi, benar kata Ian Situmorang dalam program Apa Kabar Indonesia yang disiarkan tvone, Ahad (27/2) pagi lalu. PSSI, Konsorsium LPI, dan juga Kemenpora harus duduk bersama untuk berdiskusi (bukan berdebat!) dalam kerangka memajukan sepakbola nasional. Bayangkan bila 6 kelebihan LPI di atas dipadukan dengan legalitas dan pengalaman yang dimiliki LSI, akan jadi seperti apa liga domestik Indonesia nantinya?

Salam sepakbola!

Catatan: Tulisan ini saya kirimkan ke rubrik Oposan di tabloid BOLA, tapi tabloid ini–yang nampaknya tidak setuju dengan adanya LPI–tidak memuatnya.

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

4 Comments on Belajar dari LPI

  1. Agus Siswoyo:
    Karena rupiah itulah Nurdin betah di PSSI. Sudah dapet 8 tahun, eh, mau tambah lagi. Perut karet kali ya? Hahaha…

    Rusa:
    Setuju..!

    Nenad Mohamed:
    Ah, akhirnya dirimu kembali lagi ke dunia blog, Bro. Welcome back deh, hehehe…

    Btw, aq kok lebih suka PS Putra Bahar aja yang bener-bener Indonesia banget. 😀

    Suka

  2. Tapi kalo bisa,buat klub yg baru mo berdiri dengan maksud pengen ikutan LPI,please…namanya jangan maksa-maksain pake embel2 'real' atawa 'united',masih ada opsi lain kan??ga enak juga kalo kebanyakan yg pake real atw uinted (gimana kalo bahar rovers fc,bro?hehehe)

    satu lagi,moga2 komentator TV yg nyiarin LPI jg ga ikut2an kayak komentator TV sebelah yg nayangin ISL yg dengan super heboh bilang pertandingan yg sebenernya sekelas “Getafe VS Hercules” aja dengan SUPER BIG MATCH!!!!

    Suka

  3. pokoknya 1 kata. TURUNKAN NURDIN 🙂

    Suka

  4. Entahlah, saya jadi bosan dengar pemberitaan seputar konflik PSSI. Banyak pihak yang berebut kue manis bernama rupiah. Rakyat cuma kebagian sengsara.

    Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.