Sekelumit kenangan bersama Duto Sri Cahyono
USIANYA mungkin setara ibu saya. Tapi, apa boleh buat, saya sudah terlanjur memanggilnya Mas sejak awal kenal. Sebuah perkenalan khas era digital. Bermula dari sebuah portal citizen journalism bernama Wikimu.com, diselingi beberapa pertemuan dan jalinan “kerja sama”, lalu berakhir dengan sebuah kabar duka di Facebook.
Saya sedang getol-getolnya menulis ketika itu. Maklum, status saya mahasiswa jurusan jurnalistik di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Selain rajin mengirim naskah (cerpen, opini, resensi buku, dll.) ke media cetak, saya merasa perlu mengasah sekaligus unjuk kemampuan di wadah-wadah penulisan daring.
Selain ngeblog–blog pertama saya dibuat medio 2005, saya juga kemudian aktif di situs apapun yang menerima kiriman tulisan dari pembaca. Satu yang paling sering saya buka adalah Wikimu.com, situs yang mendaku sebagai pelopor citizen journalism di negeri ini.
Di situs inilah saya mengenal sosok Duto Sri Cahyono. Namanya kerap muncul di sidebar Wikimu, dalam deretan kontributor teraktif dan artikelnya paling banyak dibaca. Ketika kemudian saya baca tulisan-tulisannya, saya langsung tersihir pada gagasan-gagasan yang disampaikan.
Satu tulisan yang paling saya ingat adalah ceritanya panen uang dari blog tanpa iklan. Sebuah ide memanfaatkan blog sebagai penghasil uang, tapi tanpa harus memasang kode-kode iklan dari pihak ketiga.
Metode ini sebetulnya sudah diterapkan blogger-blogger luar negeri. Membangun blog authoritative mengenai tema tertentu, meraih pembaca loyal, lalu memasarkan produk atau jasa. Hal yang setahu saya belum dilakukan di Indonesia.
Mas Duto ketika itu membuat blog seputar hobi memelihara burung berkicau. Membahas semua hal terkait burung: cara menangkar, tips agar kicauan burung ramai dan merdu, mengatasi penyakit burung, sampai menyediakan berkas suara-suara kicauan burung dalam format mp3.

Interaksi saya bersama Mas Duto di Wikimu.com, saya screenshot berkat bantuan Archive.org.
Pertemuan Pertama di Bantul
Dari interaksi di Wikimu.com, kami kemudian bertukar nomor telepon. Rupanya Mas Duto terhitung sering ke Jogja, baik menumpang bus maupun naik sepeda motor. Dalam beberapa kesempatan untuk “nongkrong” bersama teman dan kenalannya, yang belakangan saya tahu kebanyakan berkaitan dengan rencana-rencana bisnis.
Suatu kali ke Jogja ia mengabari saya, mengajak nongkrong di suatu tempat di Pakualaman bersama teman-temannya. Sayangnya hari sudah sangat malam dan pintu gerbang kos saya sudah tutup pukul sebelas malam, jadi saya tidak dapat mengiyakan ajakan itu.
Namun saya tidak mau melewatkan kesempatan berikutnya. Siang itu Mas Duto mengabari dirinya tengah menuju ke suatu tempat di pedalaman Kabupaten Bantul untuk menemui seseorang. Tanpa pikir panjang saya segera memacu Honda Astrea Grand–yang dibeli dengan uang hasil ngeblog–ke daerah yang disebut bersama seorang teman.
Belum sampai saya ke tujuan, rupanya urusan Mas Duto sudah selesai. Kami pun berpapasan di jalan, tak jauh dari rumah seseorang yang ia temui. Karena sama-sama belum makan siang, setelah bersalaman dan berbasa-basi kami sepakat mampir di satu rumah makan nan sepi.
Sambil makan soto di rumah makan pinggir jalan itu, obrolan dibuka. Sesuai harapan saya, Mas Duto menyampaikan gagasan-gagasannya mengenai dunia penerbitan digital yang sedang begitu ia senangi dan rintis. Di situ pula untuk kali pertama saya mendengar langsung cerita di balik blognya yang sukses menghasilkan banyak uang meski tak secuil pun memasang iklan. Tidak berupa banner, juga tidak sponsored post.
Lebih kerennya lagi, itu blog gratisan yang alamat url-nya masih memakai embel-embel .wordpress.com. Saya sebagai pemakai nama domain .com jadi malu sendiri.
Dalam pertemuan itu beliau membuat saya tertohok ketika mengatakan, saya parafrase, “Peluang menghasilkan uang dari blog itu ada banyak sekali. Jangan cuma terpaku sama banner iklan, sama Google AdSense. Akan lebih besar potensinya kalau bisa membuat produk sendiri, brand sendiri.”
Saya semakin tenggelam dalam rasa malu. Tapi di saat bersamaan merasa sangat termotivasi.
Meski demikian, pikiran saya belum sampai ke sana. Ketika itu saya masih asyik menghasilkan dolar dari SponsoredReview, situs penghasil uang andalan saya, sembari berharap dapat menyelesaikan kuliah. Pun, saya tengah tergabung di sebuah mingguan lokal dan berusaha menembus satu koran harian baru di Jogja yang menurut saya lebih bonafid.
Beberapa saat kemudian Mas Duto merilis Omkicau.com, sebagai bentuk lebih serius dari versi WordPress gratis blog yang ia ceritakan. Saat itu saya belum sadar ia sedang memberi contoh mengenai apa yang pernah dikatakan pada saya.

Mas Duto tengah memuaskan hobinya yang lain, memancing. FOTO: facebook.com
Jangan Jadi Wartawan!
Tak ada pertemuan lagi setelah itu. Saya kemudian sibuk dengan masa magang di koran incaran. Menariknya, koran ini ternyata satu grup dengan koran tempat Mas Duto pernah berkarier. Mas Duto adalah eks Pemred koran lokal di Solo tersebut. Pemred dan Wapemred koran tempat saya meliput adalah teman-temannya.
Dengan jalinan relasi seperti itu, saya mulai membayangkan bakal jadi wartawan betulan. Mas Duto pernah secara terang-terangan memuji tulisan saya. Saya juga pernah secara tidak sengaja mendengar redaktur yang membawahkan saya memuji hasil liputan saya di hadapan redaktur lain. Lalu ditambah pertemanan Pemred dan Wapemred koran tersebut dengan Mas Duto, saya rasa impian masa kecil kian dekat dengan kenyataan.
Eh, siapa sangka ketika kemudian saya membicarakan keinginan tersebut padanya via telepon, Mas Duto justru tegas berkata, “Jangan jadi wartawan.” Setengah bercanda itu berkata jadi wartawan itu cuma menang gengsi. Lihat saja, Bondan Winarno yang wartawan top itu saja memilih berhenti dan jadi pengusaha.
Diam-diam saya mengiyakan. Sebab di kampus sering datang senior yang sudah menjadi wartawan di beberapa koran ternama. Masalah gaji juga sering disinggung-singgung. Dari situ saya tahu kalau hanya media bonafid tertentu yang memberi gaji standar UMP. Gaji beberapa senior malah masih kalah dari pendapatan bulanan blog saya.
Tapi, jujur saja saya tidak senang ketika itu. Menjadi wartawan adalah impian saya sejak SMP. Saya merasa punya material lebih dari cukup untuk menekuni profesi ini. Dan ketika impian tersebut semakin dekat, seseorang yang baru saya kenal beberapa bulan sebelumnya menyarankan agar saya tidak menempuh jalan tersebut.
Rupanya Mas Duto tidak main-main dengan perkataannya. Ia mencoba mengajak saya berpikir logis, memandang jauh ke 5-10 tahun ke depan, sembari mengingatkan saya sebentar lagi menikah dan berkeluarga. Ketimbang bekerja sebagai wartawan di media orang, ia menyarankan saya merintis media sendiri. Kembali ia mengingatkan potensi media penerbitan digital seperti yang pernah dikatakannya saat kami bertemu.
“Kita ini penulis tipe penjahit. Kita bisa membuat tulisan bertema apa saja, dari olahraga sampai ekonomi, asalkan punya referensi,” katanya suatu ketika, lagi-lagi saya parafrase. Ini dikatakan untuk menggambarkan bahwa di awal-awal merintis media online tersebut saya bisa menangani semuanya sendiri, menulis segala konten sendirian, sampai kelak mampu menggaji penulis.

Begini tampilan blog kicauan.wordpress.com, cikal bakal Omkicau.com yang melegenda dan sangat menginspirasi saya.
Media online yang ia sarankan adalah seperti yang tengah dirintisnya ketika itu: Omkicau.com. Sebuah blog yang dalam beberapa tahun kemudian berkembang jadi sebuah bisnis beromset ratusan juta. Mempekerjakan belasan karyawan, mempunyai agen di puluhan kota se-Indonesia.
Salahnya saya ketika itu, saya merasa pendapat itu bias. Saya rasa Mas Duto hanya tengah “tergila-gila” dengan media penerbitan digital, karenanya menganggap itu adalah solusi bagi semua orang. Sama halnya seorang pria yang akan selalu memuji wanita yang sedang ia kagumi ke setiap orang.
Dugaan saya seolah mendapat bukti ketika tak lama berselang Mas Duto menawari saya bergabung ke Jogjanews.com, kanal berita lokal yang ia rintis bersama beberapa kolega. Saya menolak tawaran itu, sembari berpikir kenapa melarang-larang orang jadi wartawan kalau ujung-ujungnya menawari bergabung ke media online rintisannya?
Sayangnya saya salah. Ya, salah besar.
Tulisan yang menyentuh. Saya bukan penggemar burung, hanya pernah membaca blognya karena disebut-sebut sebagai salah satu yang paling populer di Indonesia. Kebetulan beberapa hari yang lalu saya membaca tulisan blog tentang apa yang terjadi ketika pemilik blog sudah tiada. Beberapa penulis blog benar-benar meninggalkan kenangan baik di hati orang-orang yang mengenalnya maupun para pembacanya.
SukaSuka
Terima kasih banyak sudah membaca, Mas. Ini orang luar biasa. Walaupun kami hanya berinteraksi secara langsung sebentar saja, dan lebih sering berjauhan, tapi saya merasakan perhatian dan kepedulian yang luar biasa dari beliau. Merasa benar-benar kehilangan sewaktu mendengar kabar kematian beliau.
SukaSuka