Highlight:

Dollar cost averaging vs swing trading, manakah yang lebih menguntungkan dalam investasi saham?

SEBUAH notifikasi menarik muncul saat saya membuka Quora belum lama ini. Seorang Quorawan menyukai jawaban saya pada pertanyaan “Apa saja saham yang rutin kamu tabung tiap bulannya?” Di mana menariknya? Karena jawaban itu saya tulis lebih dari setahun lalu.

Saya sendiri sudah lupa bagaimana bunyi jawaban itu. Baru ingat kembali ketika kemudian mengeklik notifikasi yang muncul tadi. Jawaban yang saya tulis ketika masih hangat-hangatnya terjun di bursa saham. Bulan-bulan awal setelah membuka rekening saham Sinarmas Sekuritas lewat Stockbit.

Jadi, apa saja saham yang rutin saya tabung setiap bulan?

Oke, saya pindahkan jawaban tersebut ke blog ini. Tentunya dengan sejumlah pengembangan–jauh berkembang, pengayaan, serta pembaruan terkait nama saham dan angka-angka yang disebut dalam jawaban tersebut. Katakanlah ini jawaban versi lebih detil, atau setidak-tidaknya lebih panjang, serta lebih up to date.

Jawabannya adalah, saya belum ke tahap nabung saham secara rutin setiap bulan. Awalnya dulu saya memang berpikir dan berencana begitu, sesuai slogan BEI: Yuk Nabung Saham! Saya bahkan sudah membuat tabel, menghitung-hitung seberapa besar “tabungan” saya kelak 5, 10, 15, 20 tahun ke depan jika setiap bulan membeli saham tertentu senilai tertentu.

Tapi setelah mengamati dan nyemplung langsung di bursa, menurut saya menabung saham tidak pas buat saya yang bermodal cekak. Setidaknya untuk saat ini, bagi saya menabung saham bukan opsi menguntungkan. Perhatikan, saya mengatakan “untuk saat ini”. Artinya, bisa saja ke depan saya juga menabung saham. Tapi sekarang, ini bukan cara yang saya pilih.

Kenapa? Dengan modal sangat kecil, tak sampai Rp 5 juta di tahun pertama, saya lihat menabung saham-saham blue chips setiap bulan dan berharap dapat dividen rutin setiap tahun dari saham tersebut keuntungannya tidak akan terasa. Return-nya kurang menarik. Nggak nendang.

Yuk nabung saham

Banner kampanye Yuk Nabung Saham di lobi kantor IDX Semarang. Sebuah gerakan bagus yang sayangnya menurut saya belum pas diterapkan saat ini.

Jauh lebih menguntungkan bagi saya untuk mengincar keuntungan dari pergerakan harga (capital gain). Tujuan jangka pendeknya adalah mengembangkan modal yang cekak tadi dalam 3-5 tahun. Target saya, dana tersebut mengembang setidaknya 250% di tahun kelima. Ya, 50% setahun.

Target yang terlalu berlebihan? Kita lihat saja. Namun saya berkeyakinan ritel dengan modal mungil seperti saya bahkan dapat memasang target 75% – 100% setahun. Karena tertarik untuk membuktikan, saya kemudian memilih trading saham. Lebih tepatnya swing trading berdasarkan tren.

Baca juga: Day trading vs swing trading, manakah yang lebih baik dalam menghasilkan keuntungan dari saham?

Dollar Cost Averaging

Agar lebih jelas, mari kita coba hitung-hitungan. Kita bandingkan manakah yang persentase keuntungannya lebih besar, memakai metode dollar cost averaging (DCA) alias menabung saham rutin atau swing trading.

Tapi, ingat, saya sama sekali tidak bermaksud menyatakan strategi mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk. Ini sekedar contoh untuk kasus saya sendiri. Setiap orang punya kondisi dan motif berbeda-beda, sehingga strategi yang tepat untuk masing-masing orang akan sangat berlainan.

Mari kita mulai menghitung.

Pabrik PT Wilmar Cahaya Indonesia

Pabrik PT Wilmar Cahaya Indonesia, perusahaan terbuka pertama yang saya beli sahamnya saat belajar investasi di bursa.

Saya akan menggunakan saham PT Wilmar Cahaya Indonesia, Tbk. (CEKA) sebagai contoh. Ini saham yang pertama kali saya beli begitu rekening saham selesai dibuat, pertengahan Agustus 2019. Saham pertama yang memberi tiga pelajaran penting pada saya, yang lantas mengubah strategi investasi yang saya jalankan.

Katakanlah saya rutin menyisihkan uang Rp1.000.000 setiap bulan untuk membeli saham CEKA. Waktu pembeliannya selalu pada tanggal 20 setiap bulan, atau hari bursa setelahnya jika tanggal tersebut libur. Berapa pun harga CEKA di bulan tersebut saya tetap akan beli Rp1.000.000. Berapa lot pun yang didapat, tidak jadi masalah.

Jika saya mulai menabung sejak 20 Agustus 2019, maka pada 25 Desember 2020 ini terkumpullah 105 lot alias 10.500 lembar saham CEKA. Dengan harga rata-rata (average price) Rp1.606 per lembar, saya menghabiskan modal sebesar total Rp17.038.520 (termasuk fee beli 0,15%).

Setiap bulan saya rata-rata membeli 6-7 lot saham CEKA. Lot terbanyak didapat ketika IHSG crash pada Maret 2020, di mana dengan uang Rp1.000.000 bisa didapatkan 10 lot saham CEKA.

Untuk lebih detilnya lihat tabel berikut:

Seperti tersaji pada tabel, ketika melakukan pembelian di tanggal 21 Desember 2020 (tanggal 20 bursa libur) tabungan saham CEKA saya floating profit 13,25% berdasarkan harga hari itu. Jika dibandingkan dengan harga penutupan pada Rabu (23/12/2020) lalu yang di angka Rp1.795, floating profit-nya turun sedikit menjadi 10,77%.

Oya, CEKA dipilih karena sangat sehat serta terhitung rutin membagi dividen. September 2020, hasil RUPS Wilmar Cahaya Indonesia memutuskan untuk membagi dividen tahun buku 2019. Besarnya Rp100 per lembar saham. Cum date jatuh pada 2 September 2020.

Kita lihat kembali tabel di atas, pada saat cum date tersebut koleksi saham CEKA saya sebanyak 82 lot alias 8.500 lembar. Sekali lagi, kita andaikan metode DCA ini begitu disiplin diterapkan sehingga kalau belum tanggal 20 belum membeli lagi.

Dengan demikian, dividen yang saya terima dari CEKA adalah Rp100 dikali 8.500 lembar saham. Jumlahnya Rp850.000, atau Rp765.000 setelah dipotong pajak.

Modal yang telah dikeluarkan hingga saat cum date adalah Rp12.997.968. Artinya, dividen yang diperoleh memberikan yield sebesar 5,68%. Not bad-lah. Kalau patokannya bunga deposito, maka persentase ini sudah melampaui bunga yang diberikan bank-bank besar di Indonesia.

Oke, ini poin-poinnya:
– Modal total Rp17.038.520,- (termasuk fee)
Floating profit 10,77% atau Rp1.834.500,-
– Dividen didapat Rp765.000,-

Harus saya akui metode dollar cost averaging di atas adalah cara berinvestasi saham yang bagus, sangat menguntungkan, antiribet. Persentase profitnya mungkin tidak begitu fantastis, tapi tingkat keamanannya sangat tinggi. Menenangkan hati sehingga kita dapat fokus pada pekerjaan.

Terlihat pada tabel, hanya sekali saja portofolio tersebut merah alias mengalami floating loss. Yaitu ketika pertama kali IHSG mengalami crash pada Maret 2020 lalu. Selebihnya selalu hijau.

Strategi swing trading

Taktik simpel swing trading. Buy low sell high, buy high sell higher.

Swing Trading

Sayangnya, mengingat saya sedang berada dalam kondisi tak selalu dapat menyisihkan Rp1.000.000 setiap bulan, maka opsi ini tidak mungkin saya pilih. Untuk sementara saya berkecimpung di dunia saham bukan sebagai investor, melainkan trader.

Saya pikir ini pilihan logis. Dengan modal kecil, apa yang seharusnya saya lakukan adalah mengembangkan dana yang ada menjadi sebanyak-banyaknya yang bisa didapat. Karenanya floating profit 10,77% selama 17 bulan dan dividen dengan yield 5,68% terasa kurang menarik bagi saya.

17 bulan itu waktu yang sangat panjang lho. Dan floating profit 10,77% dalam tempo selama itu berarti rata-rata 0,633% sebulan. Tak sampai 1%!

Maka, bagi saya lebih baik waktu luang yang ada dipakai untuk menganalisa saham second liner atau bahkan third liner. Saya pilih perusahaan bagus yang kinerjanya tengah menanjak, namun secara valuasi masih murah, beberapa sangat murah malah.

Pencarian pertama saya menghasilkan ISSP, sahamnya PT Steel Pipe Industry of Indonesia, Tbk. Pendapatan serta laba bersihnya tengah menanjak tinggi ketika itu. Sedangkan valuasinya masih sangat murah, PBV hanya 0,30-an. PER saya lupa berapa, adapun DER seingat saya di angka 0,80-an. Masih terhitung aman.

Kabar baiknya, saham ini diabaikan oleh kebanyakan ritel lebih-lebih big fund. Akibatnya, harga ISSP cenderung stabil di rentang 100-110 dalam rentang waktu cukup lama. Ini peluang bagus untuk dapat menimbun sebanyak-banyaknya secara mencicil.

Saya mulai kumpulkan saham ISSP sejak pertengahan Agustus 2019. Cuma bisa beli satu lot, karena di saldo RDN hanya ada sisa uang pembelian saham CEKA. Belum bisa top up. Bulan berikutnya saya jual rugi CEKA, lalu top up, dan mencemplungkan dananya ke ISSP. Harga rata-rata saya Rp113-an.

Hasilnya? Kinerja bagus ISSP mendapat ganjaran, dimasukkan ke dalam Indeks global yang jadi standar banyak pengelola reksadana dunia. Big fund mulai melirik, demikian pula ritel. Hanya 1,5 bulan berselang, boom! Harganya meroket tajam.

Profit one bagger dari saham ISSP

Bukti transaksi beli-jual sebagai bukti profit bagger alias 100% lebih yang saya dapat dari saham ISSP.

Pertengahan Oktober 2019, harga saham ISSP melonjak lebih dari 100% menjadi 220-an. Saya yang sudah tidak sabar ingin mengambil untung sudah mengeset jual pada angka 103%, padahal kenaikan tertinggi di hari itu mencapai 110%. Tak apalah, yang penting bagger. Saham third liner yang bikin saya merasakan bagger untuk pertama kali

Saya menutup tahun 2019, empat bulan pertama di bursa saham, dengan hasil yang boleh membuat dada mengembang. Profit total 29,21%, yang sebagian besar disumbang oleh bagger ISSP dan dividen DMAS. Dengan demikian saya berhasil mengembangkan dana menjadi seperempat lebih banyak. Lumayanlah untuk seorang pemula yang mempelajari dunia ini secara otodidak.

Memakai pendekatan sama, tahun 2020 ini saya kembali mencatatkan hasil yang (bagi saya) membanggakan. Per 25 Desember 2020 ini saya sudah dapat memastikan profit sebesar 47,64% dari modal. Peningkatan nyaris dua kali lipat dari 2019.

Dari tabel trading log, rincian profit saya tahun ini adalah: dari trading 46,56%, dari dividen 10,57%. Ini persentase dibandingkan total dana yang diisikan ke RDN sepanjang 2020 ya. Karena sempat loss dan kehilangan uang sebanyak 9,17% dari modal, serta biaya untuk fee jual-beli dan biaya margin, profit bersihnya 47,64%.

Sebenarnya saya dapat meraup profit lebih banyak andai tidak panik di bulan Maret-April, serta banyak melakukan keputusan ceroboh di bulan Mei-Juni. Misalnya, saya bakal mendapat bagger di saham RAJA, TPMA, PPRO, GPRA, WIIM, dan beberapa lagi andai tak buru-buru menjual ketika mengalami sedikit koreksi.

Tapi, ya sudahlah, profit 47,65% juga sudah sangat banyak. Apalagi tahun 2020 masih menyisakan tiga hari bursa, dan beberapa saham di portofolio saya tengah floating profit. Saya optimistis dapat meraih tambahan profit bersih 2,25% di sisa waktu yang ada sehingga totalnya genap 50% setahun.

Pergerakan harga saham Sido Muncul 5 tahun

Pergerakan harga saham Sido Muncul dalam 5 tahun terakhir, yakni 2015-2020. Kenaikannya 200% atau 40% per tahun.

Penutup

Sekali lagi, investasi dengan metode menabung saham rutin bulanan itu baik. Saya sendiri sangat menganjurkannya, terutama bagi yang punya pekerjaan tetap dan berpenghasilan pasti. Ini investasi saham tahan goncangan, sangat aman, dan keuntungan tahunannya jauh melebihi bunga deposito.

Dalam jangka panjang, katakanlah 5-10 tahun, imbal hasil yang diberikan dari menerapkan metode dollar cost averaging sangat tinggi. Lihat pergerakan harga PT Sido Muncul pada gambar di atas, misalnya. Dalam tempo lima tahun, harganya sudah naik 200% alias rata-rata 40% per tahun. Belum lagi dividen yang rutin dibagi setiap tahun.

Namun, sekali lagi saya tegaskan, metode investasi ini tidak cocok bagi saya. Selain bermodal cekak, saya juga tidak sedang dalam posisi berpenghasilan rutin bulanan. Belum tentu bisa menabung saham setiap bulan. Yang bisa saya lakukan adalah memutar uang yang ada di RDN.

Maka, pilihan logis saya adalah melakukan swing trading. Dari hitung-hitungan di atas dapat dilihat bahwa pilihan ini terbukti lebih menguntungkan untuk jangka pendek, yakni 17 bulan. Cara ini terbukti sebagai metode yang lebih tepat dan sesuai dengan tujuan saya yang ingin mengembangkan dana sebanyak-banyaknya.

Tentu saja saya tidak mau selamanya trading. Merancang program pensiun dengan dividen saham tetap menjadi tujuan utama saya dalam 15-20 tahun ke depan. Saya ingin menjadi sleeping investor, menurut istilah Bapak Lo Kheng Hong.

Saya ingin menghabiskan hari tua bermain-main bersama cucu, alih-alih terus-terusan memonitor pergerakan harga saham. Alasan lain, melakoni trading saham membuat saya seringkali melepas saham-saham bagus yang saya dapatkan di harga terbaiknya.

Kapan lagi coba saya bisa mendapat WEGE di harga Rp140, WIIM di harga Rp90, INDF di harga Rp5.000-an, atau PTBA di harga Rp1.500-an? Belum tentu harga saham-saham tersebut kembali ke titik itu dalam 3-5 tahun lagi. Bahkan mungkin tidak akan pernah lagi selamanya.

Maka, mulai tahun 2021 saya akan mencoba satu metode baru. Dengan metode ini saya berharap dapat tetap mengembangkan modal yang sudah ada, tapi sekaligus dapat menabung saham incaran secara rutin. Kita akan bahas ini di posting selanjutnya.

Semoga bermanfaat ya.

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (410 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

2 Comments on Dollar cost averaging vs swing trading, manakah yang lebih menguntungkan dalam investasi saham?

  1. Trima kasih bungeko tulisan anda sangat menginspirasi Semoga saya bisa ACTION secepat nya.

    Suka

1 Trackback / Pingback

  1. Yang gagal diraih dan yang tak terduga sepanjang 2020 – bungeko.com

Beri komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: