Saham third liner yang bikin saya merasakan bagger untuk pertama kali
MERAIH bagger, alias profit 100% atau setara modal, di bursa saham menjadi idaman banyak orang. Apalagi multibagger, alias profit ratusan persen. Karenanya saya gembira bukan kepalang ketika berhasil meraihnya hanya dalam waktu dua bulan sejak buka rekening saham.
Saya buka rekening saham di Sinarmas Sekuritas melalui Stockbit pada akhir Juli 2019. Pertengahan Agustus tahun tersebut, tepatnya 14 Agustus 2019, akun dan rekening dana nasabah saya siap dipakai. Sejak itu pulalah saya resmi menjadi salah satu dari hanya sekian persen investor saham di negeri ini.
Sebagaimana pernah saya ceritakan sebelumnya, saham pertama yang saya beli adalah CEKA atau PT Wilmar Cahaya Indonesia, Tbk. Saya hanya beli beberapa lot, lalu mencicil beberapa kali setelahnya, untuk kemudian cutloss.
Baca juga: Saham pertama yang memberi tiga pelajaran penting pada saya
Keputusan cutloss tersebut bukan semata-mata karena harga CEKA terus melorot, dari harga rata-rata saya Rp1.500-an menjadi Rp1.400-an. Penyebab krusial dari keputusan tersebut adalah karena saya akui salah besar mengambil strategi investasi jangka panjang.
Kenapa? Sebab modal saya amat sangat terbatas. Ditambah lagi tidak ada jaminan saya dapat terus melakukan top up secara berkala. Kalau berharap passive income dari dividen, saat itu juga saya musti beli setidaknya 650.000 lembar saham CEKA. Bukan cuma beberapa puluh lot.
Diandaikan dividen CEKA Rp100 seperti dua tahun ini, memegang 650.000 lembar saham CEKA bakal memberi saya total Rp65.000.000 setahun. Setelah dipotong pajak 10%, angka bersih yang saya terima sebesar Rp58.500.000. Dibagi 12 bulan, itu artinya saya mendapat Rp4.875.000/bulan. Angka yang sudah sangat mencukupi untuk kebutuhan hidup saya sekeluarga di kota kecil seperti Pemalang ini.
Hanya saja, dengan harga saham CEKA saat itu yang berada di angka Rp1.550/lembar, maka saya membutuhkan modal Rp 1 miliar. Masalahnya, saya tak punya uang sebanyak Rp 1 miliar.
Atau setidak-tidaknya saya musti punya modal Rp 250 juta, untuk ditanamkan pada saham CEKA. Lalu setiap kali menerima dividen, uang hasil dividen tersebut saya belikan saham CEKA lagi. Dengan cara begini, dalam 5-10 tahun saya akan dapat mengumpulkan 650.000 lembar saham CEKA yang total dividennya sesuai hitungan di atas. Ini seperti yang saya uraikan dalam posting “Merancang program pensiun dengan dividen saham“.
Tapi, lagi-lagi, uang saya tak sampai Rp 250 juta ketika itu. Jadi, untuk sementara waktu saya belum bisa berharap banyak pada dividen.
Baca juga: Berapa lembar saham yang dibutuhkan agar dapat dividen Rp 100 juta setahun?
Karenanya saya memilih mengubah strategi. Bursa saham menawarkan kesempatan lain yang terlalu sayang untuk dilewatkan, yakni menggandakan uang. Bukan, ini bukan menggandakan uang ala Dimas Kanjeng. Yang saya maksud tentu saja meraih capital gain dari pergerakan harga saham.
Untuk orang dengan modal mini seperti saya, mengincar profit dari capital gain rasa-rasanya jauh lebih cocok. Tujuan jangka pendek-menengahnya adalah mengembangkan modal yang ada saat ini. Lalu kemudian berinvestasi jangka panjang di saham-saham pilihan setelah dana tersebut telah berkembang biak menjadi banyak.
Setelah mempelajari berbagai macam pola dan strategi trading saham, saya merasa cocok dengan swing trading. Trading santai memanfaatkan momentum seperti ini menurut saya dapat meminimalisir risiko. Saya masih awam, karenanya saya tak yakin dapat konsisten meraih profit jika melakukan trading harian. Lagipula saya tidak dapat terus-terusan memantau pergerakan harga karena harus mengerjakan yang lain.
Baca juga: Day trading vs swing trading, manakah yang lebih baik dalam menghasilkan keuntungan dari saham?
Third Liner yang Membawa Hoki
Berpikir sampai di situ, saya pun menjual habis seluruh stok saham CEKA dalam portofolio. Uang hasil penjualan CEKA lantas saya belikan satu saham third liner yang tak banyak dibicarakan di komunitas, juga sepi pemberitaan, tapi laporan keuangannya sangat bagus.
Sama seperti sebelum membeli CEKA, saya sudah melakukan screening dan riset berhari-hari. Saya unduh dan baca lima laporan tahunan terakhir perusahaan tersebut, cek pergerakan harga hingga 10 tahun terakhir, dan mencari tahu profil manajemen. Saya juga menelusuri semua pemberitaan tentang perusahaan dan produknya.
Yang membuat saya mula-mula tertarik, keuntungan yang dibukukan perusahaan ini pada Semester I-2019 jauh lebih banyak ketimbang keuntungan setahun penuh 2018. Bersamaan dengan itu, saham ini masuk dalam indeks FTSE Asia bersama delapan lainnya. Fakta lain, meski bukan market leader di sektornya tapi perusahaan ini memiliki pangsa pasar besar di level domestik. Angka ekspornya juga menarik.
Saya pun mantap membeli saham tersebut di harga Rp112 pada hari bursa terakhir Agustus 2019. Dalam tempo singkat harganya sudah naik jadi Rp116, lalu Rp118, sehingga saya yang merasa stok masih sangat sedikit buru-buru averaging up. Eh, ternyata harganya balik lagi ke Rp112. Karena semua sinyal masih positif, kesempatan tersebut saya manfaatkan betul, saya habiskan sisa saldo yang tak seberapa untuk menambah muatan, sehingga mendapat harga rata-rata Rp113.
Saham tersebut perlahan kembali naik, sehingga floating profit saya mulai merangkak. Mula-mula berkisar di angka 7% hingga 10% yang sudah sempat bikin saya berpikir, “Sudah jauh lebih besar dari bunga Maxi Saver-nya Jenius nih, sudahlah take profit sekarang saja.”

Kantor perusahaan yang sahamnya kemudian memberi profit one bagger pada saya. FOTO: Spindo.co.id
Untungnya saya tak kunjung take profit saat itu. Saya memilih membiarkan terus karena ingin tahu sejauh mana keuntungan yang bakal diberikan. Let the profit runs. Sebuah keputusan tepat, karena kemudian saham tersebut terus merangkak membuat gunung yang sangat tinggi dalam gambar chart-nya.
Saya senang sekaligus ternganga melihat saham tersebut menunjukkan floating profit 20%, 25%, lalu 50%, 55%, 58%. Sempat naik-turun sedikit, kemudian menanjak lagi, hingga puncaknya menyentuh angka 80%, lalu 90%. Saya membatin dalam hati, “Bagger sudah dekat. Bersabarlah!”
Eh, namanya manusia, rasa rakus saya muncul. Saat floating profit melewati angka 100% pada pertengahan Oktober, saya tidak kunjung menjual saham tersebut. Saya pikir, “Kenapa cuma 100% kalau bisa 200–300%?” Alasannya, menurut hitungan saya berdasarkan angka-angka dalam Laporan Keuangan, book value saham tersebut Rp400-an.
Tapi rupanya saham tersebut kemudian mengalami koreksi. Floating profit saya yang sudah sempat di kisaran 90%-an anjlok menjadi 80%. Saya lalu sadar, saham yang harganya sudah tinggi pasti bakal mengalami koreksi. Yang memegang saham tersebut dari harga bawah tentunya ingin take profit, jadi ya sudah bisa dipastikan bakal melorot dulu.
Tak mau kehilangan kesempatan mendapat bagger, tengah malam saya mengeset penjualan lewat fitur GTC pada aplikasi Stockbit. Harga penutupan hari itu di angka Rp206, dan saya mengeset angka penjualan di angka Rp228 atau profit sekitar 103%. Saya lebihkan 3% agar mendapat profit bersih di atas 100% setelah dipotong fee penjualan, sehingga sah mendapat sebutan bagger.
Ndilalah, keesokan harinya harga bergerak sangat liar hingga sempat mencapai titik tertingginya pada Rp240-an. Saya kaget, segera mengecek order tersebut, lalu sedikit menyesal. Hahaha. Sudah disetel GTC-nya di angka Rp228, ya otomatis sudah match di angka Rp228.
Lumayanlah. Meski melewatkan harga terbaik yang bisa didapat, tapi setidaknya saya sudah merasakan profit lebih dari 100%, tepatnya 103% gross atau 102,60% nett, sehingga sah disebut one bagger. Dan keesokan harinya rasa sesal itu lenyap karena harga saham tersebut kembali turun ke harga bawah. Gantian saya mengucap, “Untung saja sudah dijual.”

Pergerakan harga saham ISSP sejak pertama kali saya beli pada 30 Agustus 2019 hingga kemudian saya jual pada 29 Oktober 2019.
Sungguh sebuah beginner’s luck. Saya sudah merasakan bagger pada bulan kedua terjun di pasar saham. Dan benar-benar sebuah keberuntungan, karena rupa-rupanya hingga nyaris setahun setelahnya saya belum dapat mengulang pencapaian tersebut karena market keburu anjlok di awal 2020 ini.
Saya juga tak bisa ikut mencicipi bagger bahkan multibagger yang bertebaran selepas bursa kembali menanjak sejak akhir Mei 2020 lalu. Alasan satu-satunya adalah karena tak ada cadangan kas untuk top up RDN. Sedangkan portofolio saya minus hingga 60%, terlalu banyak untuk cutloss. Semoga tahun depan saya menemukan bagger kedua.
Oya, saham yang saya bicarakan di sini adalah ISSP. Nama emitennya PT Steel Pipe Industry of Indonesia, Tbk., produsen aneka produk baja yang telah beroperasi sejak 30 Januari 1971. Nama perusahaan satu ini sudah dikenal luas sebagai pembuat produk-produk baja berkualitas dengan standar nasional. Di antara produknya adalah baja merek Spindo dan Tetsura.
Dengan saham seharga (saat itu) Rp112, kapitalisasi pasar ISSP hanya sebesar Rp 800-an miliar. Terhitung mini, dan karenanya emiten ini masuk kategori third liner. Tak banyak yang melirik, sampai akhirnya harga saham ISSP berangsur naik menyentuh angka Rp200-an.
Secara fundamental menurut saya ISSP terhitung menarik. Terlebih saat tulisan ini saya ketik harganya kembali ke kisaran saya beli setahun lalu. Meski mencatatkan rugi bersih Rp 75 miliar pada Kuartal I-2020, tapi kerugian tersebut lebih disebabkan oleh selisih kurs. Terbukti di Kuartal II-2020, ketika kurs Rupiah vs USD kembali normal, ISSP membukukan laba bersih Rp 78 miliar.
Pandemi Covid-19 memang bakal sangat berpengaruh pada pengaruh pada pendapatan ISSP, sebab banyak proyek konstruksi yang dihentikan. Penjualan ke luar negeri pun sempat terganggu. Karenanya laba bersih ISSP di tahun 2020 ini tak akan sebaik tahun lalu. Toh, ini bukan disebabkan faktor internal. Nyaris semua sektor terkena imbas pandemi saat ini. Jadi, menurut saya ISSP masih tetap menarik untuk saat ini.
Eh, ini bukan saran maupun ajakan untuk membeli saham ISSP lho ya. Do your own research.
Semoga bermanfaat.
Disclaimer: Tulisan ini jauh sekali dari niat pamer. Saya hanya ingin berbagi pengalaman, sekaligus mengabadikan sejarah pribadi sebab ini merupakan sebuah capaian berkesan bagi saya. Semoga dapat dipahami.
Minat beli ENRG ga,bro?secara PER sama PBV nya kan terlihat “begitu menggoda”??wkwkwk..aku lagi ngoleksi MSIN sama PNLF..mpengen nya sih BBCA sama GGRM hahaha..salam dariku,Dian Nurdiansyah..ngetik “tabel menabung saham”,google mengarahkan ku keblog mu..
SukaSuka
Hai, hai, my bro! Piye kabare? ENRG saham grupnya Bakrie, aku hindari hahaha. Awas, hati-hati jangan sampe kejebak fundamental trap ya.
SukaSuka