Dapatkah kita bertahan hidup dengan uang Rp500.000 sebulan?
PAGI tadi saya berkunjung ke tetangga, dan kami pun bertukar cerita mengenai dampak COVID-19. Khususnya dampak secara finansial, karena kami sama-sama menyaksikan sendiri betapa orang-orang yang kami kenal bersama begitu terpengaruh penghasilan dan keuangannya sejak pandemi ini melanda.
Seorang saudara dari pihak istri, yang biasa mengantongi setidaknya Rp200.000 per hari berjualan di kantin sebuah sekolah, sejak pertengahan Maret 2020 tidak lagi berpenghasilan. Sempat berjualan takjil semasa Ramadan seperti kami, tapi hanya bertahan beberapa hari.
Itu belum seberapa. Ada kenalan jauh mertua yang sudahlah penghasilannya berkurang drastis, masih harus melunasi kewajiban cicilan ini-itu. Rumahnya dibeli dengan KPR, begitu pula kedua mobil yang sama-sama belum lunas. Saya tak dapat membayangkan bila ada di posisi tersebut.
Baca juga: Rahasia mengubah uang Rp100.000 menjadi Rp 2,5 juta selama puasa Ramadan
Saya kemudian menyadari, dalam situasi mengarah krisis seperti saat ini pengelolaan uang sangat memegang peran penting. Lebih dari berhemat, menurunnya pendapatan memaksa kita untuk mengencangkan ikat pinggang seketat mungkin. Memaksa kita menurunkan standar hidup.
Bukan pilihan yang disukai tentu saja, tapi mau tidak mau harus dilakukan. Sebab yang mengalami penurunan bukan cuma perekonomian kita, tapi seluruh dunia. Persoalannya bukan kita tidak dapat mencari uang sebanyak sebelumnya, tapi uang yang ada di dunia ini sudah terlalu banyak “dibakar” untuk menghalau Coronavirus. Uangnya yang tidak ada.
Maka dari itu, jika kita biasanya hidup dengan biaya Rp 5 juta sebulan, katakanlah begitu, maka sejak saat ini harus membiasakan diri hidup dengan biaya Rp 3 juta atau bahkan hanya Rp 2 juta. Bukan pilihan yang menyenangkan tentu saja, tapi mau tidak mau harus dijalani.
Kalaupun misalkan masih ada uang untuk mempertahankan standar Rp 5 juta/bulan, sebaiknya jangan dilakukan. Kita tidak pernah tahu seberapa lama kondisi seperti ini berlangsung. Jadi jika beruntung punya cadangan cash banyak, ada baiknya dihemat-hemat agar dapat bertahan selama mungkin.

Hidup sederhana dan menghitung setiap rupiah yang dikeluarkan coba saya jalankan dengan disiplin bersama istri. Termasuk ketika kemudian memilih membeli Kymco Free-Ex second hand ini secara tunai alih-alih kredit sepeda motor batu.
Sudah Biasa Berhemat, Karena Memnang Harus Berhemat
Saya sendiri harus banyak bersyukur karena pekerjaan yang baru didapat akhir 2019 lalu tak begitu terpengaruh wabah, maupun kebijakan work from home yang mengikutinya kemudian. Lha wong saya memang sejak kenal blog di tahun 2005 selalu bekerja di rumah. Sepanjang arus listrik terus mengalir dan koneksi internet terus nyambung, amanlah pekerjaan sekaligus penghasilan saya.
Namun demikian tetap saja saya merasa ketar-ketir, sebab pekerjaan tersebut bersifat freelance. Sewaktu-waktu saya dapat kehilangan pekerjaan itu, yang berarti kehilangan penghasilan. Karenanya saya dan istri musti menghitung secermat mungkin setiap rupiah yang dikeluarkan.
Untungnya saya sudah akrab dengan kesusahan dan kemiskinan. Masa kecil hingga remaja saya berjalan begitu menyenangkan, namun penuh keterbatasan. Pun saat masih di Jogja saya pernah mengalami satu fase ketika harus hidup dengan uang hanya Rp100.000 sebulan. Sungguh masa-masa yang tak akan pernah saya lupakan.
Sampai di sini saya jadi teringat satu pertanyaan di Quora. Sebuah pertanyaan yang diajukan jauh sebelum wabah COVID-19 melanda, dan membuat saya bergegas menjawabnya. Demikian pertanyaan tersebut: Bisakah kamu bertahan sebulan dengan uang hanya Rp 500 ribu?
Well, saya bahkan pernah hidup hanya dengan uang antara Rp20.000-Rp25.000 sepekan. Ya, kira-kira Rp100.000 sebulan. Believe it or not, but it’s true. Ini terjadi di tahun 2006-2007. Sejak setahun sebelumnya saya sudah mulai hidup mandiri dengan berjualan kue-mue ke pasar-pasar tradisional dan kantin-kantin kampus di Jogja (model nitip jual).
Saya juga terus menekuni dunia kepenulisan dengan mengirim artikel, mostly sepakbola, ke media-media nasional sebagai sumber penghasilan lain. Saya juga sudah tekun ngeblog dan mengelola, seingat saya, dua blog berbahasa Inggris yang menumpang gratisan di blogspot.

Naturalisasi Bukan Solusi, salah satu kolom saya yang dimuat di Harian BOLA pada Desember 2010.
Dengan sekian banyak hal yang saya lakukan, wajar jika saya berharap mendapat penghasilan lumayan. Kenyataannya tak berjalan sesuai yang saya harapkan. Berjualan kue hanya cukup untuk beli bensin dan makan, kirim artikel lebih banyak ditolak, sedangkan mengirim naskah buku selalu ditolak penerbit.
Ngeblog? Jaman itu belum ada sponsored post, dan saya belum terlalu memahami Google AdSense, sehingga meski begitu tekun mengisi blog penghasilan saya tak kunjung mencapai batas minimal pembayaran.
Saya sempat banting stir dengan berjualan kacang. Masih dengan pola titip jual, kali ini ke angkringan-angkringan. Tapi, tetap saja hasilnya belum memuaskan. Agaknya bukan tahun keberuntungan saya.
Singkat cerita, saya tak berpenghasilan sama sekali. Sampai kemudian seorang teman yang tahu saya bisa bermusik, mengajak saya terlibat dalam aksi sosial ngamen amal yang ia dan teman-temannya satu komunitas jalankan. Meski tujuannya penggalangan dana yang bersifat sosial, tapi saya dijanjikan fee setiap kali “manggung”. Jumlahnya tidak disebutkan.
Jadi, kami membentuk grup band alakadar, tanpa nama, dan mengamen di ruang tunggu Stasiun Solobalapan dan kemudian Stasiun Tugu. Saking alakadarnya, kami nyaris tidak pernah latihan. Tapi manggungnya juga nggak setiap hari, hanya pada akhir pekan: Jumat sore, Sabtu sore, dan Ahad pagi. Selebihnya bebas tugas.
Selama ngamen, yang artinya sejak Jumat sore hingga Ahad pagi, kebutuhan makan saya ditanggung. Lalu usai ngamen di Ahad pagi, saya diberi amplop yang isinya bervariasi. Paling rendah Rp20.000, paling tinggi yang pernah saya terima Rp30.000. Artinya, dalam sebulan kisaran Rp100.000.
Bagaimana caranya agar uang segitu bisa cukup untuk sebulan?

Tidak bermaksud promosi, tapi Mie Sedaap Soto Koya adalah sahabat terbaik saya di masa-masa sulit dalam periode 2006-2007.
Kuncinya adalah menahan keinginan. Saya harus tahu diri, hanya punya uang yang bahkan untuk makan layak saja tidak cukup. Maka, fokus saya adalah bagaimana caranya agar uang yang ada di tangan tersebut cukup untuk mengenyangkan perut. Apapun yang dimakan tidak soal, yang lebih penting adalah uang tersebut cukup.
Maka, setiap kali menerima fee saya langsung membelikannya Mie Sedaap rasa soto ayam. Pilihan jatuh ke Mie Sedaap karena harganya paling murah. Saat itu juga sedang rajin promo, jadi saya bisa dapat banyak.
Setiap hari makan mi instan? Ya, selama 2006–2007 itulah makanan utama saya. Makanya bobot badan saya sampai turun drastis, dari sebelumnya di kisaran 72–75kg menjadi sekitar 50-an kg.
Sebagai sumber serat, saya tanam ketela pohon alias ubi kayu di halaman kos-kosan yang terhitung lebar. Beberapa batang saja, tapi kemudian daunnya begitu lebat sehingga dapat saya jadikan campuran mi. Mi rebus tadi tidak saya hidangkan sebagai mi rebus, tapi mi goreng yang dicampur daun ubi rebus. Nikmatnya masih begitu jelas di ingatan saya.
Sebagai selingan saya juga beli kol satu buah, yang besar sekalian. Kalau sedang ingin makan mi rebus, kol inilah campurannya. Uang Rp20.000-Rp25.000 tadi saya belikan 10–15 bungkus Mie Sedaap dan kol. Sisa beberapa ribu saya simpan. Kalau simpanan tadi cukup banyak, jadi beberapa ribu rupiah, saya belikan ubi manis sekilo-dua.
Saya tidak minum teh maupun kopi di masa-masa tersebut, hanya air putih yang dimasak dengan rice cooker Maspion. Masak mi maupun merebus apapun juga pakai rice cooker. Saya juga tidak keluar-keluar kos, hanya nongkrong dengan teman kos. Itupun tanpa jajan, tanpa beli apapun. Benar-benar hanya ngobrol. Boro-boro ngafe ya.
Kebutuhan lain? Sewa kos sebulan Rp100.000, tapi biasa saya bayar per tiga-empat bulan. Itu sudah all inclusive, nggak pake bayar listrik maupun bayar ledeng. Kalau ada tulisan yang tembus ke media, lepaslah tanggungan kos.
Saya juga tidak pegang sepeda motor saat itu–sepeda motor bawaan dari Jambi dipakai adik yang kuliah di FKH UGM. Jadi ke mana-mana saya jalan kaki. Di awal-awal berjualan kacang saya biasa berjalan kaki ke Pasar Beringharjo pergi-pulang dari Jl. Kusumanegara. Berangkat pagi usai salat Subuh, malah jadi olahraga.
Oya, saya tentunya terus berupaya cari-cari sumber penghasilan tambahan selama itu. Dan yang paling menarik minat saya ketika itu adalah blog, maka itulah yang saya seriusi. Sejak pertengahan 2007 saya lebih tekun lagi ngeblog, dan syukurlah mulai memperoleh penghasilan dari beberapa program periklanan yang diikuti. Sedikit demi sedikit.
Begitulah, masa susah berakhir ketika penghasilan saya dari blog mulai menggembirakan. Mulai dari hanya cukup buat makan, sampai bisa ditabung dan membantu uang bulanan/kuliah adik. Juga kemudian bisa beli sepeda motor—meski hanya Astrea Grand second hand, merakit komputer, beli modem Huawei yang waktu itu harganya Rp1.050.000, dan masih banyak lagi. Alhamdulillah.
Kembali ke pembahasan mengenai wabah COVID-19 dan kaitannya dengan berkurangnya penghasilan, kalau mau bertahan melewati masa-masa sulit ini maka kita musti beradaptasi. Kita mungkin saja terbebas dari Coronavirus, tapi kalau tak mau beradaptasi dengan situasi perekonomian saat ini bakal terlibas juga.
Percayalah, kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar kita sebetulnya tidak butuh uang terlalu banyak kok. Mau penghasilan berapa pun asal pintar menyiasatinya pasti bakal cukup. Sebaliknya, mau sebanyak apapun penghasilan setiap bulan kalau tidak bijak dalam mengelolanya ya bakal jebol juga.
Banyak orang yang penghasilannya 3–4 kali lipat kebutuhan hidup, tapi malah terjerat utang di mana-mana. Tapi banyak juga orang yang penghasilannya di bawah upah minimum, tapi mereka malah hidup lebih tenang dari kita yang tiap bulan dikejar cicilan.
Semoga bermanfaat.
Saya termasuk yang terkena dampak COVID mas, 3 bulan job kosong blong. Alhamdulillah punya tabungan dana darurat, masih bisa nyambel selama 3 bulan ini. Haha
SukaSuka
Alhamdulillah, Pak, masih ada dana cadangan. Semoga segera dapat pemasukan lagi ya.
SukaSuka
iya mas kini harus bener berhemat
terbiasa hidup di Jogja juga bikin hemat
apalagi kalau makan di warung enggak sampai 10 ribu cuma lebih senang masak sendiri
yang terpenting bersyukur enggak ada cicilan hutang
hidup jadi nyaman dan tenang meski dikata enggak memiliki banyak barang
untung juga masih ada penghasilan ngeblog ya mas kayak adsense
semoga wabah ini cepat usai ya
SukaSuka
Di masa pagebluk seperti sekarang, sungguh beruntung sekali mereka yang masih bisa dapat penghasilan rutin serta tidak punya hutang. Wislah, nuruti gengsi itu nggak ada habisnya. Kalau memang butuh ya dibeli, kalau sekiranya cuma buat dipamerin ke tetangga ya untuk apa juga. Lalu belinya musti tunai, jangan berhutang. Itu prinsip saya sih.
SukaSuka
Pantesan anteng investasi saham, lha wong ada kerjaan baru ya? Mantab euy, alhamdulillah…
SukaSuka
Ya, begitulah, Mas. Sumber yang lama redup, ada gantinya sumber yang baru. Alhamdulillah, yang penting dapur ngebul dulu. Sembari mengupayakan gimana supaya sumber-sumber yang dulu menghasilkan sama-sama lancar mengalirnya.
SukaSuka
Semoga lancar terus, Mas, terutama sumber baru yang diupayakan bisa tetap kontinu menyumbangkan kebahagiaan buat keluarga.👍
SukaSuka
Sumber baru ini walaupun nggak ada kontrak, tapi sempat kubaca salah satu poinnya adalah masa kerja up to 12 months. Jadi, ya kudu segera cari sumber yang lebih baru lagi sebelum yang baru ini mandeg. Hahaha.
Tapi semoga ada pengecualian buatku 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Mantap, Mas.
SukaSuka
Udah berubah jadi blogger masa kini kayanya ya 😀
SukaSuka
Bagi-bagilah proyeknya, bwahahaha…. 😀
SukaSuka
luar biasa ya mas perjuangannya, sempat meeasakan hal2 speerti itu yg menjadi bagian pengalaman hidup sendiri.
kalau saya sendiri ga pernah terlalu menderita, meskipun keluarga jauh dari kata sederhana cuma untuk makan selalu cukup antara nasi, sayur dan lauk.
saya sendiri meskipun gaji naik dan passive income nambah, tp gaya hidup tetap sama, tetap manage uang, belanja kebutuhan hidup sebagaimana sebelumnya. memang saya menahan diri untuk konsumtif, lebuh2 saha fokus investasi, supaya pasif inckme nambah terus termasuk membesar blog
SukaSuka
Hahaha, itu bukan perjuangan kok, Mas. Itu keadaan yang harus dihadapi. Iya, saya juga walau masa kecil serba terbatas tapi tetap mengenangnya sebagai masa-masa penuh kebahagiaan, karena memang sangat membahagiakan. Bisa berkumpul bersama kedua orang tua, adik-adik, lengkap satu rumah, makan bisa tiga kali sehari (meski lauk & sayur alakadar), bagaimana tidak menyenangkan.
Bagian passive income ini yang masih saya kejar, Mas. Kalau Mas sudah punya, alhamdulillah. Saya turut senang. Saya dulu banyak tidak fokus, sehingga kini tinggal sesal. Semoga belum terlalu terlambat untuk menyusun keping-keping impian yang sudah menempel di kepala sejak belasan tahun lalu.
SukaSuka
Salut, sampeyan ki termasuk pekerja, keras dan nggak gengsian. baca ini menciut. Aku langsung melihat hidupku di tahun yang sama. Dan… Ahhhh terlalu manja 🙂
Orang bilang, pengalaman hidup membentyk karakteristik seseorang. Kuat karena kenyang dengan susahnya hidup.
SukaSuka
Matur nuwun banget untuk apresiasinya, Mbak. Aku malu jadinya, karena nyatanya di usiaku yang sekarang masih banyak banget impian yang belum tercapai. Sampai-sampai pernah berpikir, apakah emang sudah takdirku begini? Tapi, tugas kita cuma berusaha dan berusaha to?
SukaSuka