Highlight:

Cara simpel menjaga kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19

MEREBAKNYA wabah COVID-19 tak cuma berdampak pada kondisi finansial seseorang, tapi juga kesehatan mental yang bersangkutan. Ini setidaknya ditunjukkan dalam sebuah survei terhadap penduduk Belgia yang dipublikasikan World Economic Forum bulan lalu: akibat karantina (lockdown), jumlah orang yang berada di level stres tinggi meningkat.

World Economic Forum mengadakan dua kali survei, masing-masing sebelum (2019) dan dua pekan setelah kebijakan karantina mulai diberlakukan (2020) di Eropa. Hasil kedua survei mengindikasikan bahwa lockdown menyebabkan semakin banyak orang mengalami gangguan kesehatan mental di Belgia.

Pada survei pertama, sebanyak 32% dari populasi Belgia diklasifikasi memiliki ketahanan tinggi (higly resilient) terhadap tekanan. Kelompok ini ditandai dengan warna hijau pada grafik di bawah. Dan hanya 14% persen dari populasi yang terindikasi mengalami stres parah (toxic levels of stress), ditandai dengan warna merah pada grafik.

Dua pekan setelah lockdown diberlakukan, survei kedua pun digelar. Hasilnya, terjadi peningkatan sebesar 9% pada kelompok warna merah sehingga totalnya menjadi 23% dari populasi. Sebaliknya, kelompok warna hijau mengalami penyusutan menjadi tinggal 25% dari total populasi.

Coronavirus stress survey by World Economic Forum

Hasil survei yang dilakukan World Economic Forum untuk mengetahui dampak karantina akibat merebaknya COVID-19 terhadap tingkat stress warga Belgia. GAMBAR: Screenshot weforum.org

Apa yang ditunjukkan oleh hasil survei tersebut sebetulnya sudah digambarkan dalam sebuah ulasan oleh The Lancet, dipublikasikan akhir Februari 2020. Dalam ulasan terhadap 24 studi yang mendokumentasi dampak psikologis karantina itu disebutkan bahwa karantina menyebabkan berbagai gejala gangguan kesehatan mental.

Di antara gejala gangguan tersebut adalah susah tidur, kecemasan, kelelahan emosional, suasana hati yang buruk, mudah marah, stres, depresi, dan gejala stres pasca-trauma. Dari kesemuanya, suasana hati yang buruk (low mood) dan mudah marah merupakan gejala umum yang dialami hampir setiap orang.

Angka gangguan kesehatan mental meningkat tajam dalam komunitas di mana banyak orang tua dikarantina bersama anak-anak. Dalam salah satu studi yang diulas The Lancet, disebutkan tidak kurang dari 28% orang tua yang dikarantina dijamin mengalami “gangguan kesehatan mental terkait trauma”.

Duo analis RAND Corporation, Lu Dong dan Jennifer Bouey, menyatakan hal yang setali tiga uang dalam tulisannya di laman Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Dalam artikel berjudul Public Mental Health Crisis during COVID-19 Pandemic, China tersebut, Lu Dong dan J. Bouey mengatakan pandemi COVID-19 berpotensi memunculkan gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan, gangguan stres pasca-trauma, hingga depresi.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Saya kesulitan mendapatkan data ataupun studi mengenai dampak psikologis yang ditimbulkan oleh COVID-19 terhadap penduduk Indonesia. Namun demikian, rasa-rasanya hasil survei World Economic Forum bersama ulasan The Lancet dan kesimpulan Lu Dong-J. Bouey di atas juga berlaku di sini.

Yang lebih mengkhawatirkan, jauh sebelum pandemi COVID-19 merebak beberapa peristiwa yang dapat dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental sudah marak terjadi di Indonesia. Dua tahun lalu, tepatnya 14 November 2017, laman PintarPolitik merilis laporan mendalam yang mengulas makin seringnya kasus hukum yang melibatkan faktor mental dan kejiwaan.

Data penyebaran Covid-19 di Indonesia pada 18 Mei 2020

Data penyebaran Covid-19 di Indonesia pada 18 Mei 2020. Sumber/grafik: Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID‑19

Misalnya kasus pembunuhan seorang balita oleh ibu kandungnya sendiri yang terjadi di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, beberapa hari sebelum laporan mendalam tersebut dipublikasikan. Ibu berinisial NW tersebut membunuh anaknya dengan cara menyemprotkan obat nyamuk hanya karena sang anak sering ngompol. Psikolog Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen, yang dimintai pendapatnya mengenai kejadian tersebut menengarai si ibu mengalami frustasi.

Akhir tahun lalu, kejadian serupa kembali terulang di Jakarta Barat. Seorang ibu muda berinisial NP menghabisi dua anak kembarnya yang masih berusia dua tahun dengan cara meminumkan air sebanyak satu galon. Saat dibekuk polisi, NP mengaku tengah depresi lantaran rumah tangganya tak lagi harmonis.

Di masa pandemi COVID-19, di mana banyak orang kehilangan mata pencaharian, sebagian lagi pendapatannya menurun, serta belakangan dilarang mudik lebaran, dapat dipahami jika potensi terjadinya gangguan kesehatan mental meningkat. Hal ini agaknya disadari betul oleh World Health Organization (WHO), yang kemudian merasa perlu merilis dokumen berisi rangkuman aspek dukungan kesehatan jiwa dan psikososial (DKJPS) utama terkait wabah COVID-19.

Dokumen WHO tersebut berisi penjelasan mengenai gangguan kesehatan jiwa dan psikososial, serta kemungkinan gangguan yang ditimbulkan akibat wabah COVID-19 dan bagaimana cara mengantisipasi sebelum terjadi maupun menanganinya jika telah terjadi.

Pendek kata, merebaknya pandemi COVID-19 yang disusul dengan pembatasan aktivitas di ruang publik oleh Pemerintah sangat berpotensi menimbulkan berbagai gangguan kesehatan mental bagi masyarakat. Karenanya, kita dituntut tak hanya menjaga kesehatan fisik agar tak terjangkit COVID-19, tapi juga menjaga kesehatan mental.

Achmad Yurianto

Achmad Yurianto, juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID‑19. FOTO:

Tips dari UNICEF

UNICEF (The United Nations Children’s Fund), organ PBB yang fokus pada isu anak-anak sedunia, dalam laman berbahasa Indonesia-nya merilis sebuah artikel berisi tips menjaga kesehatan mental selama COVID-19 bagi remaja. Artikel tersebut disarikan dari wawancara dengan Dr. Lisa Damour, seorang psikolog remaja, kolumnis bulanan New York Times yang juga seorang penulis best-seller.

Meski ditujukan bagi remaja, namun tips tersebut tetap relevan bagi orang dewasa. Berikut saya coba rangkumkan poin-poin pentingnya:

1. Kecemasan kita semua adalah hal yang wajar, bahkan kadangkala diperlukan

Setiap orang di dunia saat ini dibuat cemas oleh bombardir berita terkait COVID-19. Ditutupnya sekolah, pusat perbelanjaan, tempat wisata, hingga larangan beraktivitas di luar rumah, semuanya membuat kecemasan kita bertambah.

Dr. Lisa Damour menyebut kecemasan tersebut wajar, bahkan perlu, sebab membuat kita melakukan hal yang benar untuk turut meredam penyebaran COVID-19.

2. Sibukkan diri dengan hal lain

Ketika berada dalam kondisi sulit, seperti berada di tengah wabah saat ini, banyak psikolog akan menyarankan agar kita mengenali masalah menjadi dua kategori: hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan dan hal-hal yang dapat kita kendalikan.

Kini, terdapat begitu banyak hal yang diluar kendali kita. Terasa mencemaskan, namun Dr. Lisa Damour menyebut itu tidak mengapa. Yang perlu dilakukan hanyalah menyibukkan diri dengan hal lain sebagai pengalih perhatian. Misalnya dengan menonton drama Korea favorit, mendengarkan musik, membaca buku, atau mempelajari hal-hal baru.

3. Tetap berhubungan dengan teman dan kerabat

Pembatasan aktivitas di luar rumah membuat kita seolah terkurung. Rasa bosan dan jenuh tentu saja lama-lama hinggap. Karenanya, tetaplah menjalin komunikasi dengan orang-orang yang dikenal. Berkat kemajuan teknologi, ada banyak pilihan untuk tetap terhubung dengan teman dan kerabat meski tak dapat bersemuka.

4. Memiliki gejala menyerupai COVID-19? Segera periksa ke dokter!

Di tengah gempuran pemberitaan tentang COVID-19, kita biasanya merasa memiliki gejala serupa tanda-tanda penyakit tersebut. Begitu suhu tubuh meningkat diiringi batuk, kita langsung berpikir terjangkit COVID-19 dan merasa cemas berlebih. Padahal mungkin saja cuma demam dan flu biasa.

Dalam kondisi seperti ini, Dr. Lisa Damour menyarankan agar sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter untuk mendapatkan diagnosa lebih tepat. Jangan biarkan diri kita dicekam ketakutan berlebih tanpa dasar. Ini tidak baik bagi kesehatan mental.

Halodoc Bunga Citra Lestari

Layanan Kesehatan dalam Genggaman

Tapi, bukankah kita disarankan untuk tetap berada di rumah? Mendatangi rumah sakit maupun pusat-pusat layanan kesehatan, apalagi dalam keadaan fisik tengah drop, bisa saja memperbesar kemungkinan kita untuk terpapar COVID-19.

Betul sekali. Dan itulah manfaatnya kemajuan teknologi.

Kini, mengakses berbagai layanan dasar seperti layanan kesehatan, tak harus mendatangi pusat-pusat layanan kesehatan secara fisik. Kita dapat melakukannya dari rumah. Cukup lewat aplikasi, kita sudah bisa berkonsultasi dengan dokter, bahkan juga membeli obat di apotek.

Aplikasi kesehatan seperti Halodoc, sebagai contoh, menyediakan fitur layanan kesehatan yang sangat lengkap. Dengan menginstal aplikasi ini di smartphone, kita tak ubahnya memiliki dokter pribadi. Lewat menu Tanya Dokter, Halodoc memungkinkan kita untuk berkonsultasi secara langsung dengan 2.000 dokter. Dokter sungguhan.

Kalau memang harus ke rumah sakit, kita dapat terlebih dahulu melakukan booking melalui Halodoc sehingga tak perlu berlama-lama antri hanya untuk mendaftarkan diri. Halodoc telah bekerja sama dengan 350 rumah sakit, dan menargetkan 500 rumah sakit, sehingga pengguna mempunyai banyak sekali pilihan ketika membutuhkan layanan kesehatan.

Yang lebih keren lagi, Halodoc memungkinkan kita untuk membeli obat seperti layaknya memesan Gofood. Cukup pilih-pilih obat yang diperlukan di aplikasi–baik obat bebas maupun resep dokter, obat akan dikirimkan oleh driver Gojek ke rumah kita. Praktis.

Kemudahan akan akses layanan kesehatan inilah yang menjadi visi Halodoc, sebagaimana diceritakan oleh founder sekaligus CEO Halodoc Jonathan Sudharta, saat diwawancarai Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa di Trans 7 (video di bawah).

Akhir kata, sejak wabah COVID-19 melanda kehidupan kita semua tak pernah lagi sama seperti sebelumnya. Ini merupakan hal yang di luar kendali kita. Karenanya, berdamai dengan kondisi dan mencari jalan terbaik sebagai solusi atas kesulitan yang dialami akibat wabah ini, menjadi jalan terbaik agar kesehatan mental selalu terjaga.

Yang tak kalah penting, selalu ingat untuk bersyukur apapun kondisi yang menimpa kita. Karena di balik musibah dan cobaan, terdapat hikmah yang boleh jadi baru akan kita ketahui bertahun-tahun mendatang.

Semoga bermanfaat.

Referensi:

  • weforum.org/agenda/2020/04/this-is-the-psychological-side-of-the-covid-19-pandemic-that-were-ignoring/
  • thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)30460-8/fulltext
  • cdc.gov/eid/article/26/7/20-0407_article
  • pinterpolitik.com/darurat-kesehatan-mental/
  • megapolitan.okezone.com/read/2017/11/14/338/1814084/psikolog-duga-ibu-yang-bunuh-anaknya-di-kedoya-sudah-frustrasi
  • hot.grid.id/read/181898479/gelonggongkan-air-satu-galon-sambil-tutup-hidung-korban-ibu-muda-tega-habisi-anak-kembarnya-sendiri-dengan-keji-diduga-hal-ini-yang-mendorongnya-lakukan-pembunuhan-s?page=all
  • who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/catatan-tentang-aspek-kesehatan-jiwa-dan-psikososial-wabah-covid-19-feb-2020-indonesian.pdf
  • unicef.org/indonesia/id/coronavirus/tips-remaja-menjaga-kesehatan-mental-selama-covid-19
  • promkes.kemkes.go.id/pengertian-kesehatan-mental
  • suara.com/tekno/2019/11/11/054240/halodoc-berambisi-bekerja-sama-dengan-500-rumah-sakit-di-2019

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

8 Comments on Cara simpel menjaga kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19

  1. Memang di tengah pandemi ini kesehatan mental sering terganggu karena kepanikan yg berlebih ya. Selain itu jg karena udh bosan di rumah aja. Hhh
    Bagus nih rangkuman tipsnya 🙂

    Suka

  2. How to stay sane versiku adalah nonton drama Korea dan membaca buku. Hehehe. This is make me happy dan ampuh banget buat ngalihin pikiran negatif 😀

    Suka

    • Setuju untuk membaca buku, tapi saya kurang suka drakor, jadi sebagai gantinya sih menonton video-video YouTube. Intinya terus berupaya menjaga kewarasan supaya dapat selamat dari kepungan pandemi.

      Suka

  3. Sempat cemas gara2 kebanyakan baca kabar yang enggak-enggak. Sekarang sudah mulai santuy tp ttp waspada

    Suka

  4. Sempat cemas sih gara2 pandemi ini. Tapi sekarang sudah mulai berkurang, pokoknya ikutin anjuran pemerintah dan jangan kebanyakan gaya, hehehe

    Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.