“Mengintip” Bali dari Pantai Watudodol Banyuwangi

Patung Penari Gandrung di area Pantai Watudodol, Banyuwangi.
NAMA tempat wisata satu ini telah begitu melekat di kepala sejak saya kecil. Pasalnya, di masa itu ibu sering menceritakan tentang Pantai Watudodol. Biasanya jelang kami, saya dan adik-adik, berangkat tidur. Bukan keindahan pantainya yang jadi pokok cerita, melainkan kisah mistis batu raksasa di tengah jalan.
Ibu lahir dan menghabiskan masa kecilnya di satu kampung kecil bernama Wonorejo. Secara administratif, kampung yang jalan masuk menuju ke sana terletak persis di sebelah gerbang Taman Nasional Gunung Baluran ini bagian dari Situbondo. Tepatnya Kecamatan Banyuputih. Namun, karena terletak lebih dekat ke Banyuwangi, warga di sana merasa sebagai orang Banyuwangi.
Termasuk ibu saya, yang setahu saya mengidentifikasi dirinya sebagai orang Banyuwangi. Maklum, kalau mudik naiknya bis jurusan Banyuwangi. Kalau naik bis jurusan Situbondo nggak sampai rumah. Hehehe.
Batu raksasa yang sering diceritakan ibu terletak dekat Pantai Watudodol. Batu besar ini dapat dengan mudah dilihat karena berada tepat di tengah-tengah jalan raya Situbondo-Banyuwangi. Lokasi persisnya kira-kira 25-30 menit dari perbatasan kedua kabupaten.
Nama Watudodol sendiri sebetulnya mengacu pada batu ini. Dalam bahasa Jawa, watu berarti batu. Hanya saja sampai sekarang saya belum mendapatkan jawaban jelas apa arti kata dodol. Rasanya tidak mungkin kalau ini mengacu pada satu jenis jajanan tradisional populer di Jawa, yaitu dodol.

Adik saya, drh. Maulana Candra, berpose di dekat batu raksasa di tengah-tengah jalur jalan Situbondo-Banyuwangi.
Batu Raksasa nan Mistik
Turut cerita ibu, jalan Situbondo-Banyuwangi di masa kecil beliau hanyalah sebuah jalan dua lajur. Ketika itu batu raksasa tersebut berada di tepi jalan, di arah pantai. Ketika jalan dilebarkan menjadi empat lajur, batu raksasa tersebut didongkel untuk dipindah karena posisinya tepat berada di lajur baru yang hendak dibuat.
Setelah bersusah payah mencoba, batu sebesar gedung itu berhasil dirobohkan dan dipindah ke tepian jalan. Ketika itu agaknya masih berupa tanah lapang, belum banyak warung-warung seperti sekarang. Namun, entah bagaimana ceritanya, keesokan harinya batu itu kembali lagi ke posisi semula. Tegak berdiri seperti sedia kala.
Masyarakat Jawa Timur yang masih kental dengan kepercayaan akan hal gaib, berkeyakinan batu tersebut buat benda biasa. Maka batu besar itu tak pernah diotak-atik lagi. Alih-alih, badan jalan yang baru dibangun yang kemudian mengalah sehingga dibangun di sisi batu.
Itu sebabnya jalan Situbondo-Banyuwangi di area ini terbelah menjadi dua. Jalan di sisi barat batu adalah lajur lama, sedangkan lajur baru di sisi timur batu. Di sebelah barat terdapat tebing cadas nan tinggi, sementara di sisi timur terhampar laut di mana Pulau Bali nampak membiru dari kejauhan.
Masih menurut cerita ibu, dulu di dinding bukit cadas dekat batu raksasa tersebut terdapat sebuah gua. Jika ditelusuri, gua tersebut akan membawa kita ke puncak bukit. Namun, sayang, saat ke sana saya hanya bersama seorang adik dan tidak beserta ibu. Kami tidak tahu di mana letak mulut gua dimaksud.
Batu raksasa yang membelah jalan dan mulut gua yang berujung di puncak bukit cadas merupakan misteri yang sampai sekarang menyelimuti Pantai Watudodol. Karena itu Pantai Watudodol sempat dianggap wingit oleh warga setempat. Kini, seiring dengan semakin ramainya kawasan ini, kesan tersebut sudah tidak kentara lagi.

Adik saya bersama teman kos saya di Jogja tengah duduk-duduk santai menikmati suasana di Pantai Watudodol, Banyuwangi.
Puter Kayon
Satu tradisi yang masih dipertahankan masyarakat sekitar Watudodol adalah ritual Puter Kayon. Upacara ini biasa dilakukan selepas Lebaran, sebagai ungkapan rasa syukur karena dapat melaksanakan hari raya. Ini sekaligus untuk mengenang jasa Buyut Jakso, sesepuh yang dipercaya masyarakat setempat sebagai leluhur yang pertama kali membuka kampung Boyolangu di Banyuwangi.
Kampung Boyolangu terletak sekitar 18 kilometer dari Watudodol. Masyarakat meyakini, Buyut Jakso pula yang membuat jalan dari kampung mereka menuju Pantai Watudodol. Untuk menapak-tilas hal tersebut, masyarakat mengarak tumpeng dan sesajian lain dari Boyolangu ke Pantai Watudodol.
Dulu arak-arakan ini menggunakan dokar, berjajar panjang memenuhi jalan. Namun mengingat jaraknya yang tak bisa dibilang dekat untuk standar manusia modern, kini arak-arakan dilakukan dengan sepeda motor dan mobil. Setibanya di pantai, sesajian yang dibawa dari Boyolangu tersebut dilarung ke laut. Sementara tumpeng dipotong dan dibagi-bagi, untuk kemudian disantap bersama-sama.
Apa sih yang asyik dilakukan di Pantai Watudodol?
Banyak! Saya sendiri cukup duduk-duduk di pantai, yang bukannya berupa pasir tapi bebatuan kecil. Duduk menjelepok di sana memandangi perahu nelayan mencari ikan atau membawa wisatawan, sembari menikmati hembusan angin laut dan suara debur ombak, dengan Pulau Bali dalam bayang-bayang biru kehitaman, sudah sangat menenteramkan hati.
Kalau tidak mau diam saja di pantai, kita bisa menyewa perahu pada nelayan setempat untuk dibawa melaut menyusuri perairan dangkal nan jernih. Tenang saja, karena ini sebetulnya adalah selat antara Jawa-Bali, jadi perairannya terhitung tenang. Apalagi kalau tidak sampai terlalu ke tengah.
Yang tak kalah asyik adalah menyusuri sepanjang tepian pantai. Bagian utara Pantai Watudodol tepiannya berbatu-batu nan curam dengan ombak berdebur kencang. Sedangkan bagian selatan pantainya jauh lebih tenang dengan kontur pantai landai berbatu-batu kecil.
Datang pagi-pagi kemari, jangan lupa bawa kamera atau setidaknya smartphone, dan bersiap-siaplah dibuat terpesona oleh keindahan sunrise di Watudodol. Ini pengalaman yang belum pernah saya rasakan. Kelak jika berkesempatan “mudik” lagi ke Wonorejo, sunrise Watudodol bakal masuk dalam agenda utama saya.
Oya, ada satu hal lucu ketika saya pertama kali mengunjungi Pantai Watudodol di tahun 2001. Kesempatan tersebut adalah kali pertama saya mengunjungi kampung kelahiran ibu, sekaligus menyaksikan sendiri tempat yang sebelumnya hanya saya tahu namanya dari cerita ibu.
Ketika mobil Pakde yang saya tumpangi singgah di Watudodol, sepupu-sepupu saya berpencar: sebagian memesan kelapa muda di warung, sebagian lagi naik perahu. Saya? Bergegas menghampiri laut, mencelupkan kaki ke dalam air, dan konyolnya dengan tangan mengambil air laut lalu mencicipinya.
Well, itu kali pertama saya ke laut. Karenanya saya mau buktikan kalau air laut itu memang benar-benar asin. Hahaha.
Takjub sama batunya. Gede banget
Paket Wisata Banyuwangi
SukaSuka
Takjub sama backlink di komentar. Duh!
Maaf ya, backlink-nya saya hapus. Komentar natural aja, agak panjang dan urun rembug pada apa yang ditulis, dijamin bakalan lebih bagus untuk nambah backlink. Ketimbang komentar seupil tapi nyisipin backlink gini.
SukaSuka
Mas, saya melihat foto batu raksasa itu benar-benar kagum. Rasanya koq saya belum pernah melihat langsung batu sebesar itu…
Salam,
SukaSuka
Wah, senang betul hati saya dikunjungi blogger kondang Sukabumi. Hatur nuhun pisan, Pak. Batu raksasa itu agaknya bagian dari bukit cadas di sisi jalan, sebab selain laut di sisi lain jalan adalah bukit cadas curam.
SukaDisukai oleh 1 orang
Ah, Mas Eko ini bisa saja. Blogger kondang dari mana Mas, saya cuma blogger pinggiran saja.
Demikian ya Mas tentang batu raksasa itu. Menarik juga.
Salam,
SukaSuka
Memang sangat menarik, Pak. Terutama jika dihubungkan dengan kisah mistis yang melekat padanya.
SukaSuka
Nah ini Mas kalau dihubungkan dengan mistik kadang bisa menjadi bahan obrolan yang menarik…
Salam,
SukaSuka
Begitulah, Pak. Di area ini dan sekitarnya, penuh dengan cerita mistik.
SukaSuka
Pasirnya tertutup kerikil-kerikil hehehehhe. Tapi malah eksotik.
Apakah kegiatan selepas idulfirti ii mirip larungan di pantura? di tempatku hari ke depalan biasanya makan bareng di tepian pabtai
SukaSuka
Aku malah belum pernah lihat puter kayon, Mas. Ke sana selalunya jauh selepas lebaran, jadi terlewat terus. Pengen suatu saat lihat kaya apa ramenya. Ibuku pun nggak pernah nyeritain ini, jadi kemungkinan ibu juga belum pernah lihat hihihi.
SukaSuka