Karena kesehatan adalah mahkota, aplikasi SehatQ jadi penjaganya
AKHIR bulan lalu anak perempuan saya sakit. Selepas mandi sore badannya terasa hangat, lalu suaranya terdengar bindeng. “Bakal flu nih,” pikir saya. Malam harinya ia panas tinggi, hampir menyentuh 39 derajat Celcius, diselingi mengigau dan beberapa kali terbangun dari tidur.
Keesokan harinya segera saya bawa gadis kecil tersebut berobat ke Puskesmas. Beruntung sekali kami tinggal tak jauh dari pusat layanan kesehatan. Desa Banjardawa tempat kami tinggal merupakan sentra pemerintahan Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Sehingga seluruh kantor layanan publik berada di desa ini.
Letak Puskesmas dari rumah sangat dekat. Cukup berjalan kaki sekitar 6-7 menit, atau kalau tak mau berpanas-panasan dapat naik sepeda motor dan beberapa menit kemudian sudah sampai. Terkadang berangkat jalan kaki pulang naik becak, ongkosnya hanya Rp5.000-Rp7.000 sampai depan rumah.
Saya jadi teringat sewaktu membawa anak-anak mudik ke Sungai Bahar VI, sebuah daerah transmigrasi di Provinsi Jambi. Pemukiman di pelosok Sumatera ini sudah dirintis sejak awal 1990-an, namun hingga nyaris 30 tahun kemudian keadaannya masih terhitung memprihatinkan.
Tak ubahnya wilayah “muda” di Indonesia, di pelosok pula, Sungai Bahar VI masih sangat minim fasilitas layanan umum. Termasuk fasilitas kesehatan. Puskesmas yang ada sangat minimalis sekali, baik ketersediaan obat maupun tenaga medis yang bertugas.
Hanya ada satu bidan untuk melayani sekian ratus warga sedesa. Kalau kebetulan Bu Bidan ada acara atau keperluan yang mengharuskannya keluar desa, kosonglah Puskesmas itu. Bagaimana nasib warga desa yang butuh pertolongan mendesak?
Kekurangan Fasilitas Kesehatan
Hal ini agaknya bukan hanya terjadi di Sungai Bahar VI. Merujuk Peta Kesehatan 2010, yang merupakan data terbaru di laman Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (Pusdatin Kemkes), hanya 10 dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah Puskesmas memadai–yakni lebih dari 7 buah per 100.000 warga.

Peta rasio Puskesmas per 100.000 penduduk. Pulau Jawa dan Bali berwarna merah, mengindikasikan jumlah Puskesmas yang tidak memadai bagi seluruh penduduk yang ada. Sumber: Pusdatin Kemkes RI
Menariknya, provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali justru menjadi kawasan merah, dengan jumlah Puskesmas kurang dari 3 buah dalam setiap 100.000 penduduk. Jawa Tengah di mana saya tinggal hanya memiliki rasio 2,68. Artinya, hanya tersedia rata-rata 2 buah Puskesmas untuk setiap 100.000 penduduk.
Jika datanya diubah menjadi rasio Puskesmas per kecamatan, angkanya jadi lebih kecil lagi. Masih mengutip Pusdatin Kemkes, tepatnya dalam dokumen Profil Kesehatan Indonesia 2018, terdapat 881 Puskesmas di seluruh Jawa Tengah. Sementara itu ada sebanyak 573 kecamatan di provinsi ini.
Dengan demikian, rasio Puskesmas per kecamatannya adalah 881/573 = 1,54. Rata-rata hanya ada 1 Puskesmas per kecamatan! Dari jumlah 881 Puskesmas yang ada itu pun sebanyak 758 di antaranya, alias 86,14%, berstatus belum sesuai standar pelayanan yang ditetapkan Kemkes.
Berita baiknya adalah, terjadi penambahan jumlah Puskesmas yang signifikan dari 2017 ke 2018. Seperti terlihat pada tabel, setelah stagnan di angka 875 sepanjang 2014-2016, jumlah Puskesmas di Jawa Tengah naik menjadi 876 di tahun 2017 dan meningkat tajam menjadi 881 di tahun 2018.
Hal sama terjadi di provinsi-provinsi lain. Ini menunjukkan setidaknya Pemerintah punya komitmen kuat dalam meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan. Sebuah sikap yang patut diapresiasi.

Tabel jumlah Puskesmas di masing-masing provinsi se-Indonesia pada 2014-2018. Sumber: Pusdatin Kemkes RI
Sekarang kita kupas ketersediaan tenaga medis dibanding jumlah penduduk. Masih mengutip Peta Kesehatan 2010 keluaran Pusdatin Kemkes, hanya 5 provinsi yang memiliki jumlah bidan berlimpah. Kelimanya adalah Aceh, Bengkulu, Papua Barat, Maluku Utara, dan Sumatera Utara, yang masing-masing memiliki lebih dari 75 bidan per 100.000 penduduk.
Aceh menjadi daerah dengan rasio bidan per penduduk paling bagus, yakni 144,98 bidan per 100.000 penduduk. Adapun Jawa Tengah masuk wilayah kuning, dengan rata-rata 36,94 orang bidan per 100.000 penduduk. Di mana artinya setiap bidan menangani setidaknya 2.707 orang.
Menariknya, DKI Jakarta sebagai ibukota negara mempunyai rasio bidan per penduduk paling kecil. Dalam peta yang sama, Pusdatin Kemkes mencatat rasio 19,74 bidan per 100.000 penduduk. Ini artinya, setiap bidan di Jakarta menangani lebih dari 5.000 orang.
Jumlah tenaga perawat setali tiga uang. Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadillah, kepada Merdeka.com menuturkan, rasio perawat per penduduk Indonesia berada di bawah standar WHO. Yakni hanya 10 berbanding 10.000 tahun ini.
Isu ini juga pernah diangkat dosen sekaligus master di bidang kebidanan, Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya, dalam artikelnya di Jakarta Post empat tahun lalu. Cicilia menyebutkan, Indonesia hanya memiliki rasio 11 perawat per 10.000 penduduk. Adapun menurutnya standar WHO adalah 50 perawat per 10.000.
Kesimpulannya, Indonesia masih kekurangan fasilitas kesehatan yang ditunjukkan dengan kecilnya rasio Puskesmas per penduduk. Ditambah lagi masih banyaknya Puskesmas di bawah standar. Sementara untuk tenaga medis, rataan rasio bidan dan perawat dibanding jumlah penduduk masih berada di bawah standar WHO.

Data persebaran dokter umum, di mana terbanyak berada di Pulau Jawa. Grafik diolah dari Katadata dan Freepik.
Cukup Dokter, Tapi Tidak Merata
Bagaimana dengan dokter? Mengutip Statista, total jumlah dokter (umum, spesialis, dan gigi) di Indonesia di tahun 2018 adalah sebanyak 205.597 orang. Rinciannya, dokter umum 134.459, dokter spesialis 29.721, dokter gigi umum 3.818, dan dokter gigi spesialis 37.599.
Sementara Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng Mohammad Faqih, menyebutkan kepada Tirto bahwa jumlah dokter yang tergabung dalam organisasi profesi pimpinannya adalah sebanyak 172.000. Dengan penduduk sebesar 265 juta jiwa per 2018 lalu, rasio dokter per populasi Indonesia adalah 1:1.540.
Angka ini lebih tinggi dari standar WHO yang menetapkan 1:2.500 (1 dokter untuk 2.500 jiwa). Sayangnya, sebagaimana dilansir Katadata mengutip data Kemkes, sebanyak 78.837 dokter umum–lebih dari separuh jumlah seluruh dokter di Indonesia–membuka praktik di Pulau Jawa. Urutan wilayah dari yang terbanyak memiliki dokter adalah Jawa Barat (20.929), DKI Jakarta (18.905), Jawa Timur (15.948), Jawa Tengah (12.358), Banten (6.645), dan DI Yogyakarta (4.052).
Jadi, jumlah dokter sebetulnya sangat berlimpah, rasionya di atas standar WHO. Masalahnya, persebaran dokter tidak merata sehingga layanannya pun tidak dapat dinikmati semua penduduk. Jangankan daerah-daerah yang tergolong 3T (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar), di Pemalang yang terletak di tengah-tengah Pulau Jawa saja jumlah dokter dapat dihitung dengan jari.
Dokter kandungan, misalnya. Ketika isteri harus menjalani operasi sesar pertengahan 2018 lalu, di rumah sakit swasta yang kami pilih hanya terdapat satu dokter kandungan yang tengah stand by. Isteri sempat menunggu lama di IGD sebelum masuk ruang operasi karena bergantian dengan pasien lain.
Rumah sakit swasta tersebut merupakan anggota sebuah grup rumah sakit yang juga terdapat di Banyumas dan Purbalingga. Karena itulah dokter yang bertugas di Pemalang juga bertugas di Banyumas dan Purbalingga, dengan sistem penjadwalan bergiliran sedemikian rupa.
Seorang dokter hanya akan praktik pada hari-hari tertentu di Pemalang, karena hari lain mendapat jadwal di Banyumas atau Purbalingga. Bagi yang tidak hapal jadwal ini, atau tiba-tiba ada perubahan jadwal, dijamin bakal kecelik deh. Dokternya nggak ada.
Saya pernah mengalami kejadian tidak mengenakkan ini. Kejadiannya ketika mengantar satu pasien dampingan Sedekah Rombongan yang berada dalam tanggung jawab saya untuk check up rutin. Saat hendak mendaftar di bagian registrasi, dokternya ternyata tidak ada di tempat. Baru besoknya beliau bertugas di Pemalang.
Pelayanan Berbasis Consumer Health Informatics
Tidak meratanya persebaran dokter, serta masih terbatasnya tenaga bidan, perawat, juga Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di negeri ini, menciptakan sebuah jarak dan celah antara masyarakat sebagai pasien dengan sumber daya kesehatan yang tersedia.
Ini tentu saja kondisi yang tidak ideal. Sebab peningkatan layanan kesehatan merupakan langkah vital dalam memajukan bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang sehat. Bukankah ada petuah bijak yang mengatakan, “Di dalam raga yang sehat terdapat jiwa yang sehat”?
Bagi seorang muslim seperti saya, prioritas pada aspek kesehatan juga sejalan dengan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.” Untuk menjadi kuat secara fisik, kita harus terlebih dahulu sehat.
“Kesehatan adalah mahkota yang bersemayam di atas kepala orang-orang yang sehat, yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang sakit.” Demikian Dr. ‘Aidh Al-Qarni menulis dalam bukunya yang menjadi best seller, La Tahzan.
Untuk menjaga mahkota berupa kesehatan itu kita memerlukan layanan maksimal. Untunglah, di Era Industri 4.0 ini banyak sekali inovasi di bidang kesehatan yang semakin memudahkan kita dalam mengakses layanan medis. Misalnya dengan berkembangnya layanan kesehatan digital, seperti aplikasi SehatQ yang diluncurkan pada September 2019 lalu.
Di masa di mana arah informasi kesehatan harus berorientasi pada pasien, atau dikenal dengan istilah Consumer Health Informatics (CHI), kehadiran SehatQ memberi peran sangat penting di tengah keterbatasan yang masih menyelimuti dunia kesehatan Indonesia. Terlebih bila mengingat kondisi geografis negara ini yang merupakan negara kepulauan nan maha luas.
Kelompok Kerja yang dibentuk oleh International Medical Informatics Association (IMIA) pada tahun 2000 mendefinisikan Consumer Health Informatics sebagai “penggunaan perangkat telekomunikasi dan komputer modern untuk mendukung pasien dalam mendapatkan informasi, menganalisa kebutuhan layanan kesehatan, dan membantu mereka membuat keputusan terkait kondisi kesehatan mereka.”
Lebih lanjut Kelompok Kerja tersebut menyebutkan (arsip sumber), dalam mendapatkan layanan kesehatan tersebut “pasien berinteraksi menggunakan aplikasi dengan atau tanpa kehadiran tenaga medis profesional.”
Sementara American Medical Informatics Association (AMIA) menyebut cakupan layanan CHI meliputi “sistem informatika yang berfokus pada pasien, literasi medis, dan edukasi kesehatan.” Pada pokoknya, menurut AMIA dalam laman resminya, layanan CHI mustilah memberdayakan masyarakat sebagai pasien untuk mengelola kesehatan mereka sendiri secara mandiri.
Jaga Kesehatan dengan SehatQ
Aktivitas yang persis didefinisikan kedua organisasi kesehatan tersebut difasilitasi oleh SehatQ. Hadir dalam media situs SehatQ.com dan aplikasi di Google Play maupun App Store, SehatQ merupakan platform digital health yang mengambil peran sebagai jembatan bagi masyarakat dan fasilitas serta layanan kesehatan.
Masyarakat yang selama ini mengalami kesulitan akses, kini dapat menjangkau layanan medis dengan mudah. Cukup melalui komputer atau smartphone, mereka sudah bisa mengontak dokter. Bahkan, karena internet merupakan dunia tanpa batas, seorang pasien di Papua dapat melakukan konsultasi dengan dokter di Jakarta. Luar biasa, bukan?
Satu fitur menarik yang ditawarkan SehatQ adalah Chat Dokter, di mana kita diberi kesempatan berkonsultasi secara langsung dengan dokter melalui aplikasi maupun situs. Jadwal konsultasi setiap Senin – Jumat pukul 07.00-20.00, dan kita diberi waktu maksimal 30 menit dalam sekali sesi konsultasi.
Menariknya, layanan ini dapat dinikmati dengan gratis! Sebagai perbandingan, untuk satu sesi konsultasi selama 10-15 menit dengan dokter kandungan (maaf, saya hanya punya pengalaman dengan dokter kandungan) langganan saya dan isteri di Pemalang dikenai tarif Rp80.000.
Itu hanya untuk konsultasi, dan untuk itu musti antre berjam-jam terlebih dahulu sebelumnya. Karena itulah saya langsung tertarik mencoba fitur ini sesaat setelah menginstal aplikasi SehatQ di hape. Saya ingin menanyakan perihal tumit kiri saya yang belakangan sering nyeri jika dipakai berjalan.
Prosesnya sungguh mudah, juga cepat. Setelah mengisi satu formulir, tak sampai semenit berselang saya sudah tersambung dengan dr. Vina Liliana. Beliau seorang dokter umum anggota IDI, lulusan FK Universitas Kristen Maranatha, serta berpengalaman di Rumah Sakit tipe B selama hampir 5 tahun.
Dari konsultasi tersebut dr. Vina menyebut beberapa kemungkinan penyebab, salah satunya adalah obesitas. Olala! Saya langsung tersenyum sendiri. Bobot saya memang tengah tidak ideal tahun-tahun belakangan ini. Dengan tinggi 170 cm, berat badan saya kini 95 kg.
Bila dihitung dengan rumus berat badan ideal, yakni berat badan dibagi tinggi badan pangkat dua (95kg:[1,7m x 2]), hasilnya adalah 27,94. Angka ini masuk dalam rentang poin 25,0-29,9 dan merupakan kategori kelebihan berat badan. Di akhir sesi, dr. Vina memberi saran agar saya menurunkan berat badan secara perlahan.
Artikel Kesehatan Terpercaya
Dalam sesi konsultasi tersebut dr. Vina juga memberi referensi Artikel Kesehatan yang isinya terkait keluhan saya. Saat pertama kali saya menyebut perihal tumit nyeri, dr. Vina mengirim tautan artikel Apa Saja Penyebab Nyeri Tumit?.
Awalnya ini mungkin terlihat sebagai artikel kesehatan biasa seperti yang banyak ditemui di internet. Artikel-artikel yang terkadang ditulis bukan oleh tenaga medis atau penulis dengan latar belakang dunia kesehatan. Yang bahan-bahannya sering diambil dari sumber-sumber sekunder.
Jika diamati dengan jeli, di bawah nama penulis pada artikel kesehatan di SehatQ terdapat keterangan “Ditinjau oleh” yang diikuti nama dokter tertentu. Untuk artikel mengenai nyeri tumit tadi, tertera tulisan “Ditinjau oleh dr. Reni Utari”.
Penasaran siapa sih dr. Reni Utari dan apakah beliau sosok berkompeten dalam tema yang diangkat artikel tersebut? SehatQ mempunyai halaman profilnya kok. Di sana dijelaskan secara ringkas profil sang dokter, pengalaman bekerja, termasuk juga nama almamater.
Tinjauan oleh dokter yang berkompeten di bidangnya membuat artikel-artikel kesehatan di SehatQ terjamin kebenarannya. Ini dapat meminimalisir bahkan menihilkan terjadinya penyebaran informasi salah, juga hoax kesehatan, yang seringkali disebabkan oleh ketidak-tahuan penulis pada tema yang ditulisnya.
Direktori artikel kesehatan di SehatQ terhitung lengkap. Dibagi dalam 14 tema yang salah satunya sangat menyita perhatian saya, yakni tema Kesehatan Mental. Seluruh artikel ini dapat dibaca baik pada versi situs maupun aplikasi.
Selain dua fitur yang sudah saya nikmati tersebut, masih ada lagi fitur lain yang sangat membantu. Misalnya direktori fasilitas kesehatan, yang mencakup rumah sakit hingga klinik kecantikan. Informasi yang disajikan sangat lengkap, meliputi nama faskes, profil singkat, alamat lengkap, jam operasional, layanan spesialis apa saja yang tersedia di sana, hingga informasi mengenai boleh-tidak berobat menggunakan BPJS di sana.
Ada pula direktori obat. Meliputi informasi mengenai golongan obat (keras, bebas, bebas terbatas, produk konsumen), harga eceran tertinggi, nama produsen, deskripsi obat, indikasi dan kontra indikasi obat, dosis dan aturan pakai, sampai efek samping penggunaan obat tersebut. Lengkap!
Pun demikian direktori dokter, yang menyajikan data 15.941–dan terus bertambah–dokter baik umum maupun spesialis. Di halaman masing-masing dokter tersaji profil singkat sang dokter disertai foto, dokter umum atau spesialis, kalau dokter spesialis apa spesialisasinya, daftar lokasi praktik, hingga jadwal praktiknya di masing-masing lokasi.
Dan yang lebih menarik lagi, kita dapat melakukan Booking Dokter melalui halaman tersebut. Cukup pilih nama dokter, nama lokasi praktik, tanggal di mana terdapat jadwal praktik, dan waktunya. Untuk membuat appoinment dengan dokter tersebut, cukup klik/tap tombol bertuliskan “Booking Dokter” di bawah bagian Jadwal Praktik sang dokter.
Fitur Booking Dokter ini tentunya sangat membantu sekali dalam membuat janji temu dengan dokter. Kita dapat memilih dokternya, tempat praktik, hingga tanggal dan jamnya hanya melalui aplikasi. Lebih efisien. Tidak perlu lagi datang “curi start” hanya untuk mengambil nomor antrian kecil, lalu kembali saat jam praktik.
Bagaimana, ingin merasakan kemudahan konsultasi kesehatan tanpa harus datang ke rumah sakit, tanpa harus menemui dokter, beserta segambreng kemudahan lainnya? Cukup instal aplikasi SehatQ di smartphone-mu, Kawan!
Semoga bermanfaat ya.
Beri komentar