Memori takbiran di Masjid Trans Batumarta Unit XIII
SESUAI hasil sidang isbat Kementerian Agama Republik Indonesia pada Senin (3/06/2019) lalu, Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1440 Hijriah ditetapkan jatuh pada Rabu, 5 Juni 2019. LEBARAN! Alhamdulillah, senang rasanya dapat kembali menikmati indahnya hari kemenangan dan mengharukan.
Kalau ada yang dirindukan dari suasana Lebaran, maka bagi saya itu adalah malam takbiran.
Saya selalu menikmati momen di mana suara takbir mendayu-dayu dari pelantang musala sebelah rumah, diiringi tabuhan beduk ala kadarnya. Suara anak-anak kecil yang turut mengumandangkan takbir, selain semakin meyakinkan kalau esok Lebaran, membuat saya teringat pada masa kecil.
Usia 10-11 tahunan, saya aktif sebagai anak masjid. Ya, belum layak rasanya disebut remaja masjid karena usia saya masih anak-anak. Bukan cuma rajin mengaji dan salat berjamaah di masjid, tapi saya juga ikut bapak-bapak membangun masjid itu sampai berdiri tegak megah.
Saya yang masih duduk di bangku kelas VI Sekolah Dasar kebagian tugas angkat-angkat material. Mulai dari mengangkat batu yang diturunkan truk pengangkutnya di lapangan desa, turut bolak-balik mendorong gerobak bersama teman-teman saat tiba masanya menimbun pondasi dengan tanah, hingga mengusung batu bata ke tempat bapak-bapak yang tengah bekerja bakti dalam pembangunan tersebut.
Sebelum masjid itu berdiri, kami mengaji dan salat berjamaah di sebuah musala kayu kecil. Saya yang termasuk anak masjid senior mendapat tugas mengajari anak-anak usia 6-7 tahun mengaji A-Ba-Ta. Tentu saja setelah saya sendiri mengaji pada senior saya. Salah satu guru favorit saya adalah Om Agus, salah satu saudara jauh dari pihak ibu.
Setelah beberapa lama menggunakan musala papan tersebut, warga berunding untuk merencanakan pendirian sebuah masjid. Lokasi yang dipilih adalah tanah kosong tepat di sebelah musala kayu tersebut.
Saya tak ikut membantu pada waktu memasang pondasi. Tapi saya turut berkeringat mengangkuti tanah untuk mengurug pondasi tersebut. Karena keburu tiba bulan Ramadan, proses pembangunan ditunda. Pondasi bakal masjid itu pun sempat dijadikan tempat salat tarawih karena musala kayu tak mampu lagi menampung jamaah.

Citra satelit Blok A Batumarta VIII di mana saya sempat tinggal selama dua tahun (1992-1994). Masjid kenangan dalam cerita ini saya tandai lingkaran merah.
Lalu saat tembok-tembok masjid dibangun, saya bersama kawan-kawan remaja masjid ikut membantu mengangkut batu bata, pasir, semen dan lainnya. Saya tak bisa membantu ketika waktunya memasang genteng dan menghaluskan dinding-dinding masjid yang setengah jadi. Tukang dan bapak-bapak yang mengambil alih pekerjaan tersebut hingga tuntas.
Alhamdulillah, setelah memakan tempo nyaris setahun kalender masjid sederhana itu pun berdiri.
Sayang, saya lupa nama masjid tersebut. Sebuah masjid di tengah pemukiman transmigrasi nan sepi namun menghanyutkan di Trans Batumarta Unit XIII. Desa di mana masjid kenangan itu berada kini masuk administrasi Kabupaten OKU Timur di Sumatera Selatan.
Satu-satunya yang saya ingat, saya sempat menghabiskan malam-malam takbir nan syahdu di masjid itu. Menabuh bedug semalam suntuk tanpa lelah, mengiringi kawan-kawan yang bertakbir melalui corong TOA. Sedangkan ibu bersama adik-adik saya dan ibu-ibu lain duduk-duduk di dalam masjid yang diterangi lampu-lampu petromaks.
Saya tak mau melewatkan momen menabuh bedug di malam takbir itu. Sampai-sampai beberapa hari sebelumnya saya sudah menyiapkan tabuh bedug sendiri — agar tidak gantian dengan kawan yang lain, terbuat dari sebatang ranting pohon jambu berukuran sedang.
Tak terasa, peristiwa itu sudah berlalu 25 tahun. Dan setiap kali mendengar takbiran di malam Lebaran seperti ini, ingatan saya selalu kembali ke masa itu. Masa-masa di mana Lebaran adalah hari raya yang menggembirakan segembira-gembiranya. Masa lebaran anak-anak.
Tak bermaksud sentimentil, tapi ada rasa sesak yang aneh menghentak di dada setiap kali mengingat kenangan itu. Kenangan manis, saking manisnya ingin sekali saya mengulanginya lagi. Meski untuk itu saya harus kembali menjadi anak kelas VI SD dan mundur ke tahun jaman wakil presiden masih Try Sutrisno. Hehe…
Itu sebabnya, ketika datang kesempatan kembali ke Batumarta pada Lebaran 2017 lalu saya menyempatkan diri menyambangi masjid ini. Tujuan utama sih ke tempat kakak-adik Ibu di Batumarta VI. Karena jarak Batumarta VI dan Batumarta VIII hanya sepelemparan batu, saya pun menyempatkan diri ke sana.
Setelah 23 tahun …
Sesampainya di tujuan, banyak sekali yang berubah. Rumah-rumah dan orang-orangnya nyaris semua tak lagi saya kenali. Wajar, saya meninggalkan tempat ini untuk melanjutkan ke SMP pada medio 1994–meski masih bolak-balik ke sana hingga 1995, dan Juni 2017 baru kembali ke sana. Rentangnya 23 tahun, benar kan?
Dan, di masjid inilah saya pertama kali berhenti. Masjid yang saya, bersama teman-teman seumuran lainnya, turut membantu pembangunannya. Meskipun cuma bantu-bantu angkut batu bata, menginjak-injak tanah urugan supaya padat, atau mengambil ember-ember kosong yang dilempar bapak-bapak dan mas-mas yang sedang memasang bata.
Ini masjid tempat saya belajar dan mengajari anak lain mengaji pakai turutan. Masjid tempat saya belajar bahasa Jawa ngoko, dan acapkali diledek teman-teman karena salah melafalkan kata tuthuk (= pukul). Masjid tempat saya biasa mengumandangkan azan atau iqamah, tapi lebih sering lagi menabuh beduk. Masjid yang saya tahu betul progres pembangunannya sejak masih berupa tanah kosong hingga tegak payung.
Masjid yang dibuat dengan getah karet. Waktu saya meninggalkan Blok A Batumarta VIII, masjid ini masih “telanjang” alias belum jadi 100%. Pak Salim, Ketua RT inisiator pembangunan masjid ini, menurut keterangan warga sekitar meninggal setahun sebelum kedatangan saya.
Dada saya tiba-tiba sesak saat melihat masjid ini. Gugup, saya buka pintu mobil asal-asalan dan segera turun menuju ke halamannya. Sampai-sampai pintu mobil lupa saya tutup kembali. Saya rasa air mata nyaris tumpah ketika berada di sini, namun sebisa mungkin saya tahan.
Baca juga: Masjid yang dibangun dengan getah karet
Sayang, saya tak bisa berlama-lama berada di masjid ini. Niat awal untuk sekedar salat tahiyatul masjid pun batal karena anggota rombongan lain tidak bersedia menunggu. Saya bahkan tidak menginjakkan kaki di terasnya. Hanya dapat berswafoto ria di halamannya untuk diunggah di Facebook.
Tak apalah. Itu artinya lain kali saya musti ke sana lagi. Mungkin datangnya di momen Ramadan jelang Lebaran, agar saya dapat mengulangi malam takbiran di masjid tersebut seperti pada masa kecil. Semoga.
Oya, nama masjid ini Al Amin. Dan saya baru mengetahuinya ketika mengambil foto di atas.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijirah. Taqabalallhu minna wa minkum, taqabal ya kariim…
jangan lupa mampir bang
SukaSuka