Highlight:

Lebih cepat, lebih produktif dengan ASUS ZenBook UX331UAL

Monumen pengibaran bendera Tanjung Mafutabe, Mareku

Di sini pada 18 Agustus 1946 sebuah peristiwa bersejarah terjadi. Peristiwa heroik yang tak banyak diceritakan, yang mendorong saya kembali datang ke Tidore pada pertengahan Agustus 2017. FOTO: bungeko.com/Eko Nurhuda

TIDORE, 18 Agustus 2017. Kumandang azan Isya terdengar ketika potongan terakhir pentol bakso bercampur juluran mi kuning dalam mangkok saya suapkan ke dalam mulut. Saya kunyah perlahan sembari meresapi merdu suara muazin dari masjid yang terlihat dari warung. Jalanan sepi. Hanya satu-dua bentor melintas bergantian.

Di sela-sela bait azan, suara deburan air laut di garis pantai Tugulufa yang terletak tepat di seberang jalan semakin menambah syahdu suasana. Tapi saya tidak bisa berlama-lama. Usai meneguk teh hangat dan membersihkan meja, saya berdiri untuk membayar.

“Bakso, teh anget, kalih kerupuk setunggal,” ujar saya kepada bapak penjual.

Ya, ini di Tidore. Tapi penjual bakso tersebut perantauan dari Jawa. Kali pertama makan di sana pada April 2017, saya sempat bertanya apakah ia dan istri masih bisa berbicara bahasa jawa. Ternyata masih sangat lancar sekali. Jadilah sejak saat itu saya selalu berbahasa jawa setiap kali makan bakso di sana.

Bapak penjual bakso menyebut harga, yang saya balas dengan angsuran selembar biru Rp50.000. Tanpa menghitung kembalian saya mengucap terima kasih sembari keluar warung. Saya lalu berjalan gegas menyusuri gelapnya jalan tanpa penerangan umum.

Masjid dari mana suara azan Isya terdengar terletak tepat di perempatan. Masjid Babul Jannah namanya. Beberapa lelaki bergamis dan perempuan bermukena tampak berdatangan dan memasuki masjid. Saya lempar senyum pada seorang bapak yang menyapa, lalu menyeberang menuju Jl. Kemakmuran. Rumah di mana saya menumpang selama di Tidore terletak tak jauh dari masjid.

Saya menghela napas lega begitu melihat rumah dengan papan nama “Sanggar Folakatu Art”. Tapi bukan itu tujuan saya, melainkan rumah tepat di sebelahnya. Rumah bercat dominan kuning dengan dua batang pohon mangga di halaman.

Rumah tampak sepi. Seperti biasa pintu depan tidak terkunci. Saya langsung masuk saja sembari mengucap salam. Tak ada siapa-siapa, hanya saja terdengar celoteh bocah di kamar Ai si empunya rumah. Didorong hasrat ingin mandi yang amat sangat, saya segera masuk kamar.

Eko Nurhuda, Alex Toduho, Annie Nugraha

Saya disambut oleh Alex dan Yuk Annie Nugraha begitu sampai di Soasio, Tidore. Dua orang inilah yang banyak mendukung dan membantu misi saya selama di Tidore, Agustus 2017. FOTO: bungeko.com/Eko Nurhuda

Demi Peristiwa Bersejarah

Entah karena guyuran air yang membuat badan rileks atau memang sudah waktunya beristirahat, rasa lelah justru menyergap sekeluar saya dari kamar mandi. Saya rebahkan badan sejenak di atas spring bed, mengilas balik perjalanan sejak pagi.

Kedatangan saya ke Tidore pada pertengahan Agustus 2017 itu bukan untuk berlibur. Ada tujuan lain yang bagi saya lebih menarik: mengikuti upacara bendera 18 Agustus di Kelurahan Mareku. Bagian menariknya, upacara ini dihelat rutin setiap 18 Agustus untuk mengenang keberanian pemuda-pemudi Mareku di masa perang kemerdekaan.

Ceritanya, pada 18 Agustus 1946 sekelompok pemuda Mareku mengibarkan bendera Merah Putih di Mareku. Masih butuh studi mendalam, namun ini disebut-sebut sebagai pengibaran bendera Merah Putih pertama di Maluku dan bahkan Indonesia Timur. Aksi ini sendiri dilakukan sebagai bentuk dukungan pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia setahun sebelumnya.

Tidore dan sebagian besar wilayah Indonesia Timur masih dikuasai tentara asing masa itu. Jangankan mengibarkan bendera Merah Putih, mengucap “Merdeka!” saja bisa membuat seseorang ditangkap dan masuk penjara. Jadi, apa yang dilakukan sekelompok pemuda Mareku ini sungguh sebuah keberanian luar biasa.

Yang membuat cerita jadi tambah menarik, bendera Merah Putih yang dikibarkan ketika itu merupakan hasil jahitan tangan. Adalah Amina Sabtu yang menjahit bendera tersebut. Dengan benang yang dibuat sendiri dari serat nanas, ia menggabungkan kain merah bekas-pakai prosesi salai jin dengan kain putih yang dicarinya di lemari pakaian.

Baca juga: Kado Kecil untuk Nenek Amina

Begitu selesai, bendera Merah Putih diserahkan pada Abdullah Kadir, sepupunya yang meminta dijahitkan bendera tersebut. Dibawalah kain dwiwarna tersebut menyeberang ke Ternate. Rencana awal, bendera akan dikibarkan di Jembatan Residen sebagai tempat paling strategis di Kota Ternate. Sayang, penjagaan tentara asing terlalu ketat sehingga Dullah dkk. terpaksa balik kucing ke Tidore.

Mereka pun berunding mengenai lokasi paling tepat untuk mengibarkan bendera di Tidore. Setelah menimbang ini dan itu, semua sepakat memilih sebuah tanjung kecil berlokasi tak sampai 100 meter dari rumah Amina dan Dullah. Tanjung Mafutabe namanya.

Nenek Amina Sabtu

Nenek Amina Sabtu saat saya kunjungi di rumahnya, 17 Agustus 2017. Susah payah saya mencari cara agar dapat menjepretnya sedang tersenyum begini. FOTO: bungeko.com/Eko Nurhuda

Pemilihan Tanjung Mafutabe bukan tanpa alasan. Selain berada tepat di pinggir jalan raya Rum-Soasio, tanjung ini menghadap ke Ternate. Bendera yang dikibarkan di tanjung ini dapat terlihat jelas dari Ternate. Dan itulah tujuan utama Dullah dkk.

Begitulah. Sang saka Merah Putih pun berkibar di langit Mareku, di langit Tidore, pada 18 Agustus 1946. Tentara asing yang mengetahui hal ini tak tinggal diam. Mareku diserbu. Dullah ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Soasio. Amina sempat diintrograsi dan hendak dibawa serta, namun atas desakan warga kemudian dilepaskan.

Merespon penangkapan Dullah, warga Mareku kompak balik menyerbu penjara di Soasio. Dullah berhasil dibebaskan dan dibawa kembali ke Mareku. Setidaknya demikian cerita yang disampaikan pada saya oleh beberapa sumber di Mareku.

Untuk mengenang keberanian Nenek Amina, Kakek Dullah, dkk. itulah warga Mareku mengadakan upacara bendera setiap 18 Agustus di Tanjung Mafutabe. Dan karena kisah heroik itu pula saya datang ke sana pertengahan Agustus 2017.

Bagi saya ini merupakan peristiwa bersejarah yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Saya ingin mendokumentasikan upacara ini dan memberitakannya ke sebanyak mungkin orang melalui berbagai media yang dapat saya jangkau.


Mengabadikan Upacara 18 Agustus

Pagi itu, 18 Agustus 2017, berkat bantuan tuan rumah saya bangun tepat waktu Subuh. Pukul enam kurang Waktu Indonesia Timur. Selepas mandi dan salat, saya segera berkemas menyiapkan apa-apa yang diperlukan. Tak lama berselang datang Alex Toduho, teman yang saya kenal dari kunjungan pertama ke Tidore. Setelah sarapan bersama Ai, kami pun menuju Mareku dengan sepeda motor.

Warga Mareku sudah bersiap melaksanakan upacara ketika kami berdua datang. Sejumlah tetamu penting telah duduk di tempat yang disediakan. Di antaranya mantan Walikota Tidore Kepulauan dua periode (2005-2015) Bapak Ahmad Mahifa, perwakilan Sultan Tidore, dua pemangku adat Mareku yang disebut dengan nama Sangaji Jiko Malofo (dua Sangaji), serta tokoh masyarakat setempat.

Saya dan Alex segera bergabung ke dalam barisan. Upacara berjalan khidmat. Lurah Mareku, Hi. Gani Ali, ST. bertindak sebagai pembina upacara. Dibacakan pula kronik Peristiwa Mareku 1946 dengan latar belakang sejarah Kesultanan Tidore dan hubungannya dengan Republik Indonesia yang baru merdeka.

Puncaknya adalah pengibaran bendera Merah Putih oleh Paskibraka. Sebelum mengibarkan bendera, Paskibraka bergerak dari tempatnya menuju deretan tamu VIP. Di sana pembawa baki menerima bendera dari Nenek Amina, satu-satunya saksi sejarah Peristiwa Mareku 1946 yang masih hidup pada waktu itu.

Bila Paskibraka di tempat lain memiliki barisan khusus anggota TNI atau Polri, di Mareku pasukan pengawalnya adalah pemuda berpakaian dan berikat kepala hitam-hitam. Di tangan kiri mereka tergenggam parang bergagang hitam, dengan sarung kayu berwarna hitam pula. Inilah pasukan khusus Sangaji Jiko Malofo.

Di masa lalu, pasukan hitam-hitam dari Mareku merupakan satuan elite Kesultanan Tidore. Mareku sendiri adalah satu-satunya wilayah kesangajian yang berada di Pulau Tidore sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Tidore. Tak seperti sangaji-sangaji lain yang wilayahnya berada di luar Pulau Tidore.

Baca juga: Warga Tidore Gelar Upacara 18 Agustus, Ini Alasannya

Usai menerima bendera dari Nenek Amina, gadis pembawa baki kembali ke barisan. Paskibraka bergerak menuju ke tiang bendera yang terletak di seberang monumen pengibaran bendera 1946. Tak lama berselang komandan upacara meneriakkan seruan hormat, lagu Indonesia Raya berkumandang, dan bendera Merah Putih perlahan dikerek naik.

Upacara ditutup dengan doa. Tapi yang ditunggu-tunggu warga justru momen setelah itu, yakni pemberian bantuan sebagai bentuk apresiasi pada Nenek Amina Sabtu. Beliau satu-satunya pelaku sejarah yang tersisa waktu itu. Semasa Kakek Dullah masih hidup, keduanya sama-sama mendapat kehormatan itu selepas upacara.

Saya mengabadikan setiap momen tersebut dengan kamera digital di tangan. Ini bakal jadi rekaman berharga di masa depan. Terlebih, ada yang spesial saat perwakilan Sultan Tidore menyerahkan piagam penghargaan dari Kesultanan pada Nenek Amina. Inilah penghargaan pertama yang diterima Nenek Amina atas keberaniannya di masa lalu.

Dokumentasi tersebut bertambah berharga karena setahun berselang Nenek Amina meninggal dunia. Habis sudah pelaku sejarah Peristiwa Mareku 1946. Saya merasa sangat beruntung pernah berjumpa almarhumah dan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana beliau begitu dielu-elukan warga Mareku.


Publikasi yang Terhambat Perangkat

Menuruti rasa lelah, ingin rasanya saya tidur saja. Toh, hari sudah malam. Namun tugas belum selesai. Saya masih harus mengedit rekaman upacara di Mareku tadi untuk kemudian mengirimkannya ke sebuah program acara citizen journalism.

Menurut perhitungan saya, kalau video dapat diselesaikan dan dikirim sebelum tengah malam besar peluangnya untuk ditayangkan esok pagi. Sayang, perhitungan tersebut meleset karena satu perkara kecil namun sangat mengganggu. Dan itu disebabkan oleh laptop saya.

Masalah sebenarnya sudah timbul ketika mengedit video. Laptop yang sudah saya pakai sejak Januari 2014 ini agaknya sudah sangat lamban sekali untuk melakukan pekerjaan berat. Maklum, prosesornya masih berkecepatan 1,4 GHz. Sementara RAM-nya hanya 2 GB. Sudah untung masih bisa menjalankan program video editing.

Membawa laptop ini sebenarnya sempat menimbulkan dilema bagi saya. Kalau tak dibawa saya bakal membutuhkannya untuk menggarap video selama perjalanan. Tapi dibawa kok berat banget ya. Bobotnya lebih dari 2 kg, atau tepatnya 2100 gram. Lumayan bikin pegal pundak saat dimasukkan dalam tas punggung.

Tambahan lagi, baterai laptop ini sudah soak. Saya hanya bisa menggunakannya kurang dari sejam kalau tidak dicolokkan ke sumber listrik. Tidak soak pun kapasitas baterainya memang tak besar, 2350mAh. Di awal-awal memakai laptop ini, ketahanan baterainya maksimal selama 3 jam saja untuk berselancar atau menonton video online.

Terlepas dari soal lamban, berat, dan baterainya yang lemah, masalah paling mengganggu bagi saya pada waktu itu adalah koneksi wifi. Entah karena produk lama atau bagaimana, saya kesulitan mendapat koneksi terbaik untuk mengunggah video. Padahal modem sebagai sumber sinyal berada sangat dekat dengan laptop.

Alhasil, video sepanjang 4 menit yang saya edit tidak kunjung terunggah hingga jauh melewati tengah malam. Sempat putus koneksi beberapa kali, video akhirnya sukses terunggah di akun citizen journalism saya sekitar pukul setengah tiga dini hari.

Kejadian ini benar-benar mengacaukan rencana saya selanjutnya: mengedit video kedua dan mengunggahnya di YouTube. Saya juga berencana membuat teaser sepanjang semenit untuk diunggah di Facebook. Karena sudah sangat lelah dan mengantuk, saya lebih memilih tidur.

ASUS ZenBook UX331UAL

Laptop Idaman

Tentu saja saya mengidam-idamkan laptop yang lebih oke. Empat tahun bersama laptop yang saat ini saya pakai, saya jadi tahu apa saja yang saya butuhkan dari sebuah laptop idaman: bobot ringan, prosesor cepat, RAM besar, baterai tahan lama, dan terpenting dapat memberikan koneksi wifi yang cepat.

Faktor ringan menempati urutan pertama karena sebagian besar bobot tas saya saat bepergian bersumber dari “perlengkapan tempur” berupa laptop, kamera, dan segala pernak-perniknya. Terlebih kini saya sudah memakai kamera DSLR, bukan lagi kamera digital.

Ditambah lagi saya bukan tipe orang yang suka bepergian membawa banyak bawaan. Kemana pun pergi, saya selalu berusaha hanya menggendong satu tas punggung. Segala pakaian, perlengkapan kerja, dan lain-lain sudah harus masuk di dalamnya. Lalu bobotnya tidak boleh lebih dari 10 kg.

Menuruti aturan maskapai penerbangan, mustinya tas itu harus masuk bagasi karena melebihi 7 kg. Tapi karena berisi laptop dan kamera, kru pesawat justru menyarankan saya membawanya naik ke kabin.

Kalau saja laptop saya lebih ringan, “kuota” beban dapat saya alokasikan untuk bawaan lain yang tak kalah penting tapi kerap harus mengalah dan ditinggal karena bobot tas sudah terlanjur terlalu berat.

Kemudian prosesor cepat dan RAM besar sungguh kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar bagi saya yang lebih sering memakai laptop untuk mengedit video. Dua organ ini adalah jaminan saya dapat mengedit video tanpa masalah, juga cepat. Syukur-syukur kalau media penyimpanannya sudah memakai SSD.

Untuk laptop yang dipakai berpetualang, maka baterai tahan lama merupakan sebuah keharusan. Ketika berjalan ke suatu tempat, tak jarang kita kesulitan menemukan sumber daya listrik. Baik karena memang belum ada listrik di tempat tersebut, hingga penyebab konyol: tak ada cukup colokan! Hal terakhir ini sering terjadi kalau kita join penginapan dan tak membawa terminal.

Last but not least, konektivitas adalah kunci bagi content creator yang mengandalkan koneksi internet untuk mengirim konten hasil garapan mereka. Jadi, ini adalah faktor penting yang sangat mempengaruhi keputusan.

ASUS ZenBook UX331UAL

ASUS ZenBook UX331UAL, Laptop Idaman Traveler

Seolah sudah tertulis di Lauhul Mahfuz, suatu ketika chat WhatsApp saya penuh berisi tentang laptop terbaru yang bobotnya tidak sampai sekilo: ASUS ZenBook UX331UAL. Berat persisnya 985 gram. Wow! Tak cuma ringan, laptop ini juga tipis: 13,9 mm.

Perhatian saya seketika tersedot olehnya. Sebab, semua hal yang saya inginkan dari sebuah laptop ada pada perangkat satu ini. Dari kesemua hal itu, saya sorot tiga saja yang paling menarik perhatian.

1. Ringan tapi tangguh

Laptop bobot kurang dari sekilo tidak banyak, dan ASUS ZenBook UX331UAL salah satunya. Penggunaan konstruksi magnesium alloy yang sangat ringan serta aplikasi integrated graphics adalah dua hal yang memungkinkan ini terjadi. Dengan begini suhu laptop lebih sejuk, lebih hemat energi, sekaligus membuat bobot laptop jadi lebih enteng.

Tak cuma membuat bobotnya ringan, konstruksi berbasis magnesium alloy pada ZenBook 13 UX331UAL membuatnya sangat tangguh. Perangkat ini memenuhi standar military-grade MIL-STD 810G dan lolos uji daya tahan untuk memastikan kemampuannya beroperasi sama baik dalam berbagai kondisi, bahkan yang ekstrem sekali pun.

Cerita mengenai ketangguhan laptop ASUS sudah saya tahu sejak lama dari katalog di toko komputer langganan. Menurut katalog tersebut, setiap produk ASUS menjalani serangkaian tes berat sehingga dijamin dapat tetap memberikan kinerja terbaik dalam kondisi apapun. Itu sebabnya laptop ASUS tidak mengalami kerusakan sedikit pun selama dipakai 600 hari penuh dalam misi luar angkasa di stasiun luar angkasa MIR.

Akhir 2003, dua pendaki gunung tersohor Shi Wang dan Jian Liu mendaki Gunung Vinson (4.897 mdpl) yang merupakan puncak tertinggi di Antartika. Keduanya membawa laptop ASUS S200N untuk merekam dan berbagi pengalaman selama petualangan. Hebatnya, laptop tersebut tetap berfungsi dengan baik di puncak Gunung Vinson yang bersuhu -73° Celcius.

Lebih tinggi dari itu, notebook ASUS pernah sampai ke puncak Gunung Everest (8.848 mdpl). Adalah Kapten Yang Wangfong yang membawa ASUS U5 ketika mendaki puncak Everest. Ketika banyak laptop bawaan pendaki tak bisa beroperasi saat mencapai markas utama di ketinggian 5.000 mdpl, ASUS U5 milik Kapten Yang tetap menyala. Dan terus dapat beroperasi hingga mencapai puncak.


2. Baterai hingga 15 jam

Kita tak selalu mendapat pasokan listrik memadai ketika berjalan-jalan. Maka, membawa laptop dengan kapasitas dan daya tahan baterai besar adalah hal penting. Dengan demikian kita dapat tetap bekerja sekalipun listrik di tempat yang dikunjungi tengah padam, misalnya.

Bagi penyuka petualangan di alam bebas, aliran listrik merupakan sebuah kemewahan. Tinggal di tengah hutan atau camping di gunung, tak ada sumber energi kecuali sinar matahari. Tapi ini tidak jadi masalah berarti kalau laptop yang dibawa memiliki baterai tahan lama.

Aplikasi pengukuran baterai PCMark menunjukkan baterai pada ASUS ZenBook 13 UX331UAL sanggup memasok daya hingga 4 jam 43 menit pada penggunaan multitasking secara non-stop. Kalau hanya untuk mengedit video tentunya bisa lebih lama lagi. Apalagi sekedar browsing internet dan mengetik.

ASUS sendiri mengklaim, dalam skenario tertentu baterai laptop ini sanggup bertahan hingga 15 jam. Wow! Itu artinya ZenBook UX331UAL dapat menyala lebih dari setengah hari.

3. Prosesor cepat, RAM besar, dan SSD

Lagi-lagi saya hanya bisa bilang “wow!” ketika mengetahui laptop ini ditenagai prosesor Intel® Core™ i5 Generasi ke-8 yang supercepat, generasi terbaru. Lalu RAM-nya sebesar 8 GB, dan menggunakan SSD 256GB PCIe® sebagai media penyimpanan.

Spesifikasi ini tidak terlalu mewah memang, tapi bagi saya kombinasi ketiga organ ini sudah lebih dari cukup. Sudah memungkinkan saya untuk lebih cepat lagi dalam mengedit video, rendering, dan kemudian mengunggahnya ke media sosial.

Pendek kata, dengan ASUS ZenBook UX331UAL saya bisa lebih cepat dan lebih produktif lagi!

ASUS ZenBook UX331UAL

ASUS ZenBook UX331UAL, memenuhi syarat untuk menjadi laptop idaman.

Spesifikasi Asus ZenBook UX331UAL

CPU Intel® Core™ i5-8250U Processor, 6M Cache, up to 3.40 GHz
Sistem Operasi Windows 10 Home
RAM 8GB LPDDR3 2133MHz SDRAM
Penyimpanan 256GB SATA3 M.2 SSD
Tampilan 13.3″ (16:9) LED backlit FHD (1920×1080) 60Hz, Ultra Slim 300nits
Grafis Integrated Intel UHD Graphics 620
Input/Output 1x micro SD card, 1x audio jack COMBO, 1x Type C USB3.0 (USB3.1 GEN1), 2x Type A USB3.1 (GEN1), 1x HDMI, Support HDMI 1.4
Kamera VGA Web Camera
Konektivitas Built-in Bluetooth V4.2, Integrated 802.11 AC (2×2)
Audio Built-in Stereo 1 W Speakers And Array Microphone, ASUS SonicMaster Technology

Support Windows 10 Cortana with Voice, Harman kardon

Baterai 50 Whrs Polymer Battery
Dimensi 310 x 216 x 13.9 mm (WxDxH)
Bobot 985gr dengan baterai
Warna Deep Dive Blue, Rose Gold
Harga Rp14.299.000
Garansi 2 tahun garansi global
Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

8 Comments on Lebih cepat, lebih produktif dengan ASUS ZenBook UX331UAL

  1. Selamat ya Eko. Walau tidak dapat juara 1 tapi tetap dapat laptop baru. Semoga barokah.

    Terimakasih juga sudah melibatkan saya di program donasi untuk Nenek Amina. Semoga beliau husnul khotimah. Aamiin YRA

    Suka

  2. Moga dpt rezeki laptopnya bung Eko 🙂

    Suka

  3. aku gak sanggup ngedit apa-apa di laptop, baik foto potosop corel, maupun video.
    kalo foto, jadinya online lewat canva
    kalo video, ya seadanya lewat hape

    berat juga sih, 2,5 kg laptopku
    2 GB juga RAMnya

    rupanya laptop kita sama2 harus istirahat dan butuh pengganti baru
    hehe
    semoga disegerakan ya dapat zenboo, aamiin

    Suka

  4. Wah, jd pengin ganti laptop deh. Ujinya ekstrem ya. Cocok nih buat pelesiran, Mas. Aku juga gitu, problem utama memang berat laptop kl ke mana mana.

    Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.