Highlight:

Menyeruput Hangat dan Nikmatnya Wedang Uwuh Imogiri

Wedang uwuh kemasan plastik

Salah satu jenis wedang uwuh kemasan. Kini ada banyak macam dan “merek” wedang uwuh kemasan yang beredar di pasar-pasar Yogyakarta, juga di berbagai marketplace daring.

SEGELAS besar minuman berwarna kemerahan dihidangkan ke atas meja. Seorang ibu berkaca mata membawa dua gelas dalam nampan stainless steel, masing-masing diletakkan di hadapan saya dan Tedy. Nama lengkapnya Tedy Suryanto, teman sekampus yang bersama-sama saya bertugas atas nama mingguan Malioboro Ekspres hari itu.

Monggo diunjuk, Mas,” bapak berbaju surjan kuning keemasan yang sedari tadi duduk menemani kami berdua mempersilahkan. Beliau memperkenalkan diri sebagai Windarno, pemilik salah satu kios yang berada di tempat parkir kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri, DI Yogyakarta.

Asap tipis mengepul dari permukaan air di dalam gelas. Pertanda wedang masih panas. Tenggelam dalam air merah tersebut berbagai macam dedaunan dan serutan kayu. Saya juga melihat seruas jahe yang telah dikepruk. Lalu sebongkah gula batu teronggok di dasar gelas.

Turut kata Pak Windarno, dedaunan dalam gelas itu diambil dari area pemakaman. Tidak dipetik dari pohon, melainkan dibiarkan kering dan gugur. Daun tua yang sudah gugur di tanah itulah yang diambil. Dibersihkan, lalu dikeringkan kembali, untuk kemudian dikemas dalam bungkusan-bungkusan plastik kecil.

Tentu tak sembarang daun. Pak Windarno hanya mengumpulkan daun pala dan daun cengkih. Khusus yang terakhir pohonnya telah berusia ratusan tahun, ditanam pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) bertahta.

Sebagai pengaya rasa ditambahkan kayu manis, serutan kayu secang, dan jahe. Gula batu bersifat opsional saja. Jika pengonsumsi berpantang manis maka tak perlu ditambahkan gula dalam minuman. Pada perkembangannya kemudian ada varian wedang uwuh dengan serai (Cymbopogon citratus).

Saya mengaduk-aduk pelan minuman tersebut. Sendok dan gelas beradu menimbulkan suara berkelintingan. Gula batu di dasar gelas bergerak-gerak tersentuh ujung sendok. Setelah ukuran gula batu terlihat mengecil saya letakkan sendok teh ke dalam nampan, lalu meraih tangkai gelas dengan tangan kanan.

Panas menjalar begitu bibir saya bertemu bibir gelas. Tapi itu tidak menghalangi niat untuk menyeruput minuman merah. Perlahan, ingin menyesapi setiap alirannya.

Rasa segar yang belum pernah saya rasakan mengaliri lidah, turun ke tenggorokan. Saya mengenali segar jahe, sepat-asam pala, bercampur dengan harum cengkih. Seketika badan terasa hangat.

Bersama Pak Windarno dan istri

Saya (paling kiri) berfoto bersama Pak Windarno dan istri di dalam kiosnya, suatu hari pada Februari 2009. FOTO: Malioboro Ekspres/Tedy Suryanto

“Ramuan aslinya hanya jahe, daun pala, daun cengkih, kayu manis, sama gula. Tapi, kami berkreasi sendiri dengan menambah kayu secang. Kayu secang inilah yang membuat warna wedang uwuh menjadi merah,” demikian jelas Pak Windarno.

Tedy tampak manggut-manggut. Pandangannya lekat pada Pak Windarno. Sepanjang pembicaraan sesekali ia beraksi dengan kamera DSLR-nya, memotret kedua narasumber kami bergantian dengan sajian wedang uwuh di atas meja.

Rupanya, serutan kayu secang ini mempengaruhi gula jenis apa yang sebaiknya dipakai. Ini berkaitan dengan rasa yang bakal dihasilkan dari percampuran gula dengan pohon kayu bernama sama dengan sebuah kecamatan di Kabupaten Magelang tersebut.

“Kalau tidak pakai secang gula yang dipakai gula jawa. Tapi kalau memakai secang, maka gulanya gula batu,” tambah Pak Windarno.

Itu sebabnya kenapa wedang uwuh kami yang berwarna merah karena serutan kayu secang memakai gula batu. Tadinya saya pikir wedang uwuh memang sudah seharusnya dinikmati dengan gula batu. Ternyata ada ketentuan khusus tak tertulis.

Karena dibuat dari dedaunan kering yang sepintas tampak sebagai sampah, minuman berwarna merah tersebut lantas disebut wedang uwuh. Secara serampangan dapat diartikan sebagai “minuman (dari) sampah”.

Saya kembali menyeruput wedang uwuh dari gelas bertangkai. Kali ini lidah saya sudah lebih akrab dengan rasa khasnya. Seketika itu juga saya menempatkan ramuan berbahan “sampah” ini dalam jajaran minuman favorit setelah wedang jahe.

Tak hanya nikmat di lidah, minuman satu ini juga memiliki khasiat yang tinggi. Di antaranya, seperti diklaim Pak Windarno, dapat membuat tubuh kembali segar dan meningkatkan ketahanan tubuh saat beraktivitas. Kelak, bertahun-tahun kemudian, saya mengiyakan klaim tersebut.

bahan-bahan wedang uwuh

Bahan-bahan dasar wedang uwuh. Pada perkembangannya terdapat banyak varian, misalnya dengan ditambahkan serai.

Dua Macam

Masih menurut cerita Pak Windarno, wedang uwuh saat ini bisa dibedakan menjadi dua macam berdasarkan asal bahan-bahannya: 1) diambil langsung dari lokasi makam Imogiri, atau 2) dari tempat lain. Komposisi bahan-bahannya sama persis, yang membedakan adalah dari mana dedaunan pembuatnya diambil.

Wedang uwuh kemasan yang banyak dijual di pasar-pasar biasanya berbahan baku daun-daun dari luar lokasi makam. Karena itu harganya lebih murah dibanding wedang uwuh yang berbahan baku daun-daun dari makam, seperti yang dijual Pak Windarno.

“Rasanya juga beda kok, Mas. Wedang yang bahannya dari lokasi makam rasanya lebih segar,” kata Pak Windarno lagi. Beliau mengaku di kawasan Imogiri hanya dirinya seorang yang menjual wedang uwuh berbahan dedaunan asli dari makam.

“Almarhum ayah saya dulu abdi dalem yang bertugas di makam. Jadi lebih mudah untuk memperoleh daun-daun dari area kompleks makam,” tambahnya.

Ada benarnya juga, sebab di kawasan makam raja-raja keturunan Panembahan Senopati ini memang banyak sekali pantangan. Termasuk tidak boleh memungut dedaunan di sana, sekalipun daun kering di tanah. Karenanya peracik wedang uwuh butuh bantuan abdi dalem untuk mendapatkan daun pala dan daun cengkih dari kompleks makam Imogiri.

Menyusul banyaknya permintaan seiring semakin populernya minuman satu ini, para peracik wedang uwuh mengakalinya dengan daun pala dan daun cengkih dari tempat lain. Toh, tak semua konsumen bisa membedakan atau bahkan peduli pada asal-usul dedaunan tersebut.

Kini, secara administratif kawasan makam raja-raja Mataram di Imogiri masuk dalam Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Dahulu tentu saja tempat ini merupakan wilayah Kesultanan Mataram. Ketika Perjanjian Giyanti yang membagi dua kesultanan diteken pada 13 Februari 1755, pemakaman tersebut turut dibagi dua antara Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Yang menarik, separuh bagian dari kompleks pemakaman Imogiri secara adat merupakan exclave Kasunanan Surakarta di wilayah Kesultanan Ngayogyakarta. Dan ini bukan satu-satunya exclave Surakarta di Ngayogyakarta. Satu lainnya adalah kawasan Kotagede, ibukota pertama Mataram selepas pindah dari Pajang.

Karenanya terdapat dua pos abdi dalem di dalam kompleks makam, yang masing-masing hanya terpisah seruas jalan. Satu pos abdi dalem Surakarta, satu lagi pos abdi dalem Yogyakarta. Keduanya dapat dibedakan dari seragam dan model blangkon yang dikenakan.

Sama halnya rekan seprofesi mereka yang bertugas di Kraton, para abdi dalem di kompleks makam Imogiri juga tidak mengenakan alas kaki. Secara umum mereka bertanggung jawab terhadap kebersihan makam. Misalnya, menyapu sampah berupa dedaunan yang gugur menutupi area makam.

Di antara dedaunan kering yang disapu abdi dalem itu terdapat daun pala dan daun cengkih, sampah berharga bagi para pedagang wedang uwuh.

Sultan Agung Hanyakrakusuma

Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa ketiga Kesultanan Mataram yang bertahta selama 32 tahun (1613-1645).

Sejak Jaman Sultan Agung

Wedang uwuh adalah minuman rakyat yang telah dikenal sejak masa pemerintahan Sultan Agung. Pak Windarno menceritakan, setelah berupaya menyerang VOC di Batavia pada tahun 1628 dan 1629, sultan ketiga Mataram tersebut mulai membangun kompleks makam di sebuah bukit di Imogiri.

Ada yang bertanya-tanya kenapa kompleks makam raja berada di pelosok? Pada masa Sultan Agung pusat pemerintahan Kesultanan Mataram terletak di Karta, atau Kerto menurut lidah jawa, yang berjarak kurang-lebih 10 km dari Imogiri. Tidak terlalu jauh dari Kraton.

Semasa membangun kompleks makam, Sultan Agung menanam sebatang pohon cengkih yang diberi nama Kyai Duda. Tidak ada referensi dari mana bibit pohon cengkih tersebut didapat. Kemungkinan dari Maluku sebab pada masa itu pohon cengkih hanya tumbuh di sana. Kelak dari pohon inilah daun cengkih yang menjadi bahan baku wedang uwuh diperoleh.

Juga tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali membuat ramuan wedang uwuh. Yang jelas minuman ini mulai diperkenalkan secara luas oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Sebelum itu, wedang uwuh hanya khusus dihidangkan bagi tetamu Kraton yang datang melayat ke Imogiri. Itu pun hanya bisa didapatkan di Masjid Imogiri.

Kini, peziarah Imogiri dapat menikmati segar-hangatnya wedang uwuh di jejeran kios yang terletak di lahan parkir. Minum wedang uwuh ditemani jadah bakar sembari menikmati sepoi-sepoi angin, hmmmm, alangkah nikmatnya.

Pak Windarno mengklaim sebagai orang pertama yang berjualan wedang uwuh kemasan. Awalnya ia berjualan di timur makam Sri Sultan HB IX, tepatnya di sebelah luar gerbang timur makam. Mulai tahun 1997 beliau berjualan di bawah, istilahnya untuk merujuk tempat parkir.

Di lokasi tersebut kini dibangun area khusus bagi para pedagang. Pak Windarno mengambil dua blok, dengan ongkos sewa Rp200.000 setahun. Tapi beliau tak hanya berjualan wedang uwuh. Di belakang blok tempatnya berjualan terdapat bangunan tambahan yang difungsikan sebagai toko bahan pangan dan kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan penghasilan dari berjualan inilah beliau menafkahi istri dan kedua anaknya.

Bagi Pak Windarno berjualan wedang uwuh bukan hanya perkara mencari untung, tapi juga turut melestarikan warisan nenek moyang. Karena itu ia selalu berusaha untuk menjaga mutu serta keaslian rasa wedang racikannya.

Tak terasa sudah lebih satu jam saya dan Teddy berbincang-bincang dengan Pak Windarno beserta isteri. Usai menghabiskan wedang uwuh masing-masing, kami pamit untuk naik ke pemakaman. Sudah sampai sini rugi rasanya kalau tidak sekalian berziarah. Tujuan lain, Tedy ingin mengambil gambar abdi dalem.

Hari semakin sore.

Catatan: Posting ini merupakan pengembangan dari hasil liputan saya untuk surat kabar mingguan Malioboro Ekspres yang berjudul “Wedhang Uwuh Imogiri, Hidangan Nikmat nan Berkhasiat”, dimuat pada edisi 16, Februari 2009. Karenanya mungkin ada beberapa informasi yang tidak relevan lagi, misalnya keterangan harga dan usia.

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

6 Comments on Menyeruput Hangat dan Nikmatnya Wedang Uwuh Imogiri

  1. Walah, saya jadi ingin minum wedang ini sekarang, kalau di Magelang ada gak ya? soalnya istri orang magelang, jadi kan pas mudik bisa cari dekat.

    Suka

  2. Setiap kali ke Makam Inogiri, saya selalu sempatkan untuk mampir ke salah satu warung dan minum wedang uwuh. Segar sekali diminum langsung di sana.

    Suka

  3. Wedang Uwuh beneran bermanfaat 👍 …
    Aku pernah nyobain, besoknya setelah bangun tidur badan jadi terasa enteng ☺

    Suka

1 Trackback / Pingback

  1. 3 Recommendations by cheap and delicious food from Yogyakarta

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.