Highlight:

Tari Kapita di Rum Balibunga

Kesibukan di Pelabuhan Rum, Tidore

Kesibukan di sisi selatan dermaga Pelabuhan Rum, Tidore, dilihat dari sebelah Pasar Rum. Di kejauhan terlihat Pulau Ternate membiru kelam. FOTO: Eko Nurhuda

PELABUHAN Rum tengah sibuk pada pagi menjelang siang itu. Suara riuh-rendah manusia bercampur derum mesin tempel dan suara kecipak air laut menghantam pembatas beton. Sesekali terdengar seruan-seruan yang tidak dengan jelas saya tangkap kata-katanya.

Dermaga di Pelabuhan Rum ini kecil saja. Lantainya terbuat dari papan kayu yang dipasang tidak rapat, sehingga dari celah-celahnya kita dapat melihat air laut di bawah. Tiang-tiang besi sebesar pergelangan tangan berdiri di beberapa sudut, menyangga atap seng berbentuk limas.

Baca juga:
1. Perjalanan Panjang Menuju Tidore
2. Mega Mendung di Langit Ternate
3. To Ado Re, Tidore…

Kapal kayu bermesin yang tadi saya lihat dari speed boat bersiap merapat. Seorang lelaki di atas kapal melempar tambang ke lantai dermaga. Seorang lelaki lain yang berdiri di dekat tiang besi menyambut tali itu, menariknya perlahan-lahan seiring menepinya kapal ke sandaran dermaga.

Para penumpang keluar dari kapal. Beberapa penumpang lelaki yang sedari tadi berdiri di buritan kapal lebih dulu memanjat naik. Mereka harus melewati atap kapal untuk mencapai dermaga. Menyisir pinggiran atap dan setengah melompat ke lantai dermaga.

Dari sisi lain, penumpang berdatangan dan langsung berdiri di tepian dermaga. Sepertinya pelabuhan ini tak pernah sepi. Dari cerita Kak Muhammad Gathmir di grup WhatsApp, penyeberangan dari Rum ke Ternate dilayani hingga malam.

Sependek pengamatan singkat saya, penumpang yang berdatangan ke dalam pelabuhan terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mereka yang memilih menumpang speed boat. Kelompok ini akan terlebih dahulu membeli tiket di loket pada pintu masuk, lalu bergerombol di sisi utara dermaga. Di sana berjajar beberapa speed boat.

Penumpang yang ingin langsung naik menyerahkan tiket yang dibeli di loket pada penjaga di dekat speed boat. Kapasitas penumpang 20 orang, tapi agar tak terlalu lama menunggu seringkali asalkan sudah lebih dari 15-16 orang speed boat bakal diberangkatkan.

Penumpang motor kayu membayar sewa

Penumpang motor kayu membayar sewa kepada pemilik kapal setelah sampai di tujuan. Saat kami berkunjung ke sana, 8 April 2017, ongkos penyeberangan Ternate-Tidore dengan motor kayu sebesar Rp5.000/orang. FOTO: Eko Nurhuda

Kelompok kedua adalah calon penumpang motor kayu, demikian orang setempat menyebut kapal kayu dengan tiga mesin tempel tersebut. Mereka tak perlu membeli tiket, ongkos dibayarkan langsung ke pengemudi kapal begitu sampai di Pelabuhan Bastiong, Ternate.

Ongkos penyeberangan Tidore-Ternate dan sebaliknya dengan motor kayu saat itu sebesar Rp5.000,- per orang. Besar-kecil, tua-muda, ongkosnya sama saja. Pemilik kapal bakal menarik ongkos sebesar Rp25.000,- jika penumpang membawa sepeda motor.

Sayang, saya tidak sempat bertanya bagaimana hitungan ongkos untuk penumpang dengan bawaan banyak. Saya lihat ada sejumlah penumpang yang tiba dari Ternate membawa karung-karung besar. Ada pula yang membawa jerigen ukuran 50 liter.

Kapal-kapal kayu bermotor berjajar di sisi selatan dermaga. Biasanya yang memilih naik jenis ini mereka yang membawa sepeda motor, atau barang bawaannya banyak dan besar-besar. Sepeda motor hanya bisa diangkut menggunakan motor kayu, atau feri di pelabuhan sebelah, tidak mungkin dibawa dengan speed boat.

Sementara itu, kru speed boat yang kami tumpangi dari Ternate tadi tengah bahu-membahu mengeluarkan bagasi. Mereka menyusunnya begitu saja di tepi dermaga, dekat tiang besi, di sebelah seorang nenek penjual aneka penganan yang menjelepok di lantai dermaga.

Kami mendekat, mengecek apakah tas dan bawaan kami sudah keluar semua dari speed boat. Setelah dipastikan tak ada yang tertinggal, Ci Anita mendekati salah satu pengemudi dan bercakap-cakap. Agaknya mereka tengah bertransaksi.

Awak motor kayu menurunkan sepeda motor

Dua orang awak motor kayu menurunkan sepeda motor ke dermaga. Dibutuhkan kehati-hatian agar sepeda motor dapat diturunkan tanpa lecet sedikit pun. FOTO: Eko Nurhuda

Nasi Kuning Jumbo

Selepas membayar uang sewa speed boat, Ci Anita memimpin kami ke tengah-tengah dermaga. Tanpa menghiraukan barang bawaan yang tanpa penjagaan sama sekali, kami semua mengikuti langkahnya. Saya sempat agak bingung sebenarnya, sebab pintu keluar pelabuhan terletak di sisi lain.

Ci Ita seolah mengerti kebingungan tersebut. Begitu kami semua berkumpul di sisi selatan dermaga, ia berkata, “Kita sarapan dulu di sini, nanti baru lanjut jalan.”

Ah, waktunya makan ternyata. Baiklah, saya memang sudah agak lapar. Porsi sarapan di pesawat pagi tadi terlalu mungil untuk ukuran perut saya. Terlebih saya terakhir kali makan besar kemarin siang sewaktu singgah di Gringsing, Kendal. Sore hingga malam saya tidak berselera makan setelah memergoki pencopet di bus TransJogja ditambah penerbangan delay.

Saya langsung duduk di lantai dermaga. Begitu pula anggota rombongan lain. Kami duduk menggerombol di sudut barat laut dermaga, tepat menghadap Pulau Maitara. Tak ada kapal di sisi tersebut sehingga kami tidak mengganggu jalannya bongkar-muat.

Pandangan saya tak lepas dari kesibukan di sisi barat dermaga, di mana awak motor kayu yang tengah memindahkan sepeda motor dari atap kapal ke lantai dermaga, satu demi satu. Di bagian lain, di sisi selatan, pemandangan sebaliknya tersaji. Awak-awak kapal terlihat menaikkan sepeda motor yang dibawa calon penumpang ke atap.

Tiba-tiba saja ada dua plastik hitam besar di tengah-tengah kami. Entah dari mana datangnya dan siapa yang membawa, saya tidak tahu dan tidak melihatnya.

“Ayo, ayo, kita sarapan dulu,” Ci Ita kembali berseru, sembari mengambil satu bungkusan dari dalam plastik hitam.

Baca lanjutannya di sini…

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

6 Comments on Tari Kapita di Rum Balibunga

  1. Aku jadi pengen maem nasi kuning jumbonya lho.
    Galfok deh. Hahahha

    Suka

  2. Lengkap kap kap… Pengen banget ke Indonesia Timur tapi belum kesampaian, baca ini jadi semakin kuat keinginannya, hihi mupeng… Keren banget sampe disambut begitu… Baru tahu kalau buah pala bisa dijadikan manisan…

    Suka

    • Ini baru tulisan keempat dari entah berapa seri tulisan, Mbak. Hehehe. Saking banyaknya yang pengen diceritain dari perjalanan berkesan awal tahun lalu.

      Manisan pala seger-seger asem gimana gitu. Sayangnya yang buat masih angin-anginan, jadi nggak setiap hari ada dan kalaupun dia buat jumlahnya nggak terlalu banyak. Mungkin bagi orang sana manisan pala cuma jajanan bocah, sedangkan bagi orang asing seperti kami ini jajanan luar biasa. Ada cerita berusia setengah abad pula di balik buah tersebut, jadi semakin tertarik.

      Insya Allah nanti kesampaian keinginannya ke Indonesia Timur 🙂

      Suka

  3. detil sekali mas eko runut cerita, aku ada yang terlupa jadi inget pas baca.

    Suka

    • Hehehe, aku kebantu rekaman video. Untuk beberapa detil terkadang lupa-lupa ingat, biasanya kukonfirmasi dulu sama orangnya. Jadi, siap-siap ya bisa jadi nanti aku japri Koh Deddy buat nanya sesuatu yang aku lupa-lupa ingat. Hehehe

      Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.