Tari Kapita di Rum Balibunga

Ini dia menu sarapan kami, nasi kuning khas Tidore dengan tambahan lauk super komplit! Irisan besar ikan, sebutir utuh telur rebus, mi goreng, dan sambal kentang goreng kering. FOTO; Eko Nurhuda
Kami mengikuti gerakan Ci Ita. Satu-satu mengambil sebungkus nasi. Ternyata selain berbungkus-bungkus nasi juga ada plastik kecil transparan berisi kerupuk di dalam plastik hitam tersebut.
“Itu sendoknya ada di dalam plastik,” kembali Ci Ita berkata setelah beberapa anggota rombongan menanyakan sendok.
Saya meletakkan bungkusan nasi di lantai dermaga. Dengan hati-hati saya lepas karet gelang yang menjadi pengikat. Aroma harum segera tercium hidung. Sebongkah nasi kuning terlihat, merekah jadi dua bagian begitu bungkusnya saya buka.
Menemani nasi kuning terdapat sepotong daging ikan berbalut sambal, sebutir telur rebus utuh, sejumput mi goreng bercampur irisan kol, dan setangkup sambal kentang goreng kering yang diiris batang korek api. Ini menu sarapan yang sangat mewah!
“Wah, porsi kuli bangunan ini mah,” terdengar satu seruan yang langsung disambut tawa kami semua. Saya tak ingat siapa yang berkata demikian.
Memang tidak salah ungkapan itu. Porsi nasi kuning di hadapan kami begitu banyak. Menghabiskan nasinya saja bakal sangat kenyang sekali. Apalagi ditambah daging ikan dan telur rebus utuh itu. Belum lagi mie goreng, sambal kentang, dan kerupuk! Sungguh perpaduan aneka karbohidrat dan protein yang komplit.

Mari makan… Hap!
“Banyak banget! Gue kayanya nggak habis ini,” di sebelah saya Mpok Tati terlihat kebingungan menghadapi makanannya. Perempuan Betawi ini tubuhnya kecil ramping, saya yakin perut mungilnya tak akan cukup dijejali makanan sebanyak itu sekaligus.
Saya juga tidak yakin bisa menghabiskan menu sarapan pertama di Tidore ini. Tapi, pantang bagi saya membuang-buang makanan. Sebanyak apapun makanan yang sudah disuguhkan wajib dihabiskan, sekalipun saya musti menyantapnya dengan sangat perlahan-lahan, sedikit demi sedikit.
Menurut Ci Ita, nasi kuning adalah salah satu kuliner khas Tidore. Orang biasa menyantap menu ini saat sarapan pagi. Tapi tak dijelaskan apakah porsi sebanyak ini sudah jadi semacam standar. Kalau iya, saya jadi ingat cerita teman kos di Jogja yang membuka usaha warung makan. Sebut saja namanya Ina.
“Wong wetan ki lek mangan akeh-akeh banget,” kata Mbak Ina suatu petang ketika saya tengah makan di warungnya.
Wong wetan yang dimaksud teman saya ini adalah orang-orang Papua. Karena Papua dulu masuk wilayah Kesultanan Tidore, saya rasa frasa “wong wetan” ini juga berlaku untuk orang Tidore atau Maluku pada umumnya. Mbak Ina sendiri sempat lama sekali tinggal di Sorong, ikut dinas ayahnya yang seorang pegawai (waktu itu) Departemen Agama.
Mbak Ina melanjutkan, satu porsi makan orang Papua bisa untuk dua orang Jawa. Saya segera menimpali, “Itu kalau orang jawanya bukan saya.” Kami lantas terkekeh.

Bayangkanlah, kami sarapan nasi kuning nan lezat dengan suguhan pemandangan seperti ini. Pulau Maitara nan anggun, di bawah naungan langit biru cerah. Sungguh luar biasa! FOTO: Eko Nurhuda
Saya tak kesulitan menghabiskan separuh porsi nasi kuning di hadapan saya pagi itu. Telur rebus juga sudah tandas tanpa sisa. Terlebih cita rasanya begitu sedap. Berbeda sekali dengan nasi kuning yang biasa saya temui di Jawa. Lebih-lebih sambal ikannya itu, sungguh berhasil membuat saya mencuilnya tanpa henti.
Tapi begitu perut ini terasa penuh, saya mulai mengurangi tempo makan. Saya musti menelan sendok demi sendok berikutnya secara sangat perlahan-lahan. Saya tak ingin menyia-nyiakan makanan lezat ini mubazir begitu saja. Di lain pihak, perut saya sudah kenyang.
Akhirnya, sebungkus nasi kuning jumbo nan lezat itu pun habis tanpa sisa. Saya pandang teman-teman lain, mengamati nasi kuning di hadapan mereka. Terutama para wanita, rata-rata tak sanggup menghabiskan porsi sarapan paginya.
Yang tak disangka-sangka, Mas Rifqy yang posturnya lebih kecil dari kami semua malah sukses menghabiskan nasi kuningnya. Saat kami olok-olok, ia berkilah pendaki gunung memang harus makan banyak agar kuat naik sampai puncak.
Kami dibuat tambah terbelalak ketika ia masih kuat menghabiskan separuh porsi lagi. Mbak Zulfa yang menyerah kekenyangan “menghibahkan” sebagian jatahnya untuk Mas Rifqy. Sambil tersenyum-senyum khas pemuda kelahiran Pacitan itu melanjutkan sarapan.
Aku jadi pengen maem nasi kuning jumbonya lho.
Galfok deh. Hahahha
SukaSuka
Ini kalo istilah kita “porsi kuli”, Mbak. Gede banget porsinya π
SukaSuka
Lengkap kap kap… Pengen banget ke Indonesia Timur tapi belum kesampaian, baca ini jadi semakin kuat keinginannya, hihi mupeng… Keren banget sampe disambut begitu… Baru tahu kalau buah pala bisa dijadikan manisan…
SukaSuka
Ini baru tulisan keempat dari entah berapa seri tulisan, Mbak. Hehehe. Saking banyaknya yang pengen diceritain dari perjalanan berkesan awal tahun lalu.
Manisan pala seger-seger asem gimana gitu. Sayangnya yang buat masih angin-anginan, jadi nggak setiap hari ada dan kalaupun dia buat jumlahnya nggak terlalu banyak. Mungkin bagi orang sana manisan pala cuma jajanan bocah, sedangkan bagi orang asing seperti kami ini jajanan luar biasa. Ada cerita berusia setengah abad pula di balik buah tersebut, jadi semakin tertarik.
Insya Allah nanti kesampaian keinginannya ke Indonesia Timur π
SukaSuka
detil sekali mas eko runut cerita, aku ada yang terlupa jadi inget pas baca.
SukaSuka
Hehehe, aku kebantu rekaman video. Untuk beberapa detil terkadang lupa-lupa ingat, biasanya kukonfirmasi dulu sama orangnya. Jadi, siap-siap ya bisa jadi nanti aku japri Koh Deddy buat nanya sesuatu yang aku lupa-lupa ingat. Hehehe
SukaSuka