Highlight:

To ado re, Tidore…

Debur air laut di belakang speed boat

Jalur panjang tercipta akibat putaran baling-baling dua mesin tempel yang menggerakkan laju speed boat. Di kejauhan, awan kelabu menaungi Ternate. FOTO: Eko Nurhuda

MATAHARI sepenggalah. Masih terhitung pagi, namun sinarnya sudah terik sekali saya rasakan. Saya ambil beanie dari dalam tas kecil. Dengan kedua tangan saya pasang benda berwarna hitam-ungu tersebut di kepala yang hanya ditutupi rambut super pendek.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate kian jauh dari pandangan.

Dua mesin tempel speed boat di sebelah saya meraung-raung memekakkan telinga. Tepat di bawahnya air laut seperti diaduk, bercipratan ke mana-mana. Segaris gelombang tercipta, menjadi semacam jejak sepanjang jalur yang kami lalui.

Angin berhembus semilir. Aroma khas laut menguar. Kemana mata memandang yang terlihat hanya biru dan biru. Air laut, Pulau Tidore di hadapan dengan Gunung Marijang nan menjulang, langit cerah di atas, juga cat bagian dalam speed boat yang kami tumpangi, semua berwarna biru. Sungguh sebuah kebetulan yang menyejukkan mata.

Baca tulisan sebelumnya:
1. Perjalanan Panjang Menuju Tidore
2. Mega Mendung di Langit Ternate

Speed boat kuning yang ditumpangi rombongan perempuan terlihat mengambil jalur berbeda. Jauh di sisi kiri speed boat kami, posisinya lebih ke belakang. Samar-samar saya lihat Mbak Rien dan Mbak Zulfa selalu siaga dengan kamera masing-masing. Satu memegang Canon 70D, satu lagi Nikon D3300.

Tadi saya sempat membayangkan dua speed boat ini bakal iring-iringan depan-belakang, atau bersisian. Tapi rupanya tidak begitu. Mungkin ini ada kaitannya dengan gelombang yang ditimbulkan pusaran baling-baling mesin tempel. Entahlah.

Saya duduk menempel dinding pembatas bagian belakang speed boat, sendirian di belakang. Kak Gathmir, Koh Deddy, dan Yayan duduk berpencar di dalam. Masing-masing sibuk dengan kamera di tangan, dua mirrorless dan satu DSLR.

Dua lelaki lain, Mas Dwi dan Mas Rifqy, sudah sejak tadi-tadi stand by di atap. Mereka naik demi mendapat pemandangan lebih luas dari atas. Sebelumnya Koh Deddy juga ikut memanjat, tapi kemudian turun lagi sebelum speed boat berjalan.

Selfie di atas speed boat

Perjalanan laut Ternate-Tidore merupakan pengalaman pertama saya menumpang speed boat. So, wajib selfie dong! FOTO: Eko Nurhuda

Sebenarnya ada keinginan untuk ikut naik ke atap, tapi tadi speed boat sudah lebih dulu berjalan sebelum saya sampai ke atas. Saya pun mengurungkan niat. Bukan apa-apa. Saya cuma takut terpeleset dan nyemplung ke laut, sementara speed boat terus melaju meninggalkan saya. Hehehe.

Kekhawatiran ini lebih disebabkan oleh belum terbiasanya saya dengan speed boat. Seumur-umur belum pernah saya naik kendaraan satu ini. Kalau menyeberang laut beda cerita, sudah seringkali saya lakukan. Terlebih sewaktu masih sering naik bus Jogja-Jambi pergi-pulang.

Menyeberangi Selat Sunda menjadi rekor penyeberangan terlama saya, kira-kira dua jam. Jelas lebih jauh dari waktu tempuh Ternate-Tidore kali ini. Hanya saja ketika itu saya naik kapal feri. Dengan ukurannya yang begitu besar, saya nyaris tidak merasakan gelombang saat menaiki feri-feri Merak-Bakauheni.

Perjalanan laut jarak pendek seperti Ternate-Tidore ini pernah saya tempuh sewaktu menyeberang dari Pantai Mutun ke Pulau Tangkil, Agustus 2016 lalu. Kedua obyek wisata tersebut ada di Kabupaten Pesawaran, Lampung. Sama seperti kita bisa melihat Tidore dari ternate, Pulau Tangkil juga terlihat jelas sekali dari Pantai Mutun.

Ketika itu saya ngetrip bersama dua blogger, seorang selebriti Instagram, dan sejumlah wartawan media ibukota, atas sponsor Sunpride. Kami menumpang perahu. Sebuah perahu kayu dengan poros panjang pada kedua sisinya. Seingat saya di buku pelajaran SD disebut perahu bercadik, sedangkan orang Lampung menamainya ketinting.

Oktober 2017, saya dan keluarga menaiki perahu serupa ketika mengejar lumba-lumba di lautan lepas pantai Lovina, Bali. Yang membedakan perahunya terbuat dari bahan fiber, bukan kayu. Tapi cadik di kanan-kiri sama-sama berbahan kayu. Orang Bali menyebut perahu tradisional ini sebagai jukung.

Jadi, menyeberang dari Ternate ke Tidore pagi itu merupakan pengalaman pertama saya naik speed boat. Dan saya sangat menikmati sekali perjalanan ini.

Pulau Maitara

Pulau Maitara. Semakin mendekati Tidore, pulau mungil ini semakin terlihat esar dan hijau. FOTO: Eko Nurhuda

Terpesona Maitara

Hanya beberapa menit berselang speed boat sudah menempuh separuh perjalanan. Pulau Ternate semakin mengecil. Bangunan-bangunan di sekitar pelabuhan tampak sebagai kotak-kotak teramat kecil. Awan kelabu menggantung di atas kota, menutupi puncak Gunung Gamalama dari pandangan.

Berbeda dengan langit di atas kami yang cerah ceria. Memang ada beberapa gumpalan awan menggantung, tapi bukan mendung dan tak sampai menghalangi sinar matahari. Terik. Bertambah terik karena air laut seolah cermin raksasa yang memantulkan sinar tersebut.

Tiba-tiba pengemudi memperlambat laju speed boat. Lalu dengan sekali tarik mesin tempel diangkat sedemikian rupa sehingga baling-balingnya berada di atas permukaan air laut. Riak yang tadi tercipta di bawah kedua mesin tersebut menghilang.

Kami berhenti di tengah-tengah laut, terombang-ambing gelombang Laut Maluku. Awalnya saya pikir ada sampah tersangkut di baling-baling. Rupanya tidak. Pengemudi tampak santai berdiri memegangi mesin tempel agar tetap di atas air. Setengah bingung saya pun memandang sekeliling.

“Kenapa berhenti, Bang?” tanya saya pada pengemudi speed boat.

Saya tak mendengar jelas jawaban si pengemudi. Tapi sebelah tangannya menunjuk ke sebelah, ke arah speed boat kuning yang ditumpangi rombongan perempuan. Rupanya mereka juga berhenti. Seluruh penumpangnya berada di luar.

Nak moto Maitara,” Kak Gathmir memberi penjelasan dalam bahasa Palembang.

“Ooo…” saya menanggapi sembari mengangguk-angguk.

Speed boat kuning

Speed boat kuning yang ditumpangi rombongan ibu-ibu berhenti untuk mengabadikan Pulau Maitara nan anggun. FOTO: Eko Nurhuda

Mbak Zulfa, Mbak Rien, dan Yuk Annie memang saya lihat tengah duduk memegang kamera di atas atap speed boat. Ketiganya bergantian membidik ke arah Ternate, tapi kemudian lebih lama menghadap ke Pulau Maitara. Seorang kru kapal menemani mereka bertiga.

Perangkat DSLR di tangan ketiganya ditempelkan ke wajah, lalu diturunkan. Kepala mereka menunduk melihat bagian belakang kamera beberapa jurus, lalu kamera ditempelkan lagi ke wajah, tangan kiri memutar-mutar lensa, membidik. Begitu seterusnya.

Ci Ita dan Mbak Ayu berdiri di buritan, menyaksikan tiga ibu-ibu di atap. Si kecil Fia dan Mpok Tati tidak terlihat dalam pandangan saya. Mungkin mereka lebih memilih duduk tenang di dalam.

Maitara. Siapa tak kenal pulau satu ini. Foto Pulau Maitara dengan latar belakang Pulau Tidore bersama Kie Marijang nan menjulang adalah penghias bagian belakang (reverse) uang kertas pecahan Rp1.000 tahun emisi 2000.

Bagian muka (obverse) uang kertas ini menampilkan gambar Kapitan Pattimura. Karenanya di kalangan numismatis uang kertas Rp1000 emisi 2000 lebih dikenal sebagai uang Pattimura.

Bank Indonesia berhenti mencetak uang Pattimura pada 2014. Praktis, setidaknya selama 14 tahun gambar Pulau Maitara berlatar Tidore beredar di seluruh Indonesia. Nyaris setiap orang di negara ini tahu Maitara, juga Tidore, sekalipun belum pernah berkunjung ke Maluku.

Hari itu, kami menyaksikan Pulau Maitara secara langsung untuk pertama kali.

Baca lanjutannya di sini…

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

9 Comments on To ado re, Tidore…

  1. Ya Allah, kapan ya aku bisa nyebrang keluar Pulau Jawa kayak begini…apalagi sampai ke Tidore kok kayaknya belum terbayangkan yaa. Apalagi baca2 tulisan Mas Eko tentang Tidore rasanya jadi semakin pingin ke sana juga

    Suka

  2. serunya jalan-jalan ke Ternate-Tidore, laut oh laut….

    Suka

  3. momen2 seperti ini pasti bakalan bikin kangen apalagi bareng blogger2 lain, persis pas aku berkesempatan ke belitong, nggak hanya terpukau dengan destinasinya tapi membekas juga bersenda gurau dengan blogger lain hmmm ngangenin. btw bung Eko mukanya kebakar ya? panas banget ya?

    Suka

  4. Bersyukur banget bisa menginjakkan kaki di tanah Tidore bisa bertemu Sultan dan teman-teman kereem terutama Mas Eko gak kebayang gimana repotnya merekam video. Semangattt terus mas

    Suka

  5. Komplet banget mas Eko. Info soal cengkihnya ketjeh! Sampe ada videonya segala.

    Btw, walau tinggal di Palembang, aku juga jarang naik spit/speedboat kayak gitu. Paling banter naik getek/ketek. Lebih suka yang lambat biar bisa nikmati suasana hehehe

    Suka

1 Trackback / Pingback

  1. Tari Kapita di Rum Balibunga – bungeko.com

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.