Highlight:

Mega mendung di langit Ternate

Kota Ternate tersaput mendung

LANGIT Kota Ternate tersaput mendung pagi itu. Arak-arakan awan kelabu bahkan menyelimuti puncak Gunung Gamalama. Andai hari cerah, saya dapat dengan jelas melihat gagahnya gunung ini dari apron Bandara Sultan Babullah. Apa boleh buat.

Angin laut berhembus semilir. Windsock yang terpancang di sebuah tiang nun jauh tampak berkibar-kibar pelan. Toh, udara terasa panas sekali bagi saya yang hanya tidur beberapa jam semalam. Dan tidak pernah benar-benar nyenyak.

Gabungan penat dan kantuk yang tak tuntas dilepas membuat suhu tubuh naik. Kaos merah yang saya kenakan sejak berangkat dari Pemalang kemarin pagi mulai basah oleh bintik-bintik keringat. Aromanya jangan ditanya lagi. 😀

Baca juga: Perjalanan Panjang ke Tidore

Puas mengambil foto, saya bersama Mbak Zulfa “Emak Mbolang” dan Mas Rifqy Faiza Rahman bergerak menuju terminal kedatangan. Rupanya kami penumpang terakhir yang tersisa di pelataran bandara.

Saya membuntuti langkah dua travel blogger tersebut sembari menyempatkan nge-vlog. Lebih tepatnya saya tertinggal di belakang. Sebab, demi mendapat rekaman dari berbagai angle saya bolak-balik mengatur kamera dan mengulang-ulang langkah.

Saat naik tangga dari apron ke terminal, misalnya. Sudah sampai di atas saya turun lagi, memindah kamera, lalu naik lagi, dan turun lagi mengambil kamera yang masih di bawah.

Begitu pula saat memasuki koridor yang ada di ujung tangga. Agar kamera menangkap langkah saya dari berbagai sisi, saya bolak-balik memposisikan kamera di tempat terbaik dan berjalan melintasinya. Lalu balik lagi untuk mengambil kamera tersebut. Begitu berulang kali.

Namanya juga usaha. 😀


Canon Powershot SX610 HS di tangan baru berhenti merekam saat saya melewati boarding lounge. Hanya dinding kaca yang memisahkan koridor panjang menuju terminal kedatangan dengan ruang tunggu. Saya dapat dengan jelas melihat orang-orang di ruangan sebelah yang duduk menunggu jadwal penerbangan. Begitu pula sebaliknya.

Harus diakui saya masih belum percaya diri nge-vlog di tengah keramaian. Malu dan risih rasanya mengetahui orang-orang memperhatikan saya berbicara sendiri di depan kamera. Hingga tiba di tempat pengambilan bagasi, kamera terus tersimpan dalam tas hitam kecil yang saya bawa.

Baggage claim area di Bandara Sultan Babullah adalah sebuah ruang terbuka yang tidak terlalu luas. Atapnya tinggi sekali, tanpa langit-langit, sehingga memberi kesan lega. Di samping pintu keluar terdapat konter karantina. Sementara agak jauh di ujung ruangan terdapat toilet.

Hanya ada dua baggage conveyor dalam ruangan ini, berjajar dengan posisi menjorok ke arah pintu keluar menuju lobi bandara. Di bagian “depan” tiap-tiap conveyor terdapat tiang besi berukuran sekitar 150 cm dengan papan nama kecil di ujungnya.

Mbak Zulfa tampak tengah berdiri di antara kerumunan penumpang bercampur porter bandara. Mereka mengelilingi baggage conveyor dekat pintu masuk kedatangan yang baru saja saya lewati. Conveyor belt berputar perlahan dengan dua-tiga tas di atasnya. Orang-orang sama memandangi benda bergerak itu.

Bandara Sultan Babullah Ternate

Bandara Sultan Babullah Ternate. Tampak arakan awan kelabu menutupi Gunung Gamalama yang berada tepat di belakang gedung terminal. FOTO: Eko Nurhuda

Saya lihat pandangan mata Mbak Zulfa beralih dari atas conveyor belt menuju ke lubang di ujung rangkaian ban berjalan tersebut. Sepertinya bagasinya belum keluar.

Saya sendiri hanya membawa tas punggung hitam yang selalu turut naik ke kabin. Tidak ada bagasi. Jadi saya tidak perlu ikut berdesak-desakan di sebelah baggage conveyor. Lain halnya Mbak Zulfa dan Mas Rifqy yang menitipkan tas-tas mereka ke bagasi sejak penerbangan dari Surabaya.

Tasku guuuedi e, Mas. Wis ta lebokno bagasi aelah.” Kurang-lebih begitu jawaban Mas Rifqy sewaktu saya tanya bawaan mereka di ruang tunggu Bandara Sultan Hasanuddin, malam tadi.

Tapi, di mana Mas Rifqy? Pandangan saya berkeliling. Akhirnya saya mendapati pemuda berbadan jangkung itu berdiri di sisi lain baggage conveyor, agak jauh dari kerumunan penumpang. Di sebelahnya sebuah tas gunung besar berwarna merah-hitam tersandar di dinding. Matanya tajam meneliti tas demi tas yang baru keluar dari mulut conveyor.

Saya menghampirinya.

“Nunggu tasnya Mbak Zulfa,” ujarnya begitu saya berdiri di sebelahnya. Sesekali ia mengalihkan pandangan ke arah Mbak Zulfa di sisi seberang. Ketika dilihatnya wanita tersebut masih berdiri dengan tangan kosong, pandangannya kembali tertuju pada tas-tas yang bergeletakan di atas conveyor belt.

Baca lanjutannya di sini…

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

10 Comments on Mega mendung di langit Ternate

  1. Vlognya keren, keindahan Ternate tersaji dalam video dan kata-kata.

    Ternyata, rahasia perjalaman nyaman itu diawali dengan membenarkan celana untuk duduk pertama kali diangkutan pertama hehehe.

    Suka

  2. perjalanan yang panjang, semoga saja bisa terulang lagi buat jalan-jalan bareng.

    Suka

  3. Buahahaha, aku gak inget pakai kata, “sewenang-wenang” itu mas hahahaha, tapi emang, aku sendiri gak nyangka kalo di Ternate ada emol. “Ade alpa aja aye udah girang banget, bang!” *lol *ikut gaya mpok Tati kalo ngomong.

    Ngebenerin celana sebelum naik mobil travel itu epik muahaha, aku sampe ngakak ketawa. Dan, I really enjoy liatnya. Jadi tahu perjalanan mas Eko dari Pemalang sampe ke Yogya. Melewati berbagai macam kota, termasuk kota Benartujuh itu LOL. Cuma jujur aku agak terganggu dengan video itu pas ada yang ngomong, “aku paling cantik sendiri.” *dilempar mutton biryani sama belio.

    Ditunggu sambungannya mas. Aku suka tulisan panjang kayak gini, detil banget! 🙂

    Suka

2 Trackbacks / Pingbacks

  1. To Ado Re, Tidore… – bungeko.com
  2. Tari Kapita di Rum Balibunga – bungeko.com

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.