Highlight:

Pengalaman seru naik bus Sibualbuali nan legendaris

HARI masih pagi. Tapi, karena musti memesan tiket bus Sibualbuali ke Jambi, saya sudah mandi dan berpakaian rapi jali. Juga sudah menyantap sarapan yang disiapkan istri teman kepada siapa saya menumpang tinggal selama 1,5 bulan di Padangsidimpuan.

Suasana pagi itu sama seperti biasanya. Angin berhembus agak kencang–khas Padangsidimpuan, langit cerah kebiruan, kemudian di kejauhan nampak Gunung Lubuk Raya berdiri gagah. Tak secuil awan pun menutupi gunung stratovolcano setinggi 1.862 mdpl tersebut. Di sisi lain Bukit Simarsayang ikut mencuri perhatian.

Usaha door smeer, istilah untuk menyebut cuci kendaraan di Sumatera Utara, yang terletak tepat di sebelah rumah kontrakan teman saya masih belum buka. Demikian pula dealer besar Putra Surya Jaya di sebelah lainnya. Namun angkot merah dengan musik berdentum-dentum sudah ramai lalu-lalang dari dan menuju kota.

Oya, saya merantau ke Padangsidimpuan atas undangan seorang kawan SMA. Ia memberi tawaran yang terlalu sayang dilewatkan. Meski kemudian kami hanya bisa berkongsi selama 1,5 bulan dari rencana awal satu semester. Hari itu saya sudah bebas tugas. Hari yang kemudian jadi terakhir kali saya melihat matahari tenggelam di Padangsidimpuan.

Saya sudah menetap di Pemalang ketika itu. Damar, anak pertama saya, berusia 5 bulan saat saya tinggal dan istri tengah hamil muda. Jadi, ke Pemalang-lah saya merencanakan pulang. Tapi, sebelum itu saya ingin singgah sebentar di rumah orang tua di Sungai Bahar, Jambi.

“Naik Sibualbuali saja, ambil jurusan Jambi. Nanti bisa turun di Muara Bulian,” saran kawan saya hari sebelumnya, sewaktu kami berbincang-bincang santai di teras rumah.

Sungai Bahar memang tak jauh dari Muara Bulian. Kira-kira 30 menit mengendarai sepeda motor. Kota yang sangat saya kenal sekali karena di sinilah saya menyelesaikan SMA, dan sempat satu kelas dan nge-band bersama kawan saya tadi.

“Loketnya nggak jauh dari sini kok,” lanjut kawan saya. “Pas di turunan sana itu,” tunjuknya ke arah jalan yang menurun.

kantor PDAM Tirta Ayumi Padangsidimpuan

Di rumah inilah saya menumpang pada teman SMA yang mengundang saya ke Padangsidimpuan, Oktober-November 2010. Melongok ke Google Maps, ternyata rumah itu kini jadi kantor PDAM Tirta Ayumi. Tak banyak perubahan, kecuali bangunan papan di halaman dan pagar yang kini dicat biru.

Loket Kayu

Rumah kontrakan teman saya terletak tepat di pinggir jalan lintas tengah Sumatera, di kawasan Batunadua Jae. Bersisian dengan dealer besar Putra Surya Jaya yang sangat terkenal di Padangsidimpuan. Masa itu jalan tersebut ikut dinamai Jl. SM Raja atau Jl. Sisingamangaraja.

Kini, saya lihat di Google Maps namanya jadi Jl. Raja Inal Siregar. Ada pula yang menyebutnya Jl. Raya Sipirok. Jalan ini memang jalur lintas menuju berbagai kota penting di Sumatera Utara. Dari Padangsidimpuan, jalan ini dapat mengantar kita menuju Sipirok, Sarulla, Tarutung, hingga ke Siborongborong, sebelum kemudian jalan terbelah dua mengitari Danau Toba.

Dari Google Maps juga saya tahu rumah tersebut kini jadi kantor PDAM Tirta Ayumi. Bangunan papan beratap seng di bagian kanan halaman masih ada. Dulu tempat ini digunakan sebagai gudang dan jemuran pakaian oleh teman saya.

Karena terletak di pinggir jalan, saya tak perlu jauh-jauh menyetop angkot. Cukup berdiri di pagar, begitu angkot bernomor 4 terlihat tinggal acungkan tangan saja. Dengan cara itu saya menuju loket bus Sibualbuali yang sebenarnya berjarak tak terlalu jauh.

Sampai di tujuan, saya dibuat mengernyitkan kening. Dalam bayangan saya loket Sibualbuali berupa gedung modern, atau setidaknya ruko/rukan. Yang saya lihat hari itu sebuah bangunan kayu bertingkat dua dengan dinding papan dan atap seng. Begitu sederhana.

Selain loket, ternyata di situ pula pool Sibualbuali. Seingat saya ketika itu ada setidaknya dua bus merah-hijau terparkir di sebelah sebuah bangunan kayu tersebut. Beberapa lelaki, sebagian bertelanjang dada, tampak duduk-duduk di bangku panjang.

Setelah menyapu keseluruhan tempat tersebut secara sekilas, saya ketahui loket terletak di lantai bawah bangunan kayu. Di sebuah ruangan agak besar yang hanya berisi bangku-bangku panjang, yang keesokan harinya saya ketahui sebagai ruang tunggu calon penumpang.

bus Sibualbuali

Bus Sibualbuali dengan nomor lambung 59. Seperti inilah bus yang saya tumpangi ketika menempuh perjalanan Padangsidimpuan-Muara Bulian, tujuh tahun lalu. Ketika itu saya menumpang bus Sibualbuali nomor lambung 89. (FOTO: Google+)

Melihat kedatangan saya, seorang perempuan muda bergegas masuk ke ruangan tersebut. Duduk di belakang sebuah meja kayu yang ada di balik kaca loket. Di atas meja sederhana itu tergeletak pena dan sebundel kertas. Tiket bus.

Dari bolongan di kaca loket saya menatap perempuan tersebut. “Mau ke Muara Bulian untuk besok ada?” tanya saya.

“Ada,” jawabnya cepat. Tangannya meraih pena dan membuka bundelan kertas. Lalu balik bertanya, “Berapa orang?”

“Satu saja,” sahut saya. “Berapa?”

“Seratus enam puluh ribu.”

Saya agak kaget mendengar angka tersebut keluar dari bibir perempuan penjaga loket. Waktu itu saya belum tahu sejauh apa jarak Padangsidimpuan-Muara Bulian, juga seperti apa medan yang bakal dilalui. Melirik ke arah jejeran bus di tempat parkir, jelas bukan bus eksekutif yang bakal saya tumpangi.

Terlalu mahal? Entahlah, saya tak punya perbandingan. Terakhir kali saya naik bus sebelum itu adalah ketika berangkat ke Padangsidimpuan. Saya menumpang ALS kelas eksekutif dari Pemalang, dengan jarak tempuh yang bisa jadi 2-3 kali lipatnya. Jelas tidak bisa dijadikan patokan.

“Bagaimana?” si perempuan muda bertanya membuyarkan keheningan saya.

“Oke!” Saya tak punya pilihan lain. “Tapi saya DP dulu ya, ini enam puluh ribu,” sambung saya sembari mengeluarkan uang dari dompet. Saya tak ingat pecahan berapa saja yang saya ulurkan waktu itu.

Perempuan muda itu tak menjawab. Ia meneruskan menulis. Tak lama berselang ia sobek lembaran tiket dari bundelan. Dari bolongan di kaca loket diserahkannya tiket tersebut ke saya.

“Besok berangkat jam dua siang, jadi sebelum itu sudah harus di sini ya?” ujarnya ketika saya menerima tiket darinya.

Saya mengangguk.

tiket bus Sibualbuali

Ini dia tiket bus Sibualbuali yang saya beli di loket Padangsidimpuan yang (ketika itu) terletak di Jl. SM Raja Batunadua. Klasik!

Sendirian sampai Panyabungan

Keesokan harinya, 16 November 2010, selepas Dzuhur saya sudah berada di loket Sibualbuali. Seperti kemarin, tempat tersebut sepi-sepi saja. Hanya ada satu bus terlihat di bagian depan bangunan loket, agak mepet ke jalan. Tiga lelaki terlihat berdiri berpencar di sekitar bus.

Saya menuju ke loket untuk melunasi pembayaran. Penjaga loket masih perempuan muda kemarin. Saya serahkan uang Rp100.000 padanya.

“Tunggu dulu di sini ya,” katanya sembari menerima uang dari tangan saya.

Saya pun masuk ke ruang tunggu, duduk di sebuah bangku panjang. Kesempatan ini saya pergunakan untuk merapikan bawaan. Tadi, sebelum saya mencegat angkot, tiga gadis peserta didik lembaga milik teman saya datang. Mereka memberi saya buah tangan: beberapa kilogram salak Sidimpuan dan sebuah sarung.

Kira-kira satu jam menunggu, tak ada tanda-tanda bus akan diberangkatkan. Di tiket tertulis jam keberangkatan 14.00 WIB, namun hingga pukul setengah tiga saya masih sendirian di ruang tunggu.

Setengah jam lagi berlalu, dan saya masih juga sendirian. Pikiran tidak enak mulai merayapi kepala. “Jangan-jangan keberangkatan dibatalkan karena penumpangnya cuma satu,” batin saya. Tentu saja saya tidak mau hal itu terjadi. Pasalnya, besok (17 November 2010) Idul Adha. Saya musti ada di Jambi bersama orang tua, sekalipun mungkin tak sempat melaksanakan salat Ied.

Tengah berandai-andai begitu si perempuan muda penjaga loket masuk ke ruang tunggu.

“Berangkat kita, Bang,” katanya. Kalimat pendek yang sudah saya tunggu-tunggu sejak tadi.

Bergegas saya bangkit. Saya raih tas yang tergeletak di lantai, lalu berjalan menuju ke bus yang mesinnya sudah dihidupkan. Saya naik lewat pintu belakang, satu-satunya akses penumpang ke dalam bus. Seorang kru bus yang berdiri di sebelah pintu bus tersenyum ketika saya naik.

interior bus Sibualbuali

Seperti ini penampakan interior bus Sibualbuali yang saya naiki sewaktu menempuh perjalanan Padangsidimpuan-Muara Bulian, 16 November 2010. Persis sekali! Hanya saja bus yang saya naiki plastik pembungkus tiangnya sudah terkelupas. (FOTO: sibualbuali.blogspot.co.id/)

“Saya sendirian ini?” tanya saya, antara penasaran dan takjub.

“Iya, Bang. Tapi nanti ada yang naik di jalan,” jawab lelaki tersebut. Saya pikir bus akan mengambil penumpang lagi di beberapa kantor perwakilan sepanjang perjalanan. Ternyata tidak begitu.

Di tiket, kursi untuk saya bernomor tujuh. Tapi di dalam rupanya kursinya tak satupun yang bernomor. Kebingungan, saya bertanya pada kru bus yang tadi saya tanyai. “Duduk di mana ini?”

“Mana-mana ajalah, Bang,” sahutnya sambil menutup pintu bus dan duduk di kursi paling belakang.

Okelah. Satu bus ini punya saya semua rupanya. Komposisi kursinya 1-2. Di sisi jendela sebelah kiri kursinya satu-satu, sedangkan di sisi jendela sebelah kanan dua-dua. Saya pilih yang kursi satu, tak jauh dari pintu belakang. Saya ingat betul, di belakang kursi saya ada tiang besi seperti tampak pada foto di atas.

Tak lama berselang bus pun melaju, meninggalkan loket. Dari cerita kawan saya, bus akan melalui rute Padangsidimpuan-Panyabungan-Kotanopan terus ke Bukittingi dan “turun” ke selatan hingga ke Muaro Bungo, Muara Bulian, berakhir di Jambi.

Kelak, beberapa tahun setelahnya saya baru tahu kalau rute Padangsidimpuan-Bukittinggi sudah dilayani bus Sibualbuali sejak jaman Hindia Belanda. Sejak Bukittinggi masih bernama Fort de Kock. Ini rute bersejarah!

Perhentian pertama hari itu di Terminal Padangsidimpuan. Bus sempat berhenti beberapa saat, seluruh kru turun meninggalkan bus. Agaknya mereka berharap ada tambahan penumpang. Namun, nihil. Diiringi hujan yang mulai turun bus kembali berjalan ke arah Kabupaten Mandailing Natal.

Saya tak ingat di mana persisnya, namun baru melewati Panyabungan ada penumpang baru. Seingat saya seorang bapak bersama gadis remaja berjilbab. Setelah itu ada lagi sekitar 2-3 penumpang baru yang menemani kami hingga Kotanopan.

Pagi yang Indah Sekali

Hujan makin deras. Hari telah berganti malam. Hawa dingin ditambah lelah membuat saya terkantuk-kantuk. Seorang lagi penumpang naik di tengah derasnya hujan. Lalu setelah itu saya tak ingat apa-apa lagi. Tertidur pulas. Suara hujan menerpa atap bus menjelma sebagai lagu pengantar tidur di telinga saya.

Saya baru terbangun saat bus berhenti di sebuah rumah makan di dekat perbatasan Mandailing Natal (Sumut) – Pasaman (Sumbar). Mungkin Pasar Rao, tapi entahlah saya tak begitu ingat. Yang jelas saat itu masih tengah malam. Sebelum melanjutkan perjalanan, bus mendapat tambahan dua penumpang limpahan dari seorang pengemudi travel jurusan Palembang.

Masih diliputi kantuk, saya pun kembali tertidur. Kali ini pulas sampai menjelang pagi. Saya baru terbangun ketika lamat-lamat terdengar kernet bus berseru-seru beberapa kali, ditimpali suara-suara bergumam dari penumpang lain. Ketika kelopak mata saya buka, kontan saja saya menarik napas.

foto selfie di Padangsidimpuan

Ini satu-satunya foto saya selama di Padangsidimpuan. Niatnya sih selfie dengan latar belakang Gunung Lubuk Raya. Lokasi di halaman rumah kontrakan yang kini jadi kantor PDAM Tirta Ayumi.

Rupanya bus tengah melewati jalur turunan nan sempit berkelok. Di sisi kiri, di sebelah mana saya duduk, tampak jurang dalam menganga lebar. Bus berjalan pelan-pelan. Sesekali kernet bus di belakang meneriaki sopir dalam, tebakan saya, bahasa Angkola.

Meski jalurnya menuntut kehati-hatian ekstra tinggi, pemandangan di sepanjang jalur tersebut sangat indah. Di tengah-tengah selubung kabut, tampak jajaran pepohonan hijau menjulang. Matahari terlihat mengintip dari kejauhan, hanya menyiratkan segaris sinar merah kekuningan.

Begitu kabut menghilang, keindahan alami hutan tropis khas dataran tinggi terpampang di depan mata. Sayang sekali Nokia N70 saya kehabisan daya. Dan saya tak punya kamera untuk mengabadikan pemandangan menyegarkan mata tersebut!

Saya tak bertanya apa nama daerah tersebut. Tapi saya menduga di jalur selepas Bukittingi menuju Batusangkar, di mana jalurnya melintas di antara dua gunung: Gunung Marapi dan Gunung Sago. Rasanya saya harus mengulangi perjalanan ini untuk memastikan.

Menjelang Sungai Dareh, sopir bus menghentikan kendaraannya di sebuah rumah makan. Bukan untuk sarapan, tapi memberi kesempatan pada penumpang yang ingin melaksanakan salat Idul Adha. Rupanya salat Ied sudah berlangsung, jadi kami tak bisa ikut.

Begitu khotbah Idul Adha yang terdengar oleh kami selesai, sopir melanjutkan perjalanan. Sejak saat itu bus melaju lebih kencang dari sebelumnya. Maklum, menuju perbatasan Sumatera Barat-Jambi jalan lebih bersahabat. Dan setelah itu kami tak pernah berhenti lagi.

Saya memgembangkan senyum ketika bus melintasi sebuah gapura. Di badan gapura tertera tulisan “Selamat datang di Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.” Itu tandanya kami sudah memasuki Provinsi Jambi.

Setelahnya saya merasakan perjalanan jadi lebih cepat. Muaro Bungo, kemudian Muaro Tebo, dan mulai terlihatlah Sungai Batanghari. Saya jadi makin tidak sabar saat bus mencapai Muara Tembesi. Jaman saya SMA, Muara Tembesi dapat dicapai dalam waktu kurang dari 30 menit dari Muara Bulian.

Dan… lewat tengah hari bus memasuki Muara Bulian, ibukota Kabupaten Batang Hari. Kota yang saya tinggali selama 1997-2000. Setelah itu saya jarang sekali ke sana, sehingga tak banyak tahu perubahan yang terjadi. Karenanya saya dibuat melongo sewaktu bus melintasi Bulian Business Center (BBC), juga lampu merah di perempatan itu.

Karena sempat kebingungan, saya baru tersadar sewaktu bus sampai di dekat gerbang masuk Komplek Air Panas. Saya pun turun di situ. Tak jauh dari tempat saya turun ada penjual es tebu, minuman favorit saya semasa di SMAN 1 Muara Bulian. Sembari menunggu teman SMA datang menjemput, saya memesan segelas es tebu.

Ingin Mengulangi

bus sibualbuali pertama

Dapat foto ini di Google Images, dengan caption yang menyatakan inilah bus pertama Sibualbuali. Entahlah, harus ditelusuri lagi.

Sungguh satu perjalanan panjang. Kira-kira 21-22 jam. Berangkat dari pool Sibualbuali di Padangsidimpuan pada 16 November pukul tiga sore, sampai di Muara Bulian keesokan harinya selepas Dzuhur.

Kapok? Justru sebaliknya. Saya ingin sekali mengulang perjalanan ini dan merekamnya dalam bentuk video sebagai dokumentasi. Fa. ODP Sibualbuali bukan perusahaan otobus biasa. Berdiri di Sipirok pada 1937, perusahaan otobus ini merupakan pelopor bus antarkota antarprovinsi di Indonesia.

Sosok pendirinya, Sutan Pangurabaan Pane, juga layak dikupas habis. Berkat kengototannya mendirikan Sibualbuali itulah pemerintah kolonial Hindia Belanda jadi punya contoh bagaimana mengatur perusahaan bus antarkota antarprovinsi. Apa yang diterapkan Sutan Pangurabaan Pane di Sibualbuali dijadiin standar oleh pemerintah kolonial.

Bagi peminat sastra tentu tak asing dengan nama Armijn Pane atau Sanusi Pane. Sedangkan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI) dijamin mengenali Lafran Pane, salah satu dari 14 pendiri organisasi tersebut. Nah, tiga Pane bersaudara itu adalah putera Sutan Pangurabaan Pane.

Selain bus Sibualbuali dan Sutan Pangurabaan Pane, saya juga masih sangat penasaran dengan Padangsidimpuan. Kota ini menyimpan banyak cerita, juga melahirkan banyak tokoh besar. Jangan lupakan salaknya yang khas dengan daging semburat merah dan rasa sedikit asam.

Kalau ada kesempatan saya akan dengan senang hati datang ke Padangsidimpuan dan mengulangi perjalanan ini. Insya Allah.

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

12 Comments on Pengalaman seru naik bus Sibualbuali nan legendaris

  1. Itu bus legendaris banget ya, Mas, sejak tahun 1928. Mantaps pengalamannya di jalanan.

    Suka

  2. Wah, saya pikir hanya mendapatkan informasi tentang perjalanan mengasyikkan dengan bus Sibual-buali itu, tetapi lebih dari itu juga mengupas sosok pendirinya yang tidak lain adalah ayahanda dari tiga orang hebat di Indonesia. Hatur nuhun atas informasinya ^_^

    Suka

  3. Akhirnya sampai tujuan ada berapa orang didalam bis?

    Suka

  4. foto jaman jadulnya menarik mas eko. kebayang pas kamu trip dulu pas masih muda dan langsing :p

    Suka

  5. Aku pernah naik bus yang kayak gini mas. Udah lama banget, dari Palembang ntah kemana dulu, ke salah satu kabupaten di Sumsel.

    Sekarang bus kayak gini udah gak ada lagi 😀

    Suka

    • Dulu bus Palembang-Pendopo sama Palembang-Baturaja kaya gini, jaman terminal masih di bawah Jembatan Ampera 😀 Terus taksi-taksi merah jurusan Paal V juga dulu bodi kayu kaya gini, kalo ini aku sering naik jaman kecil. Malah awal tahun 2000-an masih sempat naik dari Paal V ke loket Ramayana.

      Disukai oleh 1 orang

  6. serius mas mau ngulangin lagi??? hahaha. Saya sih memang dasarnya sekarang pemabuk klo di jalan naik apapun apalagi naik bis model sibualibuali jadi gak pengen nyobain hahaha, tapi serius itu rumah tempat mas tinggal cuma jarak beberapa meter dari rumah mertua saya loh mas. Klo ke sidimpuan bisa sekalian mampir mas. Gunung Lubuk Raya masih sama mas penampakannya.

    Suka

    • Serius pake banget.
      Itu rumah bener-bener gak berubah, baik cat maupun warga gentengnya. Cuma bangunan papan sama pagarnya aja yang sekarang ganti cat biru. Dulu jaman saya masih numpang di sana, itu bangunan papan nggak ada catnya. Pas naik taksi dari Kota Pinang ke Padangsidimpuan, sama temen saya dibilang, “Nanti bilang aja sama sopirnya turun di showroom Honda Batunadua.” 😀

      Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.