Visit Tidore Island – Menelusuri jejak sejarah Pulau Rempah

Lukisan ilustrasi armada VOC di perairan Malaka. GAMBAR: Skyscrapercity.com
Masuknya VOC-Belanda
Begitu berkuasanya Portugis sehingga sultan-sultan Ternate yang membangkang ditangkap dan diasingkan. Sultan Abu Hayat II dibuang ke Malaka, Sultan Tabariji dibuang ke Goa, dan Sultan Khaerun Jamil alias Sultan Hairun dibunuh di Benteng SΓ£o Paulo.
Kematian Sultan Hairun membangkitkan amarah rakyat Ternate. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, perjuangan heroik rakyat Ternate sukses mengusir habis Portugis secara memalukan dari pulau tersebut pada 1575.
Portugis lari ke Ambon dan Tidore. Tahun 1578, mereka membangun benteng baru yang dinamai Forte dos Reis Magos de Tidore sebagai basis kekuatan. Dua tahun berselang, Spanyol dan Portugis membentuk aliansi di Maluku sehingga kekuatan kedua kerajaan saling membantu. Semua benteng Portugis dan Spanyol di seluruh kawasan Maluku Kie Raha dapat digunakan pasukan kedua kerajaan.
Demi membantu mengembalikan kekuasaan Portugis atas Ternate, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila berkali-kali mengirimkan armada bantuan. Menanggapi serangan ini Ternate menjalin kerja sama dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dagang yang diberi kekuasaan otonom oleh Kerajaan Belanda untuk mengeksplorasi Hindia Timur.
Babak baru sejarah Kepulauan Maluku pun dimulai.
Portugis dengan dukungan Spanyol di Manila menjadikan Tidore sebagai basis militer menghadapi kekuatan Ternate-VOC. Pada 19 Mei 1605, pasukan VOC berhasil merebut Benteng Reis Magos. Spanyol membalas dengan mengirimkan pasukan dari Manila. Armada perang ini dipimpin langsung oleh Gubernur Filipina, Pedro de Acunha.
Pada 26 Maret 1606, Spanyol dibantu prajurit Tidore merebut kembali Benteng Reis Magos. De Acunha yang mendapat dukungan Sultan Fola Madjino alias Sultan Zainuddin juga sukses mengusir tentara VOC dari Benteng Gamlamo di Ternate. VOC tidak mau pergi dari Ternate, dan sebaliknya mendirikan Fort Oranje hanya beberapa kilometer dari benteng Spanyol.
Sejak itu Maluku Kie Raha, dengan Ternate dan Tidore sebagai pusatnya, dikuasai dua kekuatan asing: Spanyol dan VOC. Namun perlahan-lahan kekuasaan VOC semakin kuat, sampai pada puncaknya menjadi kekuatan tunggal pada Juni 1663. Ini menyusul keputusan Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Manrique de Lara, menarik seluruh armadanya dari Maluku untuk menghadapi serangan bajak laut Tiongkok.
Praktis, kekuatan Tidore melemah. Hal ini memaksa Sultan Gorontalo alias Sultan Saifudin meneken perjanjian dengan Gubernur Jenderal VOC Cornelis Janzoon Speelman pada 13 Maret 1667. Inti perjanjian tersebut adalah pengakuan kedaulatan Kesultanan Tidore oleh VOC, dan pemberian hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Tidore kepada VOC.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore pada masa itu meliputi sebagian besar Pulau Halmahera, Raja Ampat, dan bagian kepala burung Pulau Papua. Perjanjian dengan VOC terus bertahan hingga beberapa sultan berikutnya, dengan catatan bertambah kuatnya pengaruh Tidore atas VOC ketika Sultan Syaifudin (Kaicil Golafino alias Jou Kota) bertahta.

Sultan Saifuddin alias Jou Kota. FOTO: Wikipedia
Perlawanan Sultan Nuku
Kendati terikat dalam perjanjian monopoli dagang dengan VOC, Kesultanan Tidore adalah wilayah berdaulat penuh. Sultan-sultan Tidore tak sekalipun meminta bantuan VOC untuk menyelesaikan urusan kesultanan. VOC tetap dibiarkan berada di “luar pagar” dan tak sekali-kali diijinkan ikut campur.
Namun masa-masa tersebut segera berlalu. Keputusan Gubernur Jenderal VOC di Batavia yang memberlakukan Hongitochten memperlemah kekuatan Kesultanan Tidore, juga kesultanan-kesultanan lain di Maluku Kie Raha.
Tidore ikut meneken perjanjian Hongitochten dengan VOC, sehingga pasukan VOC secara leluasa membabat habis tanaman cengkeh dan pala di wilayah Kesultanan demi menjaga stabilitas harga.
Perjanjian Hongitochten serta monopoli VOC membuat kemakmuran Kesultanan Tidore menurun. Sekalipun VOC memberi imbalan (recognitie penningen) sejumlah tertentu kepada Kesultanan, angkanya jauh lebih kecil dari ketika produksi cengkeh dan pala berlimpah.
Hingga 1797, sultan-sultan Tidore dibuat tak berdaya di bawah monopoli VOC. Kesultanan nyaris bangkrut. VOC bahkan berani menangkap Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin dan mengasingkannya ke Batavia pada 1776. Secara sepihak VOC mengangkat Kaicil Gay Jira sebagai sultan, yang kemudian diteruskan putranya, Patra Alam alias Sultan Badaruddin.
Tindakan sewenang-wenang VOC ditentang keras Pangeran Muhammad Amiruddin (Kaicil Paparangan) dan Pangeran Hairul Alam Kamaluddin (Kaicil Asgar), dua putera Sultan Jamaluddin. Namun tentu saja VOC tidak peduli. Pangeran Kamaluddin ditangkap dan diasingkan ke Sri Lanka. Sedangkan upaya VOC menangkap Pangeran Amiruddin gagal karena telah terlebih dahulu meninggalkan Tidore.

Sultan Nuku. FOTO: Wikipedia
VOC merespon aksi ini dengan mengirim pasukan untuk menangkap Sultan Nuku. Perang pun pecah. Pasukan VOC sepertinya bakal menang, namun tak berhasil menangkap Sultan. Tahun 1783, VOC kembali mengirim pasukan. Kali ini Sultan Nuku menunjukkan kekuatannya dengan membunuh komandan dan sebagian besar tentara VOC.
Oktober 1783, pasukan Sultan Nuku menyerang sebuah benteng VOC di Tidore dan membunuh semua orang Eropa di dalamnya. VOC marah luar biasa. Kesultanan Ternate dihubungi untuk membantu memerangi Sultan Nuku. Hubungan Ternate-Tidore memanas.
November di tahun yang sama, VOC menarik pulang Pangeran Kamaluddin dan mengangkatnya sebagai Sultan Tidore. Dengan demikian Kesultanan Tidore memiliki dua sultan dalam waktu bersamaan. Begitu naik tahta Sultan Kamaluddin dipaksa meneken perjanjian yang menguntungkan VOC.
Pada 1787, VOC berhasil menaklukkan markas Sultan Nuku di Pulau Seram. Akan tetapi Sang Sultan sudah terlebih dahulu pindah ke Pulau Gorong dan kembali membangun pasukannya. Sultan juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Britania yang diwakili Kapten Thomas Forrest. Dengan persenjataan bantuan Kerajaan Britania, Sultan Nuku berhasil memukul pasukan VOC.
Kerepotan menghadapi perlawanan Sultan Nuku, VOC mencoba mengajak berunding dengan menawarkan posisi di kesultanan. Tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Sultan Nuku. Alih-alih berdamai, ia justru meningkatkan serangan terhadap VOC yang dibantu pasukan Tidore di bawah pimpinan Sultan Kamaluddin.
Februari 1795, putera Sultan Nuku yang bernama Abdulgafur memimpin sepasukan besar ke Tidore. Setahun berselang Sultan berhasil merebut Pulau Banda. Tahun berikutnya, setelah mengepung Pulau Tidore dengan 79 kapal ditambah satu kapal Kerajaan Britania, pasukan Sultan Nuku berhasil merebut kekuasaan Tidore pada 12 April 1797.
Vacuum of Power
Usai membersihkan istana dari kaki tangan musuh, Sultan Nuku mengusir VOC dari Ternate pada 1801. VOC sendiri sebenarnya sudah dibubarkan pada Desember 1799. Sementara Kerajaan Belanda berada di bawah kekuasaan Prancis yang dikomando Napoleon Bonaparte.
Akibat serangan tersebut Raja Willem V melarikan diri ke Inggris dan menetap di sana selama beberapa waktu. Sebagai imbalan, Raja Willem V menyerahkan daerah-daerah jajahannya pada Kerajaan Britania. Inilah sebabnya Inggris sempat berada di Nusantara selama beberapa tahun.
Wilayah-wilayah tersebut baru dikembalikan kepada Belanda setelah kedua kerajaan meneken Perjanjian London pada 13 Agustus 1814. Perjanjian ini sekaligus mengembalikan kekuasaan bangsa Belanda di Bumi Nusantara. Jika dulu di bawah sebuah perusahaan swasta bernama VOC, kali ini di bawah Kerajaan Belanda.
Sepeninggal Sultan Nuku pada 14 November 1805, Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin. Hanya bertahta lima tahun, Sultan Zainal Abidin digantikan oleh Sultan Motahuddin Muhammad Tahir yang naik singgasana pada 1810.
Kondisi yang cenderung damai di era Sultan Tahir membuat rencana pembangunan Kadato (Istana Sultan) baru kembali muncul. Atas persetujuan semua pihak, Sultan Tahir memulai pembangunan Kadato di Soasio pada 1812. Istana yang kelak dinamai Kadato Kie inilah yang hingga hari ini menjadi kediaman Sultan Tidore.
Sembari menunggu pembangunan istana selesai, dibangunlah istana sementara yang dinamai Kadato Tui atau Kedaton Bambu. Di istana kecil ini Sultan Tahir memerintah hingga wafat pada 1821. Beliau tidak sempat menyaksikan istana yang dibangunnya rampung.
Sultan Ahmadul Mansyur Sirajuddin Syah yang naik tahta pada 1821 juga tak sempat meninggali istana rancangan Sultan Tahir. Pembangunan Kadato Kie yang dilakukan secara bertahap memakan waktu 50 tahun. Istana tersebut baru rampung di masa pemerintahan Sultan Ahmad Syaifuddin Alting (1856-1892) pada tahun 1862.
Sejak itu sultan-sultan Tidore menempati Kadato Kie sebagai kediaman sekaligus pusat pemerintahan.
Cadasssss! Selamat ya Mas Eko, hehehehe π
Rapi, lengkap, runtut π
SukaSuka
Hahaha, matur nuwun banget, Mas.
See you in Tidore π
SukaSuka
selamat atas keberhasilannya, karena sangat pantas sekali, lengkap lengkip hehehe
SukaSuka
Makasih banyak, Mas. Semoga bisa ngetrip bareng lagi kita ya
SukaSuka
Terima kasih.
SukaSuka
Selamat ya Mas, have a nice trip. Tolong sebut nama Keluarga Biru di Tidore he3
SukaSuka
Matur nuwun, Mas Ihwan.
Insya Allah nanti ta absen ya π
SukaSuka
Selamat mas menang lomba blog visit Tidore
SukaSuka
Makasih banyak. Duh, kapan kita bisa ketemu lagi π
SukaSuka
menyimpan banyak sekali cerita sejarah
SukaSuka
Amat sangat banyak sekali
SukaSuka
Iya nih. Pasti nilai sejarahnya dapat nilai sempurna.
Kece tingkat dewa nih, artikelnya.
Makjleb!
SukaSuka
Alhamdulillah, dulu pas SMP-SMA suka banget sama pelajaran sejarah. Mustinya dulu kuliah jangan ambil jurnalistik ya, ambil sejarah aja π
SukaSuka
Wah.. Yang pada mau liburan ke Tidore. π
Semoga sukses ya, Mas. Kayaknay dari beberapa tulisan yang saya baca, Mas Eko paling banyak yang mengular sejarah. Keren.
Salam hangat dari Bondowoso..
SukaSuka
Yep, sejak awal emang sudah rencana nulis tentang sejarahnya. Dan ternyata begitu panjangnya sejarah Tidore, padahal saya cuma ambil sejak mendaratnya Juan Sebastian Elcano lho. Bayangin kalo nulisnya sejak jaman Kolano pertama π
SukaSuka
Mas eko sudah mirip sejarawan, ceritanya lengkaaaap banget. Semoga kita beruntung bisa berkunjung ke Tidore ya, mas
SukaSuka
Aahahaha, aku emang seneng banget sama sejarah, Mbak. Pelajaran favoritku semasa SMP dan SMA ini. Sayangnya dulu kok nggak kuliah jurusan sejarah ya π
SukaSuka
Ternyata Tidore punya sejarah panjang yang luar biasa ya. Jadi makin pingin kesana untuk melihat sendiri peninggalan2 bersejarah yang masih ada. Penerbangan panjang dari Medan tempat tinggalku bakal jadi perjalanan yang ngga terlupakan. Semoga satu saat bisa ke Tidore. Good luck untuk lombanya ya, mas :).
SukaSuka
Nggak kebayang kalo terbangnya dari Medan. Bakalan di udara berapa jam itu? Dari Pemalang tempatku sini pilihannya terbang dari Semarang, dan itu bukan direct flight ke Ternate. Transit Surabaya & Makassar. Mudah-mudahan aja suatu saat bisa ke sana π
SukaSuka
Semalam saudara datang dan bilang kalau Tidore memang keren, mas. Semoga kesampaian injak kota Tidore ya π
SukaSuka
Amin, amin, makasih doanya.
Sebelum nulis ini sempat iseng cek tiket ke sana, tiketnya sebenarnya masih terjangkau sih. Yah, meski bisa buat PP ke Singapura atau Kuala Lumpur sih. Cuma nggak tahu biaya makan plus akomodasi dan transport di sana seberapa. Insya Allah pengen ke sana suatu saat nanti.
SukaSuka
Mantaps ulasannya. Jadi pengin kesana….
SukaSuka
Wow, lengkap banget literatur sejarahnya ini, bs jadi referensi. Tidore memang istimewa ya mas, si kecil2 cabe rawit,aku pun menulis Tidore ni sambil membayangkan film sejarah, haha.
SukaSuka
Aku nulis ini sambil inget guru sejarah jaman SMP-SMA. Pas SMP gurunya gadis Batak nan manis, pas SMA sudah mbah-mbah dan sekarang almarhum. Btw, pesona Tidore emang luar biasa.
SukaSuka
Tidore emang kota yang sangat bersejarah. Umurnya pun fantastis, 900 tahun lebih. Moga bisa kesana, amin
SukaSuka
Tapi masih kalah tua dari Jakarta, apalagi Palembang, Mas. Kedua kota tadi sudah hampir 1500 tahun usianya. Cuma memang Tidore fenomenal karena sempat jadi pusat perhatian dunia.
SukaSuka