Highlight:

Dua kenangan singkat di Malang: Cafe Bale Barong dan rombengan malam

SETIAP kali berkenalan dan menyebut nama kabupaten tempat saya tinggal sekarang, orang seringkali salah mendengarnya sebagai Malang. Biasanya reaksi mereka, “Oh, Malang. Jawa Timur ya?” Dan mau tidak mau saya harus meluruskan, “Pemalang, Mas. Jawa Tengah.”

Sewaktu pertama berkenalan dengan istri di tahun 2005, saya sendiri sempat kebingungan mencari Pemalang itu di mana. Tapi saya tidak sampai salah mengira Pemalang sebagai Malang. Pasalnya saya sudah mengenal Kota Apel sejak kecil. Kira-kira sejak saya duduk di kelas-kelas awal Sekolah Dasar semasa di Palembang.

Adalah cerita Ibu yang membuat saya tahu tentang Malang, meski hanya secuil berdasarkan kenangan dan ingatan Ibu. Dari semua yang diceritakan Ibu, satu yang paling saya ingat dan membuat saya ingin sekali berkunjung ke Malang adalah kebun-kebun apelnya.

Jadi ceritanya simbah kakung saya (ayahnya Ibu) berasal dari Malang. Sewaktu muda beliau merantau hingga ke Situbondo, tepatnya Desa Wonorejo di seberang Kali Bajulmati, tempatnya bertemu simbah puteri dan menikah. Lalu lahirlah enam anak, yakni Ibu dan kakak-adiknya.

Ketika pernikahan simbah pecah karena Simbah Kakung menikah lagi, Ibu meninggalkan sekolahnya lalu merantau ke Malang. Alasannya, di sana masih banyak saudara Simbah Kakung yang bisa ditumpangi sekaligus membantu mencari pekerjaan. Tapi Ibu tidak lama-lama di Malang, sebelum kembali lagi ke Situbondo, dan menyusul Simbah Puteri yang pergi ke Sumatera.

Semasa di Palembang dan di Jambi, setiap kali ada kesempatan Ibu akan dengan senang hati menceritakan kenangan-kenangannya. Termasuk semasa beliau merantau sebentar di Malang. Ibu bercerita tentang seorang Romo Buddha (mungkin Bhanthe?) tempat beliau sempat menumpang, tentang air terjun Coban Rondo, dan tentang kebun-kebun apel.

“Di sana kita bisa makan apel sepuasnya. Tinggal metik dari pohon,” begitu cerita Ibu yang membuat saya dan adik-adik ternganga membayangkan betapa puasnya bisa makan apel sepuasnya. Maklum, masa-masa saya kecil buah-buahan terlebih apel merupakan santapan mewah.

Biasanya usai menceritakan kenangannya di Malang beserta kebun-kebun apel itu Ibu lantas berkata, “Mbesuk ya kita plesir ke Malang, makan apel sepuasnya di kebunnya.” Angan-angan yang belum terwujud hingga saat ini.

Siapa sangka, bertahun-tahun setelah itu saya kemudian mendapat dua kesempatan mengunjungi Malang. Sekalipun dua kunjungan tersebut tak berlangsung lama. Berikut dua kenangan singkat saya di Malang:

Cafe Bale Barong
Kunjungan pertama saya ke Malang dalam rangka kerja. Mmm, lebih tepatnya latihan kerja sih. Kejadiannya kira-kira Agustus atau September 2002. Ya, nyaris 14 tahun lalu. Usia saya belum genap 20 tahun waktu itu.

Ceritanya, selulus dari sebuah lembaga bernama Pendidikan Profesi Pariwisata di Yogyakarta, saya sering mendapat job sebagai tour guide. Tapi karena belum berpengalaman, dan bahasa Prancis belum terlalu lancar, saya biasanya hanya kebagian jatah menjemput (picking up) atau mengantar (dropping) tamu di/ke bandara maupun destinasi selanjutnya.

Nah, suatu sore seorang senior yang sudah jadi tour guide profesional bernama Anang Sumarna datang ke kos-kosan. Maksud kedatangannya untuk melimpahkan tamunya ke saya, karena ia sudah harus membawa tamu lain untuk paket tur berikutnya. Ini praktik biasa di kalangan pemandu wisata masa itu, dengan tujuan memaksimalkan pendapatan.

Tugas saya sebenarnya sangat simpel: mengajak tamu sarapan, lalu check out dari hotel, dan melanjutkan perjalanan ke Malang. Rombongan turis asal Prancis tersebut akan melanjutkan tur ke Gunung Bromo. Sesampainya di Malang, saya hanya perlu menemui guide setempat di Bale Barong Cafe N Resto (kini Bale Barong Terrace) dan “mengoper” rombongan tamu kepadanya. Selesai.

Tapi praktiknya tidak semudah itu. Berbeda dengan turis asal negara-negara Asia, turis Eropa utamanya Prancis terkenal sangat banyak tanya. Walhasil, saya yang masih hijau dan bahasa Prancis-pun belum terlalu luwes, dibuat kerepotan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka sepanjang perjalanan.

Bayangkan, yang saya bawa turis satu bus pariwisata! Dan apa saja yang mereka lihat sepanjang perjalanan menjadi bahan pertanyaan. Sewaktu singgah sejenak di Mantingan, mereka bertanya berapa harga seekor monyet? Ada juga yang bertanya nama latin sebuah pohon yang saya sendiri bahkan tidak tahu nama lokalnya?

Lalu sewaktu Gunung Semeru tampak di horison, ada lagi yang bertanya berapa mdpl tinggi gunung tersebut? Kapan terakhir meletus? Dan saat mampir makan siang di sebuah rumah makan, seorang turis minta dijelaskan apa itu pecel lele setelah melihat daftar menu.

Modyar pora, batin saya. Dalam hati saya terus saja berharap bus melaju lebih kencang, lebih kencang lagi, dan sampai di Malang sesegera mungkin. Tapi kami baru tiba di Malang tepat waktu salat Magrib. Sesuai itinerari dari travel agent yang diberikan Mas Anang, saya menge-drop tamu di Cafe Bale Barong untuk makan malam sebelum dibawa guide berikutnya ke hotel.

Begitu bus berhenti di parkiran Cafe Bale Barong, saya bergegas turun untuk menemui guide yang saya lupa namanya itu. Kami bersalaman, saling berkenalan, dan serah-terima tamu. Saya kembali lagi ke bus untuk mengucap salam perpisahan pada rombongan tur. Serta tak lupa meminta maaf apabila saya tak bisa memenuhi ekspektasi mereka, yang saya sadari betul iya banget. Hahaha…

Masih nervous oleh pengalaman pertama yang berjalan tak mengenakkan tersebut, saya menurut saja sewaktu sopir mengajak langsung pulang ke Jogja. Tak sempat ke mana-mana lagi, bahkan tak sempat beli apa-apa, padahal di satu jalan saya sempat melihat deretan kios menjajakan apel dalam plastik dan jaring buah.

Pertama kali ke Malang saya cuma menginjakkan kaki di tanahnya, yakni halaman dan ruang depan Cafe Bale Barong, selama kira-kira 10 menit. Sangat singkat! Satu hal yang menempel di memori saya waktu itu, Malang hawanya sangat dingin.

Roma, Rombengan Malam
Kunjungan ke Malang untuk kali kedua terjadi pada tahun 2013. Jauh lebih lama dari kunjungan pertama, meski hanya bilangan jam. Kali itu saya yang masih aktif sebagai kurir Sedekah Rombongan mengantar seorang pasien dampingan ke RS Lavalette untuk menjalani operasi. Pasien tersebut asal Pemalang, kira-kira 10 menit bermotor dari tempat saya tinggal.

Saya dan seorang kurir lain sepakat menyewa paket mobil lengkap dengan bensin dan sopir. Jadi dalam rombongan kami ada saya, kawan kurir Sedekah Rombongan satu lagi, pasien dampingan dan isterinya, dan sopir. Lima orang.

Kami berangkat jam tiga pagi dari Pemalang, dengan estimasi akan sampai di Malang 11 jam berikutnya. Namun sopir kami rupanya tak paham jalan. Berulang kali ia berhenti dan menelepon seseorang entah siapa di mana untuk bertanya rute.

Di Tuban kami sempat berhenti sangat lama karena orang yang ditelepon tak kunjung mengangkat panggilannya, dan anehnya ia enggan bertanya pada penduduk lokal. Sampai di Sidoarjo, ia benar-benar tak tahu arah dan kami berputar-putar tak karuan selama beberapa puluh menit. Ia turun, menelepon, kembali menjalankan mobil, tapi lalu berhenti lagi, turun, menelepon.

Padahal sejak selepas Gresik dia sudah sempat bertanya, dari Sidoarjo lewat mana. Saya yang paham rute menjawab, lewat Porong saja lalu lanjut Gempol, Pandaan, dan seterusnya. Tapi rupanya omongan saya dianggap angin lalu. Karenanya ketika ia kebingungan di Sidoarjo saya diam saja. Sampai akhirnya saya kesal, dan menelepon teman saya sesama pedagang uang lama di Malang.
Saya semasa ngurir di SR.
Waktu tahu saya menelepon teman di Malang itulah baru si sopir mau mendengarkan. “Lewat mana, lewat mana?” tanyanya tak sabar. Saya jawab kalem, “Ya tetap saja lewat Porong.” Rasain!

Dan, baru jelang Magrib kami masuk Kota Malang. Berkat papan petunjuk yang bertebaran di mana-mana, kami pun tidak kesulitan mencari alamat tujuan. Tidak langsung ke RS Lavalette, melainkan ke Rumah Singgah Sedekah Rombongan (RSSR) Malang yang terletak tak jauh dari rumah sakit tersebut.

Saya lupa RSSR Malang terletak di perumahan apa. Yang jelas sesampainya di sana pasien dampingan kami serahkan ke pengelola RSSR dan teman-teman kurir Malang, untuk diuruskan ke RS Lavalette. Saya mustinya sudah boleh pulang, tapi sopir kami minta waktu untuk istirahat sebentar. Saya pun memanfaatkan waktu untuk bertemu teman yang tadi saya telepon.

Teman saya langsung datang menjemput tak jauh dari RSSR. Lalu ia mengajak saya berkeliling Kota Malang yang sebenarnya kecil tapi sangat hidup dan semarak. Teman saya menunjukkan Stadion Brawijaya, lalu memutar ke satu perumahan elite yang entah apa namanya, melihat-lihat beberapa tempat yang saya lupa begitu saja, dan menuju Jl. Gatot Subroto di mana terdapat Bank BCA KCP Malang.

Di sekitaran kantor Bank BCA sangat ramai malam itu. Terlihat beberapa lapak pedagang di sana. Teman saya bercerita kawasan tersebut dikenal sebagai Roma, kependekan dari Rombengan Malam. Selain berbagai lapak barang loak, ada pula lapak-lapak makanan. Tapi saya tidak diajak makan di sana, melainkan ke sebuah restoran yang lagi-lagi saya lupa namanya. Hahaha, maafkan.

Saya sebenarnya minta dibawa ke Bakso Kota Cak Man, tapi teman saya berkomentar, “Halah, bakso ki neng endi-endi ya kaya ngono iku.” Ada benarnya juga sih. Dan sayapun dibawa ke sebuah restoran Jepang. Nantilah saya tanyakan nama restoran tersebut ke kawan itu, mana tahu ia masih ingat.

Oya, teman saya seorang keturunan Tionghoa, tapi ia tumbuh besar di lingkungan Islam sehingga begitu menghormati kawan-kawan Muslim-nya seperti saya. Ia asal Probolinggo, tapi sudah lama tinggal di Malang dan berkarier di Bank BCA. Itu sebabnya ia antusias sekali membawa saya ke Jl. Gatot Subroto. Ia juga sudah bercerita tentang Rombengan Malam sejak lama, via BBM dan telepon.

Lepas makan kami pulang. Teman saya mengantar sampai ke RSSR di mana sopir dan teman saya dari Pemalang sudah menunggu. Kamipun berpisah, dan begitu mobil teman saya menghilang di kejauhan, saya berpamitan pada teman-teman kurir SR Malang. Selanjutnya, malam itu juga, saya kembali ke Pemalang via Pantura.

Dua kunjungan singkat, tanpa dokumentasi satu pun, namun semuanya sangat berkesan bagi saya. Kurang puas memang, karenanya saya ingin sekali ke Malang lagi suatu saat nanti. Saya ingin mengajak anak-anak, isteri, beserta Ibu yang mempunyai kenangan di Malang.

Semoga saja terwujud.

Foto-Foto:
Foto 1: http://malang.merdeka.com/pariwisata/5-tempat-yang-jadi-ikon-kota-malang-160328m.html
Foto 2: http://wisatapetikapelmalang.blogspot.co.id/
Foto 3: Dokumentasi pribadi
Foto 4: http://www.sedekahrombongan.com
Foto 5: http://warnausahabisnis.blogspot.co.id/2012/11/usaha-kita-penulis.html

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

14 Comments on Dua kenangan singkat di Malang: Cafe Bale Barong dan rombengan malam

  1. Mbak Anisa di Kota Malang apa Kab. Malang ya?
    Semoga next time bisa ke Malang lagi ya, Mbak. Kopdar sama kawan-kawan Malang Citizen 🙂

    Suka

  2. Gak mampir ke rumahku, Mas? 😀

    Suka

  3. Iyae, bener banget, Mas 🙂
    Next time deh kalo ke Malang lagi, insya Allah.

    Suka

  4. Bakso Malang itu khas… 🙂 Eman rasanya bila sudah ke sana ga ngerasain, hehehe

    Suka

  5. Bakso Malang di sini ada yang jual, tapi kan lebih afdol makan bakso Malang di tempat asalnya to? Hehehe…

    Suka

  6. Mumpung anak-anak masih kecil pengen diajak ke agrowisata apel, Mas. Kalo sudah besar kaya-kayanya nggak tertarik mereka dengan wisata seperti itu. Hihihi. Mudah-mudahan, amin 🙂

    Suka

  7. Saya sering ke Malang, tapi belum pernah nyoba bakso yang ngehits. Paling ngebakso di emperan sekolahnya anak. Yang penting sudah makan bakso malang.

    Suka

  8. Aku walaupun dari Jawa Timur tapi jarang pula ke Malang Mas. Terhitung jarilah. Maklum, keluarga ga hobi wisata khusus. Waktu SMA paling ingat ikut lomba di IKIP Malang. Selebihnya samar-samar. Semoga bisa membawa keluarga ke Malang ya Mas.

    Suka

  9. Hanya kenangan singkat, Pak. Jauh dari kata lengkap deh kayanya. Hehehe. Tapi terima kasih sekali sudah berkunjung 🙂

    Suka

  10. Amin. Suwun, Mbak.
    Anakku lanang pengen ke Jatim Park, liat fosil dinosaurus katanya. Hehehe.

    Suka

  11. Pernah, Mbak. Dari pertengahan 2012 sampe awal 2014. Partner-ku Mas Abud yang asal Kesesi itu, rumahnya di Kauman. Sekarang jane masih diajak survei-survei, cuma udah nggak diakui kurir lagi. Kelamaan vakum. Hahaha.

    Suka

  12. ulasan tentang Kota Malang cukup lengkap dan padat… salam dari kami Blogger Malang… 🙂

    Suka

  13. Amin semoga suatu saat bisa ke Malang maning yaa mas

    Suka

  14. Owalahhh ternyata pernah sama sedekah rombongan yaa..Aaku malah gagal ikut terus,, soale kenale temen yg di pwt siihh yaa.. Hehehhe..

    Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.