Sekarang jalan-jalan santai di Malioboro tambah asyik lho…

PERNAH ke Jogja? Pasti pernah ke Malioboro dong? Banyak yang bilang belum sah ke eks ibukota Republik Indonesia ini kalau belum menginjakkan kaki ke Malioboro. Nah, sekarang jalan-jalan di sepanjang Jl. Malioboro jadi tambah asyik lho. Ada suasana baru yang bikin kita semakin betah berlama-lama di jalan sepanjang 500 meter tersebut.
Flashback sebentar boleh kan ya?
Nama Malioboro sudah saya dengar sejak belasan tahun lalu. Waktu memilih-milih kota tujuan untuk melanjutkan pendidikan selepas SMA, Jogja masuk dalam daftar saya. Saat itulah saya mengenal Malioboro dari teman-teman yang pernah ke Jogja, atau punya saudara yang tengah kuliah di sana.
Turut cerita mereka, Malioboro itu pusatnya wisata Jogja. Mau cari beragam souvenir khas Kota Pelajar banyak penjualnya di sana. Mulai dari aneka gantungan kunci, kalung dan gelang etnik, miniatur kendaraan dari kayu, juga kaos Dagadu bajakan.
Mau makan-makan juga dijamin bakal puas. Siang hari ada berderet-deret angkringan dan gerobak makanan yang siap didatangi. Kalau malam tempat tersebut berubah jadi pusat kuliner dengan gudeg sebagai menu andalan warung-warung lesehan.
Teman yang lain menambahkan, di sekitaran Malioboro banyak penginapan buat turis. Jadi jangan heran kalau pas jalan-jalan di Malioboro ketemu bule berambut pirang lagi menawar merchandise atau makan di angkringan. Wah, saya yang belum pernah melihat langsung rupa orang asing jadi excited sekali.
Semrawut!
Ketika kemudian datang sendiri ke Jogja, Malioboro jadi tempat yang ingin saya kunjungi pertama kali. Sayang seribu kali sayang, Malioboro tak seindah bayangan saya. Suasananya yang selalu ramai menjurus padat membenarkan cerita teman-teman SMA saya. Ini pusatnya Jogja. Tapi semrawutnya itu lho bikin keki.
Kalau kalian pernah ke Malioboro di tahun-tahun awal 2000-an, kalian pasti tahu maksud saya. Jaman itu jalan-jalan di Malioboro butuh perjuangan. Kita sudah harus berpikir keras sejak memilih mau jalan di sebelah mana? Sebelah timur jalan atau sebelah barat? Putuskan baik-baik sebab untuk menyeberang jalan butuh perjuangan tak kalah besar.
Biasanya sih wisatawan pemburu oleh-oleh bakal menyusuri sisi barat jalan. Di sisi ini penjual souvenir-nya lebih banyak, juga lebih lengkap. Karenanya juga lebih padat oleh manusia.

Bagi yang mau ke Pasar Beringharjo atau masuk ke mal – masa itu di Malioboro hanya ada Malioboro Mal dan Matahari, atau mampir ke gerai Tourism Information Center (TIC), pilihannya adalah sisi timur jalan. Deretan penjual merchandise juga ada di sini, tapi tak sebanyak di sisi barat jalan.
Setelah memutuskan sisi mana yang dipilih, pertanyaan selanjutnya adalah mau lewat di bagian mana? Pilihannya ada dua: melewati teras toko yang jadi semacam lorong karena di seberangnya berderet pedagang souvenir; atau melewati trotoar yang dipenuhi sepeda motor, andong, becak, plus bau pesing kencing kuda.
Dua-duanya bukan pilihan nyaman, bukan?
Pendek kata, meskipun kondang sebagai tempat untuk jalan-jalan menikmati suasana Jogja, Malioboro bukanlah tempat yang menyenangkan untuk berjalan kaki. Itu sebabnya kemudian saya hanya melewati Malioboro kalau memang benar-benar harus lewat sana. Kalau cuma iseng atau berniat refreshing, banyak jalan lain yang lebih nyaman dilalui.
Ditata Ulang
Saya agak sumringah sewaktu Kawasan Nol Kilometer ditata ulang. Bagian depan Istana Presiden dan Monumen Serangan Umum 11 Maret dibersihkan dari segala jenis pedagang. Pot-pot besar untuk tanaman hias dan tempat duduk melingkar dari beton dibangun. Dilengkapi bangku-bangku kayu panjang. Jadilah kawasan itu tempat nongkrong baru yang asyik.
Sejak ada bangku-bangku itu, saya sering menghabiskan waktu duduk-duduk mengobrol bersama teman sekos di sana. Ya, sekedar ngobrol ringan sampai berbincang serius sembari mencamil makanan ringan yang dibeli dari pedagang yang mencuri-curi berjualan di depan Benteng Vredeburg. Tak jarang sampai pagi buta di sana, begitu terdengar adzan Subuh kucluk-kucluk pulang jalan kaki ke kos-kosan.
Rupanya butuh waktu lama sampai penataan dan perubahan di kiri-kanan Jl. Ahmad Yani itu bisa menular ke Jl. Malioboro. Wacana untuk menjadikan jalan legendaris tersebut sebagai kawasan pedestrian sudah didengungkan sejak entah kapan. Namun ada banyak kepentingan di sana sehingga Pemerintah Kota tidak bisa menyelesaikannya dalam waktu singkat.
Saya masih ingat dulu sempat ada wacana membangun tempat parkir underground di bawah alun-alun untuk membersihkan Jl. Malioboro. Ide lainnya adalah memaksimalkan Taman Parkir Abu Bakar Ali. Keterbatasan lahan diakali dengan membangun gedung parkir bertingkat, seperti banyak bertebaran di Jakarta.
Rupanya kemudian ide kedua yang dieksekusi. Tapi itupun butuh proses panjang sampai akhirnya pada 4 April 2016 kawasan Malioboro benar-benar bersih dari segala jenis parkir. Sebagai penikmat jalan kaki sekaligus eks warga Jogja, tentu saja saya senang dong mendengar kabar ini.
Yeay, akhirnya bisa juga jalan kaki santai nan nyaman di jalan tenar ini!

Akhir September lalu, perubahan di Malioboro tersebut saya lihat dengan mata kepala sendiri. Dalam perjalanan naik Trans Jogja dari Terminal Jombor ke Ngabean, saya lihat sisi timur Jl. Malioboro bersih dari sepeda motor. Trotoar yang biasanya padat oleh ribuan kendaraan terlihat lega. Pasti asyik sekali jalan-jalan santai di sana.
Kalangan difabel rasanya lebih senang lagi. Di sepanjang trotoar Jl. Malioboro itu sebenarnya sejak lama ada penanda (guiding block) untuk membantu tunanetra berjalan. Tapi penanda itu jadi percuma karena tertutup sepeda motor yang diparkir. Kini, pemandu jalan itu jadi berguna lagi sebagaimana mestinya.
Nah, kalau kamu ada rencana ke Jogja dan jalan kaki menikmati Malioboro masuk dalam agendamu, coba cek artikel “Punya Rencana Traveling ke Jogja dalam Waktu Dekat? Perhatikan Skema Baru Tempat Parkir di Malioboro Berikut!” ini biar nggak bingung mengenai skema baru tempat parkir di Malioboro.
Intinya, ya itu tadi, kalau kita datang ke Malioboro membawa kendaraan sendiri, maka kendaraan harus diparkir di Taman Parkir Abu Bakar Ali yang berada di sebelah utara. Setelah itu kita masuk kawasan Jl. Malioboro berjalan kaki. Kan memang niatnya mau jalan-jalan santai to?
Kalau ogah capek, atau kamu mau ke Pasar Beringharjo yang berada di ujung selatan jalan, ada bus shuttle gratis yang disediakan Pemkot Yogyakarta. Tapi katanya sih nunggunya lama karena jumlah busnya terbatas. Opsi lain, naik saja bus Trans Jogja dari shelter Malioboro 1 di dekat Hotel Inna Garuda. Pas saya naik bulan kemarin tiketnya Rp3.500 sekali jalan. Mudah-mudahan sekarang masih sama.
Ah, jadi pengen ke Jogja lagi nih. Apalagi Pemalang-Jogja bisa naik kereta via Purwokerto. Liburan akhir tahun ke sana sepertinya asyik deh. Amin, ya Allah…
Sumber Foto:
Foto 1: https://sedanghangat.com/hal-hal-menarik-malioboro
Foto 2: http://www.radarjogja.co.id/mendesak-desain-ulang-malioboro/
Foto 3: http://regional.liputan6.com/read/2474816/wajah-malioboro-setelah-terbebas-dari-parkir-motor
Iya, Mbak. Makasih banyak ya.
Tapi posting yang dapet MacBook bukan ini deh π
SukaSuka
Selamat mas dapat macbook
SukaSuka
Kalo di Jogja-nya sih iya, jalanan makin ke sini makin macet parah. Tapi khusus Malioboro tambah lega, cocok buat jalan-jalan santai. Aku sih masih nunggu kawasan ini bener-bener bersih kendaraan, jadi pedestrian gitu.
SukaSuka
Masa sih tambah asyik… tambah macet gitu hahaha *ngeyel
SukaSuka
Akhir bulan kemarin ke Jogja 4 malam 3 hari, tapi karena judulnya nungguin keponakan yang habis kecelakaan, jadinya nggak ada plan ke mana-mana. Akhir tahun dah π
SukaSuka
Malioboro dengan tampilan baru ini emang bikin banyak orang jadi pingin ke Jogja lagi, termasuk saya π
SukaSuka