Highlight:

Tur Cokelat Bali #3: Massage cokelat di Sedona Spa Ubud

Sedona Spa Ubud

TUR Cokelat Bali hari ketiga diisi dengan perjalanan panjang Candidasa-Lovina. Candidasa terletak di Kabupaten Karangasem, bagian timur Bali. Sedangkan Lovina ada di Kabupaten Buleleng, bagian utara Bali. Sebenarnya 3-4 jam saja sudah bisa sampai sih. Tapi nyaris seharian kami berada di bus.

Hari itu diawali dengan sarapan menyenangkan di restoran Hotel Bali Shangrila Beach Club. Restorannya terletak persis di sebelah kolam renang, sedangkan kolam renangnya di pinggir pantai. Jadi, sembari makan kami bisa memandangi pantai dan lautan lepas. Beserta tiga-empat pulau kecil di kejauhan.

Baca juga:
Asyiknya Tur Cokelat Bali bersama Frisian Flag
Tur Cokelat Bali Hari 1: Mengejar Sunset di Jimbaran, dan… Tertutup Awan!
Tur Cokelat Bali Hari 2: Hujan-Hujanan di Taman Ujung Soekasada

Berbeda dengan hari sebelumnya, menu sarapan yang disediakan hotel terhitung minimalis. Hanya ada nasi goreng, mi goreng, beserta potongan tomat segar dan ada juga yang matang. Sepertinya dikukus. Pilihan lain adalah roti tawar dengan aneka selai. That’s it. Buah-buahannya pun hanya pepaya dan semangka. Tapi tamu bisa memesan telur pada pelayan.

Bagi anak-anak, menu tersebut sudah lebih dari cukup. Damar tentu saja mengambil nasi goreng dan mi goreng, dua masakan itu kesukaannya semua. Sedangkan Diandra mula-mula mengambil buah, namun kemudian juga tertarik dengan roti tangkup. Minumnya kami berempat kompak ambil jus jeruk.

Selepas makan Damar mengajak ke pantai. Kami melihat-lihat perahu yang berjajar di tepian. Sepertinya deretan perahu itu untuk disewakan pada wisatawan, tapi kemana ya tujuannya? Apa ke pulau-pulau kecil di tengah lautan sana? Sayangnya tidak ada petugas hotel yang bisa saya tanyai di sekitar situ. Tapi kalaupun iya, tak ada waktu untuk naik perahu dan menyeberang.

Benar saja. Belum lama kami berdiri di salah satu dermaga memandangi lautan, terdengar suara Pak Rahmat memanggil-manggil dari sebelah pool. Untungnya saya sudah sempat merekam aksi anak-anak di sana, plus selfie ala kadarnya dengan mereka di atas pasir. Lalu kami menuju ke mobil shuttle hotel untuk diantar ke bus.

Dipijat sampai Ketiduran

Rupanya rombongan kami menginap terpisah. Yang saya tahu tiga rombongan pemenang diinapkan di Bali Shangrila Beach Club, bersama rombongan blogger dan buzzer. Entah siapa saja yang menginap di Bali Palms Resort. Yang jelas bus tengah parkir di sana saat itu. Jadi, ke sanalah mobil shuttle membawa kami.

Just info, Bali Shangrila Beach Club dan Bali Palms Resort itu dua hotel satu kepemilikan. Kalau kita buka web resmi Bali Shangrila Beach Club, di sana juga terdapat logo Bali Palms Resort. Demikian pula sebaliknya.

Begitu seluruh anggota rombongan naik ke bus, jalanlah kami ke Ubud. Destinasi pertama hari itu adalah massage menggunakan scrub cokelat. Hmm, ini bakal jadi pengalaman pertama saya. Sepanjang jalan saya membayangkan siapa yang bakal memijat saya nanti. Laki-laki apa perempuan? Apakah saya harus melepas semua pakaian saat dipijat, atau boleh tetap memakai setidaknya celana pendek?

Saya cek di Google Map, saat menulis posting ini, jarak Candidasa ke Ubud sekitar 50 km. Harusnya jarak sebegitu dapat ditempuh dalam waktu paling lama sejam dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Tapi rupanya kami butuh lebih lama dari itu karena setidaknya dua sebab.

Pertama, ada kemacetan di beberapa titik. Kedua, hari itu tengah banyak upacara di pura-pura. Bus sering diberhentikan pecalang untuk memberi jalan bagi ummat Hindu yang mau menyeberang jalan.

Kira-kira dua jam kemudian sampailah kami di Ubud. Rombongan kembali terpecah dua karena tak ada tempat massage yang bisa menampung kami semua sekaligus. Rombongan pemenang dibawa ke Sedona Spa, sisanya di The Ponds. Kedua tempat terpisah jarak 3,3 km menurut Google Map. Tapi untuk menempuhnya saya rasa kok sampai 10-15 menit akibat padatnya jalanan Ubud.

Oke, masuk ke tempat spa kebingungan pun dimulai. Sewaktu kami digiring ke sebuah lorong menuju ke kamar-kamar tempat massage, seorang mbak-mbak bertanya pada kami. “Mau double?” Aduh, apa pula maksudnya ini. Saya cuma bisa tersenyum serba salah.

Masuk agak jauh ada mbak-mbak yang bertanya dengan bahasa lebih mudah. “Bapak mau dipijat berdua sama anaknya?” Saya segera saja mengiyakan. Kami langsung dibawa masuk ke sebuah ruangan terbuka. Ada dua buah tempat tidur, dua buah shower, dan satu bath tube besar di dalamnya. Saya langsung paham. Ooo, rupanya yang dimaksud double di sini satu ruangan dua orang.

Foto bareng Ibu Ria yang memijat istri dan Mbak Yanti yang memijat Diandra. Saya tidak sempat berfoto dengan mbak-mbak yang memijat saya dan Damar karena sudah ditunggu rombongan.

Tapi kebingungan belum berakhir. Begitu kami masuk mbak-mbak pemijat cuma bilang, “Silakan ganti bajunya dulu. Nanti saya masuk lagi.” Lalu dia keluar dan menutup pintu. Lho, ganti bajunya pakai apa? Di atas pembaringan cuma ada handuk dan kain. Saya yakin keduanya bukan untuk ganti.

Eh, ada satu benda lagi di atas pembaringan. Warnanya hitam, digulung kecil dalam sebuah bungkus plastik. Saya benar-benar tak paham benda apa itu dan untuk apa. Ya sudah, saya cuma lepas celana panjang. Masih dengan memakai kaos dan celana pendek saya memanggil si mbak masuk.

Si mbak yang entah siapa namanya saya lupa tanya masuk dan heran melihat saya masih berpakaian lengkap. Dia keluar lagi. Kemudian masuk seorang perempuan lagi, dari logatnya saya tahu betul ia orang Bali. Dari dialah saya tahu kalau benda hitam di dalam plastik tadi adalah panty. Jadi, biasanya tamu melepas seluruh pakaiannya – ya, SELURUH – lalu memakai panty tadi selama di-massage.

“Silakan dibuka bajunya, terus pakai panty ini biar pakaiannya nggak kotor. Nanti kan mau di-massage pakai scrub cokelat,” kata si mbak dengan huruf “T” tebal khas Bali. Setelah itu dia keluar.

Saya bengong. Saya buka bungkusan panty tadi. Alamak, menerawang!

Singkat cerita, kamipun di-massage. Pijatannya enak sekali, hanya pijatan Bapak dan Bude di Palembang yang bisa mengalahkan. Membuat saya merasa rileks sekali. Damar sampai ketiduran lho, padahal baru dipijat sekitar 10-15 menit. Jadilah mbak pemijatnya harus sabar membangunkan selama kira-kira 10 menit atau lebih.

Kabut di Kintamani

Beres dipijat kami dibawa ke The Pond Restaurant. Selain menjemput anggota rombongan lain, kami juga makan siang di restoran tersebut. Menunya luar biasa: bebek goreng – bebeknya utuh, lima tusuk sate besar-besar, satu cawan sup, aneka sayur mentah, aneka sambal, dilengkapi beberapa potong buah.

Dari pertama melihat saja saya tahu anak-anak nggak bakal sanggup menghabiskan menu tersebut. Benar saja. Damar cuma suka bebek gorengnya, itupun hanya beberapa potong. Dia tidak suka daging yang terlalu kenyal, jadi saya pilihkan bagian-bagian yang empuk.

Satenya sama sekali dia tidak mau. Siapa lagi yang menghabiskan sisanya kalau bukan saya? Karena itu saya tidak menyentuh nasi sama sekali. Makan 1,5 ekor bebek sudah sangat mengenyangkan. Belum lagi sate besar-besar itu.

Lepas makan kami jalan lagi, tujuannya ke Kintamani untuk melihat Gunung Batur dan Danau Batur. Jarak dari Ubud ke Kintamani hanya 40 km-an, tapi mungkin karena habis makan Damar tertidur di perjalanan. Sampai di Kintamani ia masih terlelap. Padahal bus berhenti selama 30-an menit dan semua penumpang lain turun untuk berfoto-foto dengan latar belakang Gunung Batur.

Damar masih terlelap ketika bus kembali jalan. Tujuan berikutnya Lovina. Kami diagendakan makan malam sambil menyaksikan tarian Bali di Aditya Beach Resort, sebelum masuk ke Hotel The Lovina Bali. Gunung Batur benar-benar tertutup kabut saat kami meninggalkan Kintamani. Sekitar pukul 8 malam WITA kami sampai di tujuan.

Kali ini bukan makan malam yang menyenangkan bagi kami. Diandra sudah tertidur sejak bus memasuki Singaraja. Istri sebenarnya tidak mau ikut turun ke restoran. Tapi tidak mungkin juga ditinggal di bus, karena Pak Nyoman juga harus makan. Jadi bus pasti bakal dikunci. Mau tidak mau istri ikut turun, dengan menggendong Diandra yang pulas.

Mana bisa ibunya makan sambil gendong anak begitu? Meskipun kemudian terbangun, Diandra tidak bernafsu makan. Ia maunya kembali tidur. Apa boleh buat, saya ajak Damar menyelesaikan makan cepat-cepat. Itupun saya tidak ambil makanan sendiri, hanya menghabiskan sisa makanan Damar. Tarian Bali yang seharusnya sedap dipandang jadi membosankan. Maafkan kami…

Karena Diandra hanya mau digendong, kami memilih keluar. Di dekat tempat parkir ada semacam taman, dengan lampu-lampu dan tanaman hias. Damar senang sekali di sana. Ia pinjam kamera dan mulai foto sana-sini. Diandra? Tambah ngantuk.

Mungkin melihat kami terus-terusan berdiri di taman kecil itu, Pak Nyoman keluar dari restoran. “Yuk, ke bus saja, Pak,” ajaknya.

Kami menurut. Sambil naik ke tangga bus saya yang merasa agak tak enak hati bertanya ke Pak Nyoman, “Bapak makannya sudah selesai?” Beliau hanya tersenyum.

Agak lama kami menunggu di bus. Diandra langsung tertidur lagi. Saya dan Damar bermain Google Maps. Kami melihat-lihat Pulau Bali dan mencari tahu di sebelah mana kami berada saat itu. Iseng saya mencari lokasi Hotel The Lovina Bali Resort, yang ternyata hanya berjarak 2,2 km dari restoran tersebut.

Entah berapa lama kami menunggu di bus, sampai akhirnya semua anggota rombongan naik dan perjalanan dilanjutkan. Sampai di hotel sudah mendekati pukul sembilan malam. Karena gelap, dan suasana hotel remang-remang, saya tidak tahu bagaimana rupa hotel tersebut. Yang kami tahu kamar kami serupa villa. Ya iyalah, namanya saja resort.

Kami ditempatkan di kamar D01, atau di papan petunjuk di pintu masuk tertulis D1. Itu sih menurut saya bukan kamar, tapi rumah di dalam hotel. Ada taman luas, lengkap dengan kolam renang ukuran sedang. Lalu ada gazebo berisi dua kursi malas. Kamarnya ada dua, dipisahkan sebuah ruangan lebar yang berfungsi sebagai semacam family room, dapur, sekaligus ruang makan.

Nah, yang bikin kurang nyaman kamar mandinya berkonsep terbuka. Jadi sambil mandi bisa lihat pepohonan yang tumbuh di sekitar kamar. Juga bintang-bintang di langit, plus suara desir angin. Meski berada persis di sebelah kamar tidur, tapi kesannya berada di luar karena dibatasi pintu.

Anyway, itu hotel yang sangat nyaman. Anak-anak langsung tertidur, demikian pula saya dan istri.

BERSAMBUNG…

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (410 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

5 Comments on Tur Cokelat Bali #3: Massage cokelat di Sedona Spa Ubud

  1. Jadi pengen spa coklat. Seger kayanya setelah dikejar deadline sebelum hari raya tiba. Trus jilat-jilat coklatnya deh… eh! hehehehe

    Suka

  2. Hihihi, sempat sih mikir gitu. Ta jilat apa ya? Mau tahu rasanya. Tapi kayanya pahit deh, kan cokelat itu rasa aslinya pahit sebelas-duabelas sama kopi.

    Suka

  3. Hihi kalau aku udah kujilat mas Eko, blom pernah coba lulur cokelat, baru krimbath aroma cokelat doang hihi

    Suka

  4. Pijat cokelatnya benar-benar pake cokelat lho. Dari baunya saja sudah ketahuan kalo itu cokelat beneran, hihihi. Sayang nggak sempat jilat rasanya gimana πŸ˜€

    Suka

  5. Wah … abis pijit cokelat terus makan-makan. Komplit sekali πŸ˜€ Pijat cokelatnya bikin penasaran.

    Suka

Beri komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: