Highlight:

Tur Cokelat Bali #2: Hujan-hujanan di Taman Ujung Soekasada

Taman Ujung Sukasada, Karangasem

HARI kedua di Bali hujan deras turun sejak pagi buta. Awalnya saya tak tahu kalau hujan, sebab kamar menghadap tembok pembatas hotel sebelah. Mepet sekali, hanya berjarak kira-kira 150-200 cm. Langit pun tak terlihat karena tertutup atap gedung. Satu-satunya petunjuk kalau sedang hujan adalah cuaca yang tetap gelap padahal jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WITA.

Lepas mandi anak-anak mengajak keluar kamar. Mereka bilang mau lihat kolam renang. Entah dari mana mereka tahu di Grand Ixora Resort Kuta ini ada kolam renang. Mungkin diberi tahu istri. Jadilah kami keluar. Lokasi kamar di lantai dasar, jadi ke kolam renang cukup berjalan beberapa menit saja.

Baca juga:
Asyiknya Tur Cokelat Bali bersama Frisian Flag
Tur Cokelat Bali Hari 1: Mengejar Sunset di Jimbaran, dan… Tertutup Awan!

Hujan tinggal rinai-rinai kecil, tapi tetap saja kami bakal basah kalau berlama-lama di kolam renang tanpa payung. Tak sampai 10 menit kami kembali ke kamar untuk berkemas-kemas. Lebih asyik menghabiskan waktu di restoran sembari sarapan. Apalagi malamnya anak-anak tak banyak makan sewaktu sunset dinner di Jimbaran.

Sarapan di hotel berbintang jadi pengalaman pertama bagi istri dan anak-anak. Saya cuma pernah mengajak mereka menginap di hotel melati sewaktu liburan ke Jogja pertengahan 2013. Sarapannya teh plus roti tangkup yang ditaruh di meja depan kamar. Pernah juga menginap di guest house setahun berselang, masih di Jogja, dan tidak dapat sarapan.

Bagi saya sendiri ini seolah deja vu. Dunia pariwisata termasuk di dalamnya perhotelan adalah bidang yang saya pelajari begitu lulus SMA. Dua tahun saya menempuh pendidikan pariwisata di sebuah kampus yang sudah bubar di Jogja. Sempat magang setengah tahun di Novotel Solo, lalu kerja sebagai resepsionis serabutan di Hotel Winotosastro Garden, dan pernah pula merintis karier sebagai pemandu wisata aka tour guide.

Jadilah lima menit pertama saya memandu istri dan anak-anak keliling restoran. Membukai satu-satu hidangan yang tersedia, mencari di mana minuman dan buah berada, juga piring dan sendok-garpu. Anak-anak senang sekali begitu melihat dua jus siap minum. Damar mengambil jus jambu, sedangkan Diandra mengambil jus sirsak.

Kira-kira satu jam kami di restoran. Lebih banyak menuruti tingkah Diandra yang ingin mencicipi semua makanan yang tersedia. Mula-mula nasi goreng sosis seperti kakaknya, lalu pengen coba mi goreng. Begitu saya kasih tahu ada buah dia minta semangka dan melon. Eh, melihat jejeran roti tawar dan aneka selai di dekat pintu masuk restoran dia mau juga. Terakhir, dia minta ketoprak. Alamak!

Belajar Batik Bali

Karena jarum jam sudah menunjuk ke angka 09.00 WITA, kamipun naik ke bus. Rupanya kami penumpang pertama. Peserta lain termasuk rombongan panitia masih bertebaran di restoran dan lobi menikmati sarapan masing-masing. Okelah, kita tunggu sembari bermain-main di dalam bus.

Destinasi pertama di hari kedua adalah workshop Batik Popiler II. Lokasinya di kawasan Tohpati, Denpasar. Saya awalnya tidak tahu apa nama tempat tersebut dan di mana alamatnya. Barulah setelah keluar dari sana saya baca papan nama di bagian depan. Alamat lengkapnya di Jl. WR Supratman No. 306, Denpasar.

Begitu turun dari bus kami digiring ke tempat wanita-wanita paruh baya duduk membatik. Pak Made, guide kami, memberi penjelasan mengenai batik Bali. Ada juga peraga alat-alat membatik, mulai dari wajan, kompor kecil, sampai canting dan malam. Lalu kami diberi secarik kain putih bergambar aneka rupa sebagai bahan belajar membatik.

Saya awalnya memilihkan gambar pola sepasang capung untuk Damar dan Diandra. Tapi mereka justru memilih gambar ikan. Pilihan yang membuat saya sadar kalau gambar capung lebih detil dan kompleks, tidak cocok untuk anak-anak. Kamipun bergantian mencoba menggoreskan malam dengan canting ke atas pola di kain.

Ternyata membatik butuh keahlian khusus ya. Seninya adalah bagaimana membubuhkan malam ke atas kain dengan rapi, tanpa tumpah berceceran, tapi juga tidak terlalu sedikit. Malam harus tembus hingga ke bagian belakang kain. Kalau tidak, gambarnya tidak akan terlihat setelah kain putih dicuci dan diwarnai.

Kerajinan seperti ini bukan kegiatan yang disukai Damar. Dia cuma bertahan sebentar, menggores satu gambar gelembung air, lalu digantikan adiknya. Tapi begitu melihat adiknya begitu asyik memindahkan malam dari wajan ke kain, dia minta giliran lagi. Saya dan istri bagian finishing, kemudian disempurnakan oleh ibu pembatik karyawan Popiler II.

Kain-kain hasil karya kami dikumpulkan ke ruang lain untuk dicuci, dan selanjutnya diwarnai. Tak lama berselang, tara! Jadilah sebuah kain batik cantik berwarna biru dengan gambar ikan putih.

Desa Adat Tenganan Pegringsingan

Perjalanan dilanjutkan ke Kabupaten Karangasem, tepatnya daerah Candidasa. Kami berhenti di restoran Lotus Seaview untuk makan siang. Tak seperti acara makan hari pertama di mana sup jagung selalu jadi appetizer, di restoran ini kami disuguhi soto ayam. Yumm! Damar dan Diandra pun lahap menghabiskan semangkuk soto jatah mereka.

Ada momen kecil yang menurut saya lucu. Begitu soto ayam terhidang di meja, salah seorang kontestan (namanya dirahasiakan) menanyakan nasi. Well, soto memang biasanya dimakan dengan nasi kan ya? Tapi karena di resto ini soto merupakan appetizer, jadi tak ada nasi yang dihidangkan.

Nasi baru nongol di hidangan utama, semacam pepes ikan komplit dengan potongan buncis dan wortel rebus. Juga dua macam sambal di wadah-wadah kecil. Kelihatannya sih enak, tapi rupanya anak-anak tidak suka. Saya sendiri merasa kurang sreg dengan nasinya menurut selera saya kurang lembut.

Habis makan anak-anak mengajak mendekat ke laut. Kami sempat foto-foto sejenak, tapi tak bisa bergaya maksimal maupun mencari spot terbaik. Pak Rahmat, tour leader Smailing Tour yang memimpin rombongan Tur Cokelat Bali, sudah memanggil-manggil dari kejauhan agar kami segera naik ke bus.

Destinasi berikutnya Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Desa ini terkenal sebagai salah satu desa tradisional tertua di Bali. Desa adat yang masih mempertahankan tradisi, upacara-upacar adat, dan aturan-aturan Bali kuno. Hingga 1970-an, desa ini bersifat inklusif. Warga desa baru berbaur dengan dunia luar begitu dipromosikan sebagai salah satu obyek wisata oleh pemerintah setempat.

Menurut Pak Made, wanita Desa Tenganan Pegringsingan hanya boleh menikahi pria sedesa. Kalau menikah dengan orang asing, katakanlah dengan orang Jawa atau bule, maka status kewarga-desaannya hilang. Ia tidak bisa kembali ke desa andaikata bercerai dengan pasangannya.

Desa Tenganan juga dikenal sebagai produsen tenun ikat tradisional buatan tangan. Nama Pegringsingan mengacu pada kata geringsing, sebutan bagi tenun ikat tersebut. “Gering” berarti “sakit” dan “sing” berarti “tidak”, sehingga bermakna “tidak sakit”. Warga Desa Tenganan percaya kain tenun ikat buatan mereka mempunyai kemampuan menyembuhkan penyakit. Sebab, benang yang dipakai menenun terbuat dari serat dedaunan hutan.

Catatan: Dua foto keluarga di Desa Tenganan Pegringsingan ini mungkin terjadi berkat kemurahan hati Mbak Shasya Pashatama yang menawarkan diri membantu kami berfoto. Thanks a lot, Mbak! Gusti Allah yang balas kebaikan Mbak.

Karena anak-anak bad mood – mereka menanti-nantikan kunjungan ke pabrik cokelat – kami tidak ikut masuk ke tempat pembuatan tenun ikat. Untungnya ada berbagai macam hewan di sana. Damar dan Diandra paling senang mengejar kelinci dan bermain payung.

Oya, tepat di dekat pintu masuk halaman desa, setelah patung dua kerbau, terdapat penjual merchandise berbahan daun tal atau lontar. Ada kalender Bali, ada gambar Barong, dan macam-macam hiasan dinding lain yang keseluruhannya terbuat dari lontar. Penjualnya dengan senang memperlihatkan pada kami bagaimana cara membuat tulisan dan gambar-gambar tersebut.

Main Ayunan Raksasa

Destinasi ketiga kami hari itu adalah pabrik cokelat milik seorang asing bernama Charles aka Charly. Jadi ingat novel dan film Charlie and The Chocolate Factory kan? Di Google Map tempat ini terdaftar sebagai Bali Chocolate Factory. Jaraknya hanya 15 km dari Desa Tenganan Pegringsingan. Bus kami mencapainya dalam waktu tempuh sekitar 45 menit.

Rupanya akses menuju bagian depan pabrik hanya berupa jalan setapak. Mobil kecil masih bisa lewat, tapi bus tidak. Kami diturunkan di tengah-tengah kebun kelapa, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 10 menit. Jalan kaki yang bikin betis saya kembali cenut-cenut. Pak Rahmat sempat menawari saya naik mobil pemandu yang dibawa seorang staf Smailing Tour. Tapi saya tidak enak hati menerimanya. Ada ibu hamil dan anak-anak yang lebih layak didahulukan.

Begitu masuk ke dalam area pabrik cokelat, kami dibuat terpesona oleh lautan luas yang berada tepat di depan. Bangunan-bangunan di pabrik ini juga unik. So instagramable pokoknya. Saya dan keluarga tak sempat foto-coto cantik berlatar belakang bangunan-bangunan tersebut. Damar dan Diandra lebih tertarik mencoba ayunan raksasa yang terletak di bagian lain.

Sebenarnya kami diagendakan melihat langsung pembuatan cokelat di pabrik tersebut. Tapi entah kenapa tidak ada yang mengajak kami masuk. Mungkin karena melihat kami lebih asyik bermain-main dan foto-foto di luar. Hehehe.

Ada tiga ayunan besar yang tergantung di batang-batang pohon kelapa. Kami memilih yang papannya lebih dekat ke tanah. Itu pun rupanya anak-anak tidak mau diayun karena takut jatuh. Ya sudahlah, kita foto-foto saja di sana.

Di pojok halaman terdapat bangunan lain menyerupai kapal. Damar dengan semangat berlari ke sana, masuk ke dalamnya walau kemudian dibuat kedinginan oleh angin laut yang berhembus kencang. Bangunan kapal-kapalan itu dibuat semirip mungkin dengan kapal asli, sehingga ada lambung, buritan dan dek. Saya iseng turun ke bawah, tapi cuma sebentar karena rupanya panas dan pengap sekali.

Mendekat ke pantai ada rerumputan hijau nan asri. Saya dan anak-anak turun ke bawah, memandangi laut, ombak, serta pulau-pulau kecil nun di kejauhan sembari menikmati semilir angin. Anak-anak kemudian berlarian di rerumputan, sampai Mbak Ade dan Pak Rahmat bergantian memanggil-manggil kami untuk kembali ke bus.

Dalam perjalanan kembali ke bus kami bertemu seekor babi. Begitu kami melewatinya, si babi seperti membuntuti saya. Sempat panik dibuatnya karena kondisi kaki tidak memungkinkan saya berlari. Untunglah ternyata babi tersebut hanya kebetulan saja jalannya searah dengan saya. Legaaa…

Naik-Turun Tangga di Taman Ujung

Saya pikir, atau lebih tepatnya berharap, tur hari itu sudah selesai begitu kami sampai di Villa Taman Ujung. Apalagi sampai sana hujan turun. Seharusnya sih, atau maunya saya, kami tinggal duduk manis menunggu jam makan malam saja di sana. Tapi kejadiannya tidak seperti itu.

Salah satu staf Villa Taman Ujung bernama Mbak Astri membagikan payung ke kami. Jadilah kami berjalan lagi, menuruni anak tangga demi anak tangga, menuju ke Taman Ujung Water Palace atau dikenal juga sebagai Taman Ujung Soekasada. Saya yang sebenarnya sudah sangat ingin mengistirahatkan kaki – betis saya semakin cenut-cenut – mau tak mau ikut berjalan juga.

Alasan utama saya apalagi kalau bukan anak-anak. Melihat antusiasme mereka, yang setengah berlari menuruni tangga demi tangga, saya kalahkan rasa nyeri di kaki. Sakit di kaki saya tidak ada apa-apanya dibandingkan besarnya rasa keingin-tahuan Damar dan Diandra. Lagian kapan lagi saya bisa mengajak mereka ke Taman Ujung?

Turut kata Pak Made, Taman Ujung merupakan sebuah taman relaksasi atau tempat tetirah Raja Karangasem. Kalau teman-teman pernah mengunjungi Taman Sari di Yogyakarta, kurang-lebih seperti itulah fungsinya. Bentuknya pun serupa, dengan sebuah kolam besar dan jembatan plus bangunan di atasnya. Hanya saja Taman Ujung menurut saya jauh lebih luas.

Kami melintasi jembatan beton di atas kolam, selintas melihat-lihat bangunan di antara dua jembatan, lalu sampai di taman berumput yang terletak di seberang kolam. Anak-anak senang sekali berada di sini. Mereka tak bisa berhenti bergerak, terus berlari-larian kecil dari satu sudut ke sudut lain. Sebisa mungkin saya ikuti pergerakan mereka.

Hujan mulai reda, tinggal rintik-rintik halus.

Lalu sampailah mereka ke sebuah tangga tinggi, yang di bagian atasnya terdapat reruntuhan bangunan. Damar tertarik ingin naik ke sana dan melihat reruntuhan bangunan tersebut. Saya ingin menyerah saat itu, tapi akhirnya ikut naik juga meski perlahan-lahan dengan badan penuh keringat.

Taman Ujung Sukasada Karangasem

Perhatikan deretan tangga ini, juga reruntuhan bangunan di atas sana. Ke sanalah Damar mengajak kami.

Taman Ujung Sukasada

Setelah sampai di atas, saya ditinggal sendirian. Damar lincah sekali menuruni tangga, tahu-tahu sudah sampai di tempat dia foto sebelum naik. Perhatikan anak kecil berkaos cokelat membawa payung biru di antara pepohonan berdaun kekuningan itu.

Ternyata keputusan anak-anak tepat! Begitu sampai di atas pemandangan indah memanjakan mata kami terpampang. Jika kita memandang lurus searah tangga, di sebelah kiri terlihat pebukitan hijau. Sedangkan di sebelah kanan tampak laut luas membiru. Kayangkan pandangan ke bawah, Taman Ujung terlihat lebih indah dilihat dari posisi lebih tinggi seperti itu.

Kami sempatkan foto-foto di atas, dengan latar belakang pemandangan pebukitan dan juga laut. Tak lupa kami juga berswafoto di depan reruntuhan bangunan yang, menurut penjelasan Pak Made, merupakan bekas gudang penyimpanan Belanda. Di depan reruntuhan gedung tersebut terdapat kolam dan ada ikannya. Damar dan Diandra senang sekali melihat-lihat ikan.

Makan Terenak di Bali

Tiba waktunya kembali ke resort karena waktu makan malam sudah dekat. Dari tempat kami berada sebenarnya tinggal berjalan ke arah kanan, tidak perlu turun lagi ke bawah. Semua jalan dan tangga di kawasan Taman Ujung dirancang saling terhubung dan tembus ke bagian depan resort. Tapi hujan kembali deras, dan kami harus mengambil payung yang tadi ditinggal di bawah. Okelah.

Tadinya kami direncanakan makan malam di restoran open air, di halaman rumput samping kolam renang. Meja-meja dan kursi sudah disiapkan sejak kami datang. Namun karena hujan tak kunjung berhenti, acara dinner dipindah ke bagian dalam.

Inilah makan terenak selama dua hari kami di Bali. Nasinya lembut, dengan lauk ayam kecap yang sedap, ditambah tumis brokoli dan jamur. Dan, oh, ada es buah! Rasanya super segar, paduan sirup-air-esnya pas sekali. Saya sampai habis tiga gelas lho. Ya, bolak-balik ke meja prasmanan untuk nambah lagi dan lagi.

Khusus Damar, dia sangat suka sekali makan dengan lauk ayam. Semua olahan ayam dia suka, asalkan tidak pedas. Tanpa malu-malu saya ambilkan sekitar 4-5 potong ayam kecap untuknya. Dan, habis! Ia benar-benar puas dengan makanan yang tersedia kali ini. Syukurlah. Itu artinya dia tidak akan mengeluh lapar lagi begitu bangun tidur.

Sembari makan kami disuguhi tari Bali. Tari pertama bernama Merak Angelo, di mana dua penarinya berdandan ala burung merak. Tari ini menggambarkan merak jantan yang bangga dengan keindahan bulu ekornya nan panjang. Ketika kedua penari mengegol-egolkan bokong menirukan gerakan buntut merak, Damar dan Diandra tertawa lepas melihatnya.

Dasar anak-anak…

Makan malam selesai, kami kembali naik bus untuk menuju ke Bali Shangrila Beach Club. Hotel ini terletak sekitar 11 km dari Taman Ujung. Lokasinya justru tidak jauh dari Lotus Seaview Resto tempat kami makan siang. Perjalanan ke hotel juga melewati pabrik cokelat. Jadi, ceritanya kami berbalik arah menuju ke tempat kami datang.

Tur Cokelat Bali hari kedua ditutup begitu kami tiba di hotel. Seperti hari pertama, kami dapat connecting rooms dengan salah satu kamar bertipe apartemen. Super lebar. Terdiri atas dua ruangan. Satu ruang berisi satu set sofa, tivi layar datar + DVD player, dan kitchen set komplit. Ruangan satunya tempat tidur dengan dua balkon, menghadap laut dan teras hotel.

Di apartemen itu ada bath tube-nya. Begitu tahu ini anak-anak langsung minta mandi berendam pakai air hangat. Lama sekali mereka bermain-main air hangat dari shower. Susah payah saya dan istri membujuk mereka keluar dari bath tube.

Pukul setengah 10 barulah Damar dan Diandra mau mentas. Sebenarnya mereka masih ingin bermain-main setelah pakai baju, tapi kami cegah. Kami setengah memaksa mereka untuk pergi tidur. Dengan wajah kurang senang keduanya masuk selimut, lalu tertidur pulas.

Kamipun ikut tidur. Kami harus cukup istirahat karena perjalanan di hari ketiga bakal jauh lebih melelahkan. Bayangkan saja, dari Candidasa di bagian tenggara Pulau Bali kami akan dibawa ke Lovina di utara. Perjalanan setengah memutari Pulau Dewata itu menurut Google berjarak 111 km, dengan estimasi waktu tempuh 3 jam. Realisasinya lebih lama dari itu.

BERSAMBUNG…

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

14 Comments on Tur Cokelat Bali #2: Hujan-hujanan di Taman Ujung Soekasada

  1. Diandra ya? Hihihi, sebenernya dua-duanya ekspresif, tapi kakaknya lebih pemalu kalo ketemu orang baru.

    Suka

  2. anak mu yang cewek ekspresif banget yo mas hehe

    Suka

  3. Iya nih, Taman Ujung asyik banget tempatnya. Sayang pas itu datang sudah sore, mana hujan pula. Untungnya nggak becek dan nggak harus naik ojek. Hehehehe. Insya Allah bisa ke sana lagi. Belum puas! 🙂

    Suka

  4. Serunya Mas Ekooo…
    Ngiri deh…apalagi bagian yang ke Taman Ujung ini.
    Cita-cita yang belum kesampean niih. Ke Karangasem. Huaaaa….

    Suka

  5. Alhamdulillah, kami terutama anak-anak seneng banget ikut Tur Cokelat Bali yang diadakan Frisian Flag Indonesia ini. Anak-anak kalau diajak pelesiran emang gitu, lari-lari nggak karuan deh. Semangat banget. Hehehehe…

    Suka

  6. Frisian Flag sengaja ngajak kami ke destinasi yang belum populer alias anti-mainstream, jadi tempat-tempat yang tak banyak dikunjungi wisatawan. Lebih seru kalo kata saya sih, hehehe.

    Suka

  7. Jagoannya semangat dan ga pernah lelah, karena asupan gizinya kayaknya 😀
    Liburan keluarga yang membahagiakan ini.

    Suka

  8. Jadi punya banyak rekomendasi tempat liburan selain pantai di Bali. Senangnya kedua anak Bung Eko bisa liburan ke Bali.

    Suka

  9. Aku baca timeline-nya Mbak Shasya pas itu. Ah, andai bisa ketemu juga. Aku pulangnya duluan sih, gak bareng rombongan yang ke Jakarta. Aku langsung ke Semarang, jadi jam 11 sudah di bandara.

    Suka

  10. Aku baru tau ttg batik bali, blm pernah berkunjung
    Btw waktu kalian di bali, aku juga di bali, waktu pulang sempet ketemu kak shasya di bandara

    Suka

  11. Hehehe, makasih banyak, Mbak.
    Rejekinya anak-anak itu, mereka yang semangat banget ikutan lomba Tantangan Joget Cokelat-nya Frisian Flag Indonesia. Mereka juga yang pengen banget ke Bali (kami juga sih, tapi nggak sesemangat mereka). Alhamdulillah…

    Suka

  12. Kapan-kapan kita jalan-jalan bareng ke sana, Mas. Amin 🙂

    Suka

  13. Yeay.. Seru ya bisa jalan2 ke Bali bareng keluarga. Gratisan lagi. Selamat Mas Eko. Semoga kecipratan hoki… 😀

    Suka

  14. Waah keren bangeta dah Bali, tamanya itu lo bikin adem pikiran

    Suka

1 Trackback / Pingback

  1. 6 Tempat Wisata Unik di Bali yang Mungkin Belum Kamu Tahu – bungeko.com

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.