Jadi turis di kota kelahiran sendiri (Wisata Palembang bagian I)

“GIMANA ya rasanya jadi wisatawan di kota kelahiran sendiri?” Pertanyaan itu spontan timbul dalam benak saya tak lama setelah mendapat telepon dari Mbak Ira Hairida, mewakili panitia Lomba Blog Jelajah Musi Triboatton 2016, awal bulan ini. Ya, sebagai salah satu dari tiga pemenang, saya diundang ke Palembang selama dua hari dua malam.
Agenda utama kunjungan ke Palembang tersebut menyaksikan etape terakhir dan closing ceremony International Musi Triboatton 2016 di Benteng Kuto Besak, 15 Mei 2016. Tentu kami juga diajak berkeliling ke berbagai destinasi menarik di Kota Pempek. Plesir, plesir… Lengkap dengan wisata kuliner khas. Wuih, kenyang pokokmen!
Palembang bukan kota asing bagi saya. Lahir pada 1982 dan tinggal di sini hingga 1992, kira-kira 10 tahun saya menghabiskan fase awal kehidupan sebagai seorang manusia di kota ini. Setelah pindah ke Batumarta di Ogan Komering Ulu (kini masuk wilayah OKU Timur), dan kemudian Jambi, saya tetap mengunjungi kota ini setidaknya sekali dalam 1-2 tahun.
Namun tetap saja saya tak mengenali Palembang secara utuh. Yang saya tahu persis hanya kawasan Lebong Siareng tempat saya lahir dan menghabiskan masa kecil, serta jalan masuk menuju ke sana. Dari Paal V cari saja Jl. Sosial, lalu ikuti jalan tersebut hingga ke simpang lima yang menjadi penanda Lebong Siareng.
Dulu banyak mobil ketek ngetem di Pasar Paal V, melayani rute Paal V ke Lebong Siareng sampai Perumdam di Jl. Mayor Zurbi Bustan dan sebaliknya. Entah sejak kapan angkutan umum bekas kendaraan militer Perang Dunia II ini lenyap dari Palembang. Kalau tak salah ingat, saya terakhir kali naik mobil ini pada tahun 2002. (Baca juga: Mobil Ketek Tinggal Kenangan)
Terpilih menjadi salah satu pemenang Lomba Blog Jelajah Musi Triboatton 2016 langsung membangkitkan kenangan masa kecil. Sungai Musi yang jadi lokasi lomba seringkali saya lewati dulu saat diajak Ibu mengunjungi seorang bude di Plaju. Jembatan Ampera nan megah, bundaran air mancur yang indah, serta Masjid Agung nan elok. Semuanya masih terekam jelas dalam ingatan.
Kereta Molor 2,5 Jam
Saya berangkat dari Pemalang pada 13 Mei sore hari, menumpang kereta Tawang Jaya. Menurut jadwal di tiket, kereta tiba di Stasiun Pasar Senen pada pukul 20.38 WIB. Masih sangat sore. Saya bisa melanjutkan perjalanan dengan KRL ke Palmerah, lalu menginap nyenyak di tempat adik. Sayang, kereta rupanya molor hingga 2,5 jam. Kereta baru masuk Senen hampir pukul setengah 12 malam!
Dari Senen ke Palmerah kita harus transit dan pindah kereta di Stasiun Tanah Abang. Khawatir KRL tujuan Bogor di Tanah Abang sudah berangkat, saya memilih menelepon seorang kawan sesama orang Pemalang yang jadi driver Gojek. Tapi ini bukan solusi bijak, karena kawan saya ini rupanya tidak hapal daerah Palmerah. OMG! Jadilah kami berhenti di SPBU Gelora dan menunggu adik saya menjemput.
Sampai kontrakan adik jam sudah menunjukkan nyaris pukul satu dini hari. Ah, nggak jadi deh tidur nyenyak semalaman. Tepat adzan Subuh saya terbangun, lalu mandi lanjut sarapan, dan jam enam sudah ke Slipi untuk mencari taksi ke bandara. Syukurlah perjalanan ke bandara berjalan lancar. Tak sampai setengah jam taksi sudah menurunkan saya di Terminal 1C Bandara Soekarno-Hatta.
Saya sepesawat dengan satu pemenang lain, yakni Mbak Katerina S. si empunya blog Travelerien. Tapi tunggu punya tunggu, Mbak Katerina rupanya baru masuk ruang tunggu pas penumpang penerbangan Batik Air ID 6872 Jakarta-Palembang dipersilakan masuk ke dalam pesawat. Jadilah saya baru bisa berkenalan dengannya di tangga pesawat.
Penerbangan berjalan lancar. Pesawat mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II tepat saat hape saya menunjukkan 09.40 WIB. Di lobi sudah menunggu Mas Jonny dari tim digital marketing Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Selatan. Ternyata bukan cuma kami yang dijemput, ada Mas Bram Kushardjanto dan Mas Danny Tumbelaka yang punya janji temu dengan Ibu Irene Camelyn Siregar, Kepala Disparbud Sumsel. Lalu Mbak Relinda Puspita, pemenang satunya lagi, juga ikut menjemput kami.
Kemacetan langsung menyambut mobil yang kami tumpangi begitu keluar dari kawasan bandara. Palembang tengah ada proyek besar, membangun jaringan light rail transit (LRT) untuk menyukseskan gelaran Asian Games 2018. Jadilah jalanan protokol dari Talang Betutu hingga ke tengah kota menyempit karena di bagian tengah-tengahnya ada proyek pembuatan tiang-tiang pancang LRT.
Pindang Patin di Bawah Jembatan Ampera
Perjalanan kami di Palembang diawali dengan mengikuti kelas Akademi Berbagi. Hadir sebagai pembicara Mas Muhammad Arif Rahman, travel blogger top yang terpilih sebagai Indonesia’s Best Travel Blog of the Year 2014 versi Skyscanner Indonesia dan Indonesia’s Best Travel Blog of the Year 2015 versi Blogger Camp. Turut hadir pula Mas Sutiknyo alias Tekno Bolang (@Lostpacker) dan Mas Wira Nurmansyah, dua travel blogger yang tak kalah ngetop dari Mas Arif.
Usai acara, lanjut deh foto-foto bersama. Kemudian rombongan kami dipecah jadi dua mobil, mau diajak makan siang di warung makan terapung Sungai Musi di sebelah Pasar 16 Ilir. Mobil pertama berisi saya, Mbak Rien, Mbak Linda, Mas Jonny dan pengemudi. Sedangkan mobil kedua terlihat lebih sesak sengsara karena Mas Bolang, Mas Wira dan Mas Bram yang kesemuanya berbadan jumbo ada di sana. Ditambah Mas Danny, Mas Arif, Mbak Gladies, serta Mbak Ira sebagai tour guide sekaligus juru antar.
Mobil diparkir di halaman Ampera Center Point yang berseberangan persis dengan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Jembatan Ampera sudah mengintip di sela-sela atap banggunan, ditingkahi suara perahu ketek yang lalu lalang di Sungai Musi. Kami berjalan kaki menuju dermaga di bawah jembatan, disambut teriakan pemilik perahu ketek yang berteriak-teriak “Kemaro! Kemaro!” dan ibu-ibu pemilik lapak makanan berseru “Pindang! Pindang!”
Sembari menunggu rombongan mobil Mbak Ira, kami melihat-lihat suasana. Mbak Rien mengarahkan kamera DSLR-nya ke beberapa obyek, sedangkan Mbak Linda berjalan-jalan ke arah perahu-perahu ketek ditambatkan. Saya sendiri memilih duduk-duduk di bangku beton yang ada di dekat pagar pembatas dari besi, memandangi Jembatan Ampera nan gagah.
Sontak saya teringat beberapa kenangan menegangkan tapi lucu di sekitaran bawah Jembatan Ampera. Dulu di bawah jembatan ini ada terminal. Saya beberapa kali ke terminal tersebut, diajak Ibu mencari bus ke Baturaja. Calo di Terminal Ampera sangat agresif. Kalau cuma tas dipegangi sampai direbut supaya calon penumpang ikut ke busnya si calo sih sudah pemandangan biasa waktu itu.
Bapak saya pernah saling tendang dengan seorang calo gara-gara adu ngotot soal bus. Saya jadi saksi mata peristiwa tersebut. Lalu bulek saya malah pernah menangkap basah copet yang kedapatan merogoh kantongnya saat tengah menunggu bus. Dompet Bulek sudah tidak ada di tangan si copet, tapi karena dipiting sama Bulek akhirnya dia mengaku. Dompet pun dikembalikan dengan dongkol oleh partner in crime copet tersebut. Ini true story lho, bisa di-cross check ke Bulek saya yang tinggal dekat Pasar Batumarta VI, OKU Timur.
Setelah sekitar 10 menit menunggu, akhirnya rombongan Mbak Ira datang. Kami pun masuk ke Warung Makan Mbok War, sebuah warung makan terapung dengan perahu bercat merah. Menu pindang jadi favorit rombongan kami. Makan siang diiringi suara perahu ketek dan deburan air Sungai Musi, alangkah nikmatnya.

FOTO: Katerina S.

FOTO: Katerina S.

Warung makan terapungnya begini, tapi bukan di sini tempat kami makan siang 🙂


Makan siang kita. #MusiTriboatton2016 #PesonaSriwijaya @pesonasriwijaya pic.twitter.com/O8lMbeHSkF
— Eko Nurhuda (@bungeko_) 14 Mei 2016
//platform.twitter.com/widgets.js
Ada beberapa jenis pindang yang disajikan di Warung Makan Mbok War. Saya sendiri memilih pindang patin, minumnya es jeruk. Tak seperti es jeruk kebanyakan yang berwarna kuning atau oranye, es jeruk Mbok War warnanya bening seperti air putih biasa. Namun rasanya segar bukan kepalang.
Pindangnya bagaimana?
Di mana-mana ya pindang itu rasanya asam pedas. Tapi sensasi makan di atas warung yang sebenarnya adalah sebuah perahu menjadi pengalaman berkesan bagi saya. Bayangkan kita makan sembari restorannya naik-turun bergoyang-goyang mengikuti gelombang air Sungai Musi. Oya, in my opinion es jeruknya juara. 🙂
International Musi Triboatton 2016
Lepas makan siang, kami dibawa Mbak Ira ke Ampera Center Point. Ini adalah tempat nongkrong favorit anak muda Palembang. Berupa bangunan dua lantai yang bagian bawahnya terdiri dari J.CO, KFC, Soto Kwali, Bebek Garang, dan sebuah rumah makan Padang. Di lantai dua ada convention hall yang dikenal dengan nama Ampera Convention Center. Acara pernikahan dan konser musik seringkali diadakan di sini.
Duduk-duduk di Ampera Center Point sangat asyik sekali, karena pada bagian belakangnya tepian Sungai Musi dengan Jembatan Ampera terlihat di kejauhan. Cocok untuk foto-foto atau sekedar ngobrol santai. Saya yang kurang tidur memesan espresso biar tidak mengantuk. Mbak Ira memesankan aneka donut sebagai teman minum.
Mendekati jam tiga, kami bergerak ke pelataran Benteng Kuto Besak untuk menyaksikan etape terakhir Internasional Musi Triboatton 2016. Sebuah tenda besar didirikan untuk menampung tetamu undangan dari berbagai kalangan. Lomba baru saja dimulai saat kami tiba di venue. Terlihat beberapa tim tengah melakukan pemanasan, sebagian lagi tampak mendayung perahu menuju lokasi start.
Baru beberapa tim berlomba, hujan deras disertai angin kencang menerjang. Penonton kocar-kacir, berlarian menuju ke tenda-tenda putih yang bertebaran di plaza Benteng Kuto Besak. Atlet dan jurnalis, juga kami para blogger undangan, berhamburan ke dalam tenda utama. Lomba tetap berlangsung.
Internasional Musi Triboatton adalah lomba balap perahu di atas Sungai Musi yang mempertandingkan tiga jenis perahu. Masing-masing tim diadu ketangkasannya dalam mengemudikan perahu kayak (canoe), perahu karet (rafting), dan perahu naga. Pada gelaran tahun ini sebanyak 16 tim dari tujuh negara ikut berpartisipasi. Selain tim-tim Indonesia, ada pula peserta dari Tiongkok, Makau, Philipina, Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia.

Foto bareng tim dayung Malaysia. “Saye nak ambik gambar dengan awak boleh ke?” 😀
Saya sempat berbincang-bincang sejenak dengan ofisial tim Malaysia di tenda utama. Tim yang saat itu bertanding adalah tim dayung Polis Diraja Malaysia (PDRM), seluruhnya beranggotakan polisi. Menurut ofisial yang lupa saya tanya namanya tersebut, tim PDRM sudah berulang kali ikut serta dalam Musi Triboatton.
Untunglah hujan reda tak lama kemudian. Penonton kembali menyemut di tepian Sungai Musi untuk menyaksikan balap perahu ini. Sayang mendung tebal yang menggantung di atas langit membuat foto-foto hasil jepretan saya tak maksimal. Maklum, saya hanya berbekal ASUS Zenfone dan sebuah kamera digital. Dibikin minder sama blogger-blogger lain yang bawa kamera moncong panjang.
Begitu lomba selesai kami diajak ke hotel. Tapi di tengah jalan Mbak Ira mengajak mampir ke Kedai Harum, sebuah kedai etnik dengan sajian khas Palembang. Ada aneka pempek, burgo, laksan, tekwan, model, ragit, dan makanan khas lain. Saya yang sudah lama sekali tak makan model memesan makanan berkuah ini.
“Mumpung di Palembang,” pikir saya teringat ucapan Mbak Ety di Facebook.

Photo courtesy Katerina S., taken by Relinda Puspita.
Sore-sore makan model + es sugu di Kedai Harum. Nyam! Mau? #MusiTriboatton2016 #PesonaSriwijaya @pesonasriwijaya pic.twitter.com/FaiZBNqI39
— Eko Nurhuda (@bungeko_) 14 Mei 2016
//platform.twitter.com/widgets.js
Mbak Rien rupanya penasaran berat dengan Pempek Tabok, jadilah ia pesan satu. Sedangkan Mbak Linda tertarik dengan ragit, makanan dari tepung pati dengan kuah santan kental. Minumannya kami sepakat ke satu pilihan, es sugu alias es yang berbahan susu campur gula merah.
Tepat adzan Magrib kami keluar dari Kedai Harum. Tujuan berikutnya Hotel Amaris tempat kami menginap di malam pertama.
Martabak HAR Palembang
Usai mandi dan istirahat sejenak, Mbak Ira kembali mengajak kami keluar. Tujuan pertama menikmati Martabak HAR. Ini martabak khas Palembang yang, konon, cita rasanya tidak ada yang menyamai di manapun. Menurut cerita sih resep Martabak HAR adalah kreasi Haji Abdul Rozak, inovator jajanan ini sekaligus pendiri Martabak HAR. HAR sendiri merupakan akronim Haji Abdul Rozak.
Martabak HAR sudah eksis sejak 7 Juli 1947. Haji Abdul Rozak adalah seorang perantauan keturunan India yang menikah dengan gadis Palembang. Kedai pertamanya berdiri di Jl. Jend. Sudirman, dekat bundaran air mancur depan Masjid Agung, yang masih tegak hingga saat ini. Ke sanalah kami diajak Mbak Ira.
//platform.instagram.com/en_US/embeds.js
Haji Abdul Rozak mempunyai delapan anak dan semuanya menjual Martabak HAR. Selain mereka, ada pula beberapa pihak yang membuka toko bernama Martabak HAR. Namun Martabak HAR asli bisa dilihat dari adanya foto Haji Abdul Rozak dalam banner, juga di dalam toko. Anak-anak muda yang suka suasana lebih modern dan gaul biasanya nongkrong di Martabak & Resto HAR milik cucu Haji Abdul Rozak di Jl. Jendral Sudirman No. 2269.
Begitu martabak di piring kami tandas, perjalanan pun dilanjutkan. Lagi-lagi kami ke plaza Benteng Kuto Besak, kali ini untuk menyaksikan keindahan Jembatan Ampera di waktu malam. Jembatan berusia lebih dari 50 tahun tersebut tampak indah oleh lampu warna-warni yang dipasang di seluruh badan jembatan.
Sesi wisata malam kami isi dengan foto-foto. Mas Wira, Mbak Katerina, Mas Danny, dan Mas Arif sibuk foto dari berbagai angle. Mas Arif sampai bawa tripod segala. Lainnya asyik selfie dan wefie berlatar belakang Ampera. Saya tak suka selfie, jadi hanya sekali saja menjepret jembatan untuk status media sosial, selebihnya duduk-duduk menyaksikan tingkah polah kawan-kawan lainnya.
Etapi lama-lama saya kepengen juga difoto berlatar belakang Jembatan Ampera. Karena baterai kamera Mbak Katerina habis, saya minta tolong Mas Wira untuk mengambil foto. Lumayanlah buat kenang-kenangan untuk anak-cucu nanti, hehehe…
Bersambung…
Di Musi Banyuasin banyak etnis Sekayu. Bahasanya beda banget sama Melayu Palembang. Kalau bahasa Palembang huruf akhir tiap kata “a” diganti jadi “o”, di bahasa Sekayu jadi “e”.
Saya penasaran sama Mas Eko Putra itu. Sepertinya dia keturunan Jawa tuh, makanya namanya Eko. Sebab orang Sumsel tidak seperti orang Sumut yang mau pakai nama khas etnis lain untuk nama anaknya, jadi Mas Eko ini pasti keturunan Jawa.
SukaSuka
Sejak SMA dulu saya punya sahabat, seorang penyair. Kenalnya dari blog. Dia orang Musi Banyuasin. Saya banyak membaca tentang Sumatera Selatan dari puisi-puisi yang tuliskannya.
Oh ya, namanya juga Eko. Eko Putra lebih tepatnya.
Puisi-puisinya banyak bercerita tentang Musi 🙂
SukaSuka
Hehehe, alhamdulillah. Ini plesiran gratis pertamaku berkat ngeblog. Masih penasaran sih dengan beberapa destinasi di Palembang, mudah-mudahan lain kali bisa ke sana lagi.
SukaSuka
Kalau mau jujur sih 2 hari itu kurang banget untuk eksplore Palembang sepuas-puasnya. Tapi ya lumayanlah untuk mengobati rindu, sekaligus seneng banget bisa jalan-jalan bareng travel blogger keren kaya Mbak Rien, Mas Arief, Mas Wira, dan Mas Bolang. Oleh-olehnya semua akun medsosku di-follow orang-orang keren. Wow!
SukaSuka
Sama-sama, Bro. Senang juga bertemu dirimu dan Maman 🙂
Batumarta itu daerah trans deket Martapura, dulu masuk wilayah OKU, sekarang ngikut OKU Timur. Dari Baturaja ke Batumarta antara 1-2 jam, tergantung mau ke unit mana.
SukaSuka
Aaaahhhhh…ngiri deh baca ini. Pempek dan kawan-kawan mengundang selera bener. Walau jadi turis tapi yang penting bisa kembali ke tanah kelahiran ya. Ketemu teman-teman baru lagi 🙂
SukaSuka
Aku suka sekali baca tulisan mas Eko yang runut dan rapi ini. Jadi teringat kembali rangkaian perjalanan di hari pertama kita di Palembang. Epic banget bagian kocar kacir di tenda saat nonton balap perahunya haha….. seru seruuuuu…
Kulineran sampe kenyang, puas banget ya!
SukaSuka
Senang bisa bertemu mas Eko, gak nyangka ternyata kelahiran Palembang 🙂 btw yg di OKU mungkin nama daerahnya Baturaja kali ya. Atau Martapura. Soalnya baru dengar ada daerah namanya Batumarta. Semoga bisa jumpa lagi di kesempatan yang akan datang 🙂
SukaSuka