Highlight:

Musi Triboatton, balap perahu menyusuri Venesia dari Timur

PALEMBANG disebut-sebut sebagai Venesia dari Timur karena begitu banyaknya sungai mengaliri kota ini. Satu di antaranya adalah Sungai Musi, sungai yang membelah Palembang menjadi Ulu (hulu) dan Ilir (hilir). Sungai yang menjadi sandaran hidup banyak warga di sepanjang tepiannya. Sungai yang di bulan Mei ini bakal menggelar ajang bertaraf internasional, Musi Triboatton 2016.

Bagi wisatawan, Sungai Musi dikenal dengan Jembatan Ampera yang menjadi landmark Kota Palembang. Jembatan yang merupakan jembatan terpanjang di Sumatera, dengan bentangan lebih dari satu kilometer dari sisi satu ke sisi lainnya. Satu paket dengan Sungai Musi dan Jembatan Ampera adalah Benteng Kuto Besak, benteng kuno yang merupakan tembok istana Kesultanan Palembang Darussalam.

Belakangan, berfoto selfie di pelataran Benteng Kuto Besak dengan latar belakang Jembatan Ampera menjadi tren di kalangan wisatawan. Tak lengkap rasanya berkunjung ke Kota Palembang kalau tak selfie di sini.

Ini pula yang dilakukan adik-adik dan sepupu saya saat mengunjungi Palembang dalam rangka memperingati tujuh hari kematian Simbah, belum lama ini. (Baca juga: Kabar Duka dari Palembang)

Bagi saya yang lahir dan tumbuh besar di Palembang, Sungai Musi dan Jembatan Ampera adalah kenangan tak terlupakan. Saya seringkali diajak Ibu melintasi jembatan ini, menyeberangi sungai ini, dengan menumpang bus kota.

Riak-riak airnya, suara perahu ketek yang melintas di atasnya, rumah-rumah papan di sepanjang tepiannya, cerobong asap PT Pusri di kejauhan, juga dua menara jembatan dengan tulisan “AMPERA”, semuanya sangat lekat dalam memori saya.

Masa itu kami punya saudara yang tinggal di Plaju. Beliau sepupu Bapak. Nama aslinya Juarni, namun saya dan adik-adik lebih akrab memanggil beliau Bude Plaju. Kelak ketika Bude pindah ke Kenten Laut, panggilan kami ke beliau pun berganti jadi Bude Kenten.

Bude menikah dengan Saari Sagiman, panggilan akrabnya Pakde Ari. Kalau ada yang bertanya apa hubungan Pakde Ari dengan Sainan Sagiman, gubernur Sumatera Selatan periode 1978-1988, silakan cari sendiri di Google.

Bude dan Pakde Ari adalah sosok-sosok yang sangat berjasa besar bagi keluarga kami. Waktu itu Bapak ikut bekerja pada perusahaan kontraktor milik Pakde. Dari jadi buruh bangunan, sampai dipercaya menjadi mandor proyek.

Sedangkan Ibu seringkali tinggal bersama Bude di Plaju jika Bapak merantau karena mendapat proyek di luar kota. Ketika dalam masalah, kepada Bude-lah Ibu biasa mengadu. Karena itu hubungan emosional kami sekeluarga dengan beliau sangat dekat.

Selama tinggal di Palembang, secara berkala Ibu mengunjungi Bude Plaju. Mulai dari sekadar silaturahim melepas rindu, sampai menumpang mencuci baju kalau sumur di rumah kami di Lebong Siareng, Sukarami, tak ada airnya.

Dalam perjalanan menuju ke dan pulang dari Plaju inilah saya akan melintasi Sungai Musi. Begitu bus kota sampai di bundaran air mancur dekat Masjid Agung, saya dan adik-adik pun berdiri di jok bus, bersiap menyambut Jembatan Ampera dan Sungai Musi di hadapan.

Menurut cerita Bapak yang sejak awal 70′-an tinggal di Palembang, dulu bagian tengah Jembatan Ampera bisa dinaik-turunkan. Jadi dua menara jembatan berfungsi sebagai pengerek.

Bagian tengah jembatan diangkat ke atas saat ada kapal besar melintasi sungai, kemudian diturunkan lagi begitu tak ada kapal lewat. Sayang, semasa saya kecil Jembatan Ampera tak pernah lagi dinaik-turunkan begitu.

FOTO: TribunNews.com

Musi Triboatton 2016

Saya juga pernah diajak menyaksikan Lomba Bidar, lomba balap perahu di Sungai Musi. Event ini diadakan setiap perayaan HUT Kota Palembang pada 17 Juni, juga saat HUT Kemerdekaan RI di bulan Agustus.

Selain bidar, biasanya juga dilombakan perahu hias. Jika pemenang bidar ditentukan oleh kecepatan perahu mencapai garis finish, maka pemenang perahu hias dinilai dari bagus-tidaknya hiasan pada perahu tersebut.

Bukan perkara mudah bagi Ibu untuk membawa saya dan dua adik yang masih kecil-kecil menyaksikan lomba bidar. Pada momen-momen begitu, Jembatan Ampera penuh sesak oleh manusia yang ingin menonton bidar. Harus datang awal jika ingin dapat spot bagus, itupun dengan risiko menunggu lebih lama dan susah mencari jalan pulang karena tertutup oleh keramaian.

Saya sendiri pernah terpencar dari Ibu dan dua adik, tetapi beruntung bisa kembali ke rumah dengan selamat setelah secara tak sengaja ditemukan oleh tetangga sebelah rumah. Alhamdulillah…

Kini, event di Sungai Musi bertambah dengan diadakannya Musi Triboatton. Ajang lomba perahu tahunan ini mulai diselenggarakan sejak 2012, dengan peserta tak cuma dari Indonesia. Karenanya ajang ini juga disebut sebagai International Musi Triboatton.

Untuk gelaran tahun ini, ratusan peserta berasal dari 12 negara. Selain tim Indonesia sebagai tuan rumah, juga turut hadir tim-tim dari Malaysia, Brunei Darussalam dan beberapa negara lain.

Musi Triboatton 2016 sudah di-launching oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam sebuah acara di Balairung Soesilo Soedarman Gedung Sapta Pesona Kementerian Pariwisata, Jakarta, pada 7 April lalu. Gubernur Sumatera Selatan Ir. H. Alex Noerdin, SH juga turut hadir bersama sejumlah bupati yang wilayahnya turut menjadi tuan rumah event ini.

Berbeda dengan bidar yang hanya menempuh jarak pendek di sekitaran Jembatan Ampera, rute Musi Triboatton 2016 membentang sepanjang 500 km. Dibagi menjadi lima etape, peserta akan melintasi empat kabupaten sebelum mengakhiri perlombaan di Kota Palembang.

Tentu saja lomba tak berlangsung dalam sehari, seperti halnya bidar. Melainkan memakan waktu hingga lima hari selama 11-15 Mei 2016.

Uniknya, peserta akan memakai tiga jenis perahu selama mengarungi Sungai Musi: kayak, dragon boat (perahu naga), dan rafting. Itulah sebabnya event ini dinamai Musi Triboatton.

Saya coba menebak, istilah “triboatton” ini merupakan singkatan three-boats marathon alias lomba perahu jarak jauh menggunakan tiga jenis perahu. Mungkin begitu, mungkin juga bukan. Hehehe.

Berikut urut-urutan rute lomba.

Peta rute Jelajah Musi 2010 yang diadakan oleh Kompas, sedikit-banyak mirip dengan rute kelima etape Musi Triboatton 2016. FOTO: Kompas.com

Etape I (11 Mei 2016)
Lomba diawali dengan etape pertama yang berjarak 35 kilometer, start dari Desa Tanjung Raya, Kecamatan Pendopo Barat, Kabupaten Empat Lawang. Lalu di Desa Ulak Mengkudu, tepatnya di Lapangan SD Negeri 14 Empat Lawang, sebagai lokasi estafet sebelum lomba dilanjutkan sampai finish di Jembatan Kuning, Tebing Tinggi.

Etape II (12 Mei 2016)
Etape kedua berjarak empat kali lebih panjang dari etape pertama. Ya, jaraknya sejauh 140 km. Start dari Tebing Tinggi, peserta harus mengarungi Sungai Musi hingga ke Muara Kelingi di Kabupaten Musi Rawas.

Etape III (13 Mei 2016)
Etape ketiga dengan jarak 165 km dari Muara Kelingi hingga Sekayu yang merupakan ibukota Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) menjadi suguhan bagi peserta. Kabupaten Muba adalah tuan rumah Musi Triboatton 2016. Acara pembukaan lomba akan dilakukan di kabupaten ini.

Etape IV (14 Mei 2016)
Etape keempat dimulai dari Sekayu dan berakhir di Dermaga Pengumbuh, Kabupaten Banyuasin. Nama terakhir merupakan kabupaten hasil pemekaran Musi Banyuasin. Jaraknya 108 km.

Etape V (15 Mei 2016)
Terakhir, etape kelima pada 15 Mei, mengambil start dari Dermaga Pengumbuh dan finish di Kota Palembang, tepatnya di Kecamatan 10 Ulu. Jarak yang ditempuh peserta sejauh 75 kilometer. Etape ini sekaligus menjadi penutup event Musi Triboatton 2016.

Wisata Sungai Musi

Penyelenggaran Musi Triboatton pada bulan Mei pada edisi tahun ini merupakan hal baru. Sebelum-sebelumnya, selama empat tahun berturut-turut Musi Triboatton selalu diadakan pada akhir tahun.

Mungkin supaya Palembang terus semarak karena Juni nanti ada Festival Bidar dalam rangkaian HUT Kota Palembang? Bisa jadi.

Yang jelas, event ini memang tak hanya bermuatan olahraga. Pemprov Sumatera Selatan menjadikan Musi Triboatton sebagai salah satu ajang untuk mempromosikan Sungai Musi dan juga objek-objek wisata menarik di sekitarnya. Apa saja sih?

FOTO: Wikipedia

1. Jembatan Ampera
Menyebut Sungai Musi tanpa menyinggung Jembatan Ampera seperti memasak sayur tak diberi garam. Ampera adalah singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat. Mulai dibangun pada April 1962 sebagai langkah untuk menyatukan bagian Seberang Ulu dan Seberang Ilir Kota Palembang.

Ide pembuatan jembatan di atas Sungai Musi sudah muncul sejak 1906. Tahun 1924, saat Le Cocq de Ville menjabat Walikota Palembang, rencana pembangunan jembatan kembali dicuatkan tapi tak pernah terwujud.

Rencana ini juga menjadi perhatian para pemimpin Kota Palembang setelah kemerdekaan. Pada 1957, dibentuklah panitia khusus yang menangani rencana pembangunan jembatan. Saat itu calon jembatan ini masih disebut sebagai Jembatan Musi.

Butuh waktu lima tahun bagi panitia ini untuk meluluhkan Bung Karno, sampai akhirnya pemerintah pusat memberi restu sekaligus membantu pembiayaan.

Karena kaki-kaki jembatan berada di tengah kota, Bung Karno yang dikenal sebagai peminat seni dan keindahan memberi syarat. Sebuah syarat yang malah membuat Kota Palembang menjadi indah, yakni pembuatan boulevard dan taman di kedua ujung jembatan. Karena itulah ada bundaran air mancur di 16 Ilir, tak jauh dari Masjid Agung Palembang.

Oya, mungkin tak banyak yang tahu kalau jembatan ini awalnya dinamai Jembatan Bung Karno. Pada saat diresmikan pada tahun 1965, jembatan ini merupakan yang terpanjang di Asia Tenggara.

Sentimen anti-Soekarno usai G 30 S membuat namanya diubah jadi Jembatan Ampera sejak 1966. Sempat ada upaya untuk mengembalikan nama jembatan ke nama asal, tetapi ditolak.

FOTO: WisataSatu.com

2. Benteng Kuto Besak
Benteng Kuto Besak adalah bekas benteng istana Kesultanan Palembang Darussalam. Disebut bekas karena kini bangunan tersebut dipakai sebagai markas Komando Daerah Militer (Kodam) II Sriwijaya.

Di bagian pelataran Benteng Kuto Besak inilah wisatawan kerap berfoto selfie dengan latar belakang Jembatan Ampera. Suasana di tempat ini bakal lebih syahdu dan romantis saat malam.

Benteng Kuto Besak dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Sewaktu saya kecil, Bapak bercerita pembangunan istana ini tidak memakai semen, tapi putih telur sebagai perekat.

Tentu saja saya dibuat terheran-heran oleh cerita tersebut. Tak terbayang oleh saya butuh berapa ratus, ribu, atau bahkan ratusan ribu butir telur untuk membangun istana ini.

Lalu, kuning telurnya untuk apa? Sayang kan, kalau ternyata dibuang begitu saja? Harap maklum, namanya juga pertanyaan anak kecil. 🙂

Sebelum Benteng Kuto Besak dibangun, Sultan Palembang tinggal di istana lama yang disebut sebagai Kuto Lamo atau Kuto Kecik yang kini jadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Sesuai namanya, Kuto Kecik berukuran lebih kecil dari Kuto Besak. Dalam bahasa Palembang, “kecik” berarti “kecil”, sedangkan “besak” berarti “besar”.

Oya, bulik saya dulu pernah bersekolah di Sekolah Pendidikan Kesehatan (SPK) di dekat Benteng Kuto Besak, lho. Sekarang beliau jadi bidan senior di Martapura, OKU Timur.

Eh, penting nggak sih? Hahaha. Cuma saya penasaran sekali, SPK itu masih ada apa tidak di sana?

3. Monumen Penderitaan Rakyat (Monpera)
Rasanya tak banyak wisatawan yang familiar dengan spot satu ini. Monumen Penderitaan Rakyat (Monpera) terletak tak jauh dari Jembatan Ampera. Tepat di seberang Masjid Agung. Berbentuk khas dengan patung Burung Garuda di salah satu sisinya, bangunan ini didirikan sebagai pengingat perjuangan heroik warga Palembang melawan penjajah.

Monpera belum lama ini direnovasi. Tak banyak yang berubah sih, tetapi ditambahkan dua meriam gunung dan satu buah tank tempur di halaman monumen.

Lalu bagian dalam yang merupakan museum dipasangi kamera CCTV. Rencananya juga dibangun air mancur menari, tapi entah kenapa tidak jadi.

Saya punya kenangan lucu dengan monumen satu ini. Ketika berusia sekitar 2,5 tahun saya diajak Bapak ke Monpera. Dulu banyak sekali juru foto stand by di pelataran halaman.

Setelah berjalan-jalan menyaksikan Jembatan Ampera dari kejauhan, Bapak mengajak saya berfoto. Bapak duduk di bangku kayu yang disiapkan juru foto, lalu memangku saya, siap difoto dengan latar belakang Monpera.

Namun ketika juru foto mengarahkan kamera dengan lensa panjangnya ke arah kami, saya malah menjerit ketakutan. “Idak galak ditembak, idak galak ditembak!!!” jerit saya sembari berusaha lepas dari pangkuan Bapak.

Lihat sendiri bagaimana jadinya foto tersebut di atas. Pada foto asli tertera “MAR 85” menandakan foto diambil pada Maret 1985.

Saya tidak ingat kenapa sampai begitu ketakutan dan menjerit-jerit. Namun kata Ibu, saya mengira lensa panjang juru foto tersebut sebagai senapan atau tembakan. Hehehe…

FOTO: Palembang.go.id

4. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
Pelancong mungkin hanya tahu Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, yang dulu di kalangan penduduk lokal lebih dikenal sebagai Bandara Talang Betutu. Jika Bandara SMB II adalah pintu masuk ke Kota Palembang lewat jalur udara, maka Museum Sultan Mahmud Badaruddin II adalah pintu masuk untuk mengenal lebih dalam sejarah Kota BARI ini.

Museum SMB II terletak dekat Monpera. Berjejer di jalan yang sama. Di sinilah tersimpan kekayaan sejarah Kota Palembang dan, tentu saja, Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam. Ada mata uang era Kesultanan di sini, juga artefak-artefak dari jaman Sriwijaya seperti patung-patung Buddha kuno.

Seperti disinggung sebelumnya, bangunan Museum SMB II dulunya adalah istana pertama Kesultanan Palembang Darussalam. Pembuatannya berbarengan dengan Masjid Agung Palembang.

Lalu Sultan Mahmud Badaruddin I mencetuskan pembangunan istana baru yang lebih lebar di tempat yang lebih luas. Maka dibuatlah Kuto Besak yang hanya berjarak 400 meter ke sebelah barat.

Di masa penjajahan, Kuto Kecik sempat direbut tentara Belanda dan dijadikan rumah dinas Komisaris Jenderal Hindia Belanda. Pada saat Jepang menduduki Indonesia, tentara Dai Nippon menggunakan bangunan ini sebagai markas militer. Lalu ketika Republik Indonesia lahir, Kuto Kecik dijadikan markas TNI sebelum akhirnya difungsikan sebagai museum.


FOTO: SouthSumatraTourism.com

5. Masjid Agung Palembang
Sebagai muslim, bagi saya tak lengkap rasanya mengunjungi sebuah kota tanpa menyempatkan diri salat di masjid agung kota tersebut. Dan Masjid Agung Palembang adalah tempat yang sangat layak dikunjungi karena keindahan arsitektur dan sejarah yang tersimpan di dalamnya.

Masjid Agung Palembang dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada 1738 M. Masjid ini merupakan yang terbesar di Sumatera Selatan dan terbesar ketiga di Pulau Sumatera.

Pembuatan masjid ini dimaksudkan sebagai pengganti Masjid Kraton Kuto Gawang buatan Sultan Ki Gede Ing Suro yang dihancurkan tentara VOC pada 1659 M. Perang dengan Belanda membuat proses pembangunannya berlangsung hingga 10 tahun.

Masjid ini memiliki sentuhan arsitektur Jawa klasik dengan atap bersusun, lalu ada pula campuran budaya Tionghoa yang terlihat pada lengkungan-lengkungan di ujung-ujung atap.

Pengaruh Jawa dan Tionghoa memang tak bisa dipisahkan dari sejarah Palembang. Bahkan, konon, nama Palembang sendiri berasal dari Pai Li Bang, nama murid Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang juga seorang menteri dari Tiongkok. Sedangkan pengaruh Jawa sangat kental dalam pendirian Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam.

Belanda berulang kali berusaha menghancurkan Masjid Agung selama perang. Berulang kali pula Sultan Palembang merenovasi bangunan masjid.

Kini, Masjid Agung Palembang tak hanya menjadi pusat keagamaan di Kota Pempek, tapi juga salah satu tempat tujuan wisata. Apalagi tepat di hadapan masjid terdapat Bundaran Air Mancur nan indah itu.


FOTO: @ZIdan_JuniorMCI

6. Menyusuri Sungai Musi
Menyaksikan keindahan Sungai Musi dari Jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, atau Pasar 16 Ilir adalah hal biasa. Ingin yang lebih seru? Rasakan pengalaman berbeda dengan menyusuri Sungai Musi naik perahu ketek.

Sebenarnya kita juga bisa naik speed boat selain perahu ketek. Namun rasanya lebih afdol naik perahu ketek karena akan lebih terasa nuansa eksotisnya berada di atas sungai lebar ini. Laju perahu ketek yang tak secepat speed boat, juga penampakan perahu yang masih tradisional (alias biasa-biasa saja), memberi kesan berbeda.

Suasana bakal semakin melenakan kalau kita putar lagunya Alfian yang berjudul Sebiduk di Sungai Musi.

Tujuannya ke mana?

Kita bisa sekedar berputar-putar saja melintasi bagian bawah Jembatan Ampera. Naik dari Pasar 16 Ilir, perahu akan membawa kita ke arah barat, melihat-lihat bagian bawah jembatan, menyaksikan Plaza Benteng Kuto Besak dari kejauhan, lalu balik lagi ke dermaga. Kalau mau lebih jauh, arahkan sekalian perahu ke Pulau Kemaro yang berjarak sekitar 10 km dari Pasar 16 Ilir.

Kalau tak berani naik perahu, makan-makan di restoran terapung tak jauh dari pelataran Benteng Kuto Besak bisa jadi pilihan. Menu restoran ini sangat beragam, semuanya masakan khas Palembang. Lebih asyik lagi kalau datang ke sana saat malam, di mana Jembatan Ampera berpendar oleh cahaya lampu-lampu hias.

FOTO: Kompas/Irene Sarwindaningrum

7. Pulau Kemaro
Ini juga destinasi wisata menarik di Sungai Musi. Sayang, karena letaknya yang terbilang jauh dari pusat kota, serta hanya bisa dijangkau dengan perahu ketek, Pulau Kemaro kurang diminati.

Padahal tempat ini sangat menarik dieksplorasi. Terutama karena Pulau Kemaro adalah sebuah pulau kecil di tengah-tengah Sungai Musi.

Ada berapa banyak pulau di tengah sungai seperti Pulau Kemaro ini di Indonesia, juga dunia? Bisa dihitung dengan jari.

Di Indonesia, “kembaran” Pulau Kemaro hanyalah Pulau Kumala (Sungai Mahakam), Pulau Kembang (Sungai Barito), dan Pulau Tayan (Sungai Kapuas). Ketiganya berada di Pulau Kalimantan. Namun yang punya cerita dan sejarah, lengkap dengan bangunan kuno sebagai pelengkap legenda, ya hanya Pulau Kemaro.

Di Jambi juga ada sih, pulau di tengah Sungai Batanghari. Namun pulau tersebut hilang kalau air sungai pasang. 🙂

Pulau Kemaro lekat dengan legenda cinta Tan Bun Ann dengan Siti Fatimah, seorang putri Palembang. Karenanya pulau ini juga dikenal sebagai Pulau Cinta.

Di pulau ini ada Pohon Cinta yang, konon, bila satu pasangan menorehkan namanya di pohon ini maka cinta di antara keduanya bakal abadi sampai mati. Entah benar entah tidak, namanya juga mitos.

Lalu terdapat sebuah pagoda berlantai sembilan dalam komplesk Klenteng Hok Cing Bio, plus patung-patung dewa Tionghoa. Karenanya pulau ini selalu dipadati umat Buddha dari kalangan keturunan Tionghoa saat peringatan-peringatan tertentu.

Bapak berfoto dengan latar belakang Masjid Agung Palembang, April 1985. Tampak juga beberapa angkot merah tengah melintas. Ini angkot lama yang merupakan eks kendaraan perang dan bodinya masih terbuat dari kayu.

Nah, banyak juga kan destinasi wisata di sekitar Sungai Musi? Catat, itu hanya di sekitaran Sungai Musi, ya. Belum termasuk Kantor Walikota Palembang yang letaknya tak jauh dari Benteng Kuto Besak. Bangunan jaman Belanda ini belakangan juga jadi objek wisata, terutama bagi peminat sejarah dan arsitektur.

Saya juga tidak menyebut Pasar 16 Ilir, pasar terbesar di Kota Palembang yang kerap disebut sebagai Tanah Abang-nya Palembang. Mau mencicipi aneka jajanan khas Palembang sembari menikmati panorama Sungai Musi, atau berbelanja oleh-oleh untuk dibawa pulang? Datangi saja pasar ini.

Jadi ingin mengunjungi Palembang kan? Sama.

Saya terakhir kali menyambangi kota ini tahun 2007. Tujuannya tentu saja mengunjungi Simbah di Lebong Siareng dan paman di Jl. Mayor Zurbi Bustan. November tahun lalu, saya hanya melintas di kota ini dalam perjalanan dari Jambi ke Pemalang naik bus bersama anak dan istri.

Tentu saja ada kerinduan membuncah pada kota kelahiran ini. Kota di mana seluruh masa kecil saya tersimpan. Kota yang sekaligus menimbulkan rasa marah karena apa yang kini terlihat tak lagi sama dengan yang ada dalam memori saya. Sampai kapan pun saya akan tetap mengenang Palembang, seperti halnya nama kota ini akan terus tertera di KTP saya seumur hidup.

Sebenarnya saya ingin sekali ke Palembang begitu mendengar kabar Simbah meninggal, akhir April lalu. Namun begitu banyak pertimbangan membuat saya harus memendam dalam-dalam keinginan tersebut.

Sepekan berselang adik saya yang di Jakarta berulang kali menelepon, mengajak saya ke Palembang untuk menghadiri peringatan nujuh hari Simbah. Lagi-lagi saya tak bisa ikut.

Eh, kok kebetulan sekali ada Lomba Blog Jelajah Musi Triboatton. Hadiahnya bikin saya mupeng karena tiga pemenang bakal diundang ke Palembang untuk menyaksikan etape pamungkas sekaligus acara penutupan Musi Triboatton 2016.

Namanya diundang, pihak pengundang yang membayari tiket perjalanan dan akomodasi selama di Kota Pempek ini. Wah, mau donk

Kalaupun ternyata tidak terpilih sebagai pemenang ya tidak apa-apa. Hitung-hitung saya ikut mempromosikan event akbar di kota kelahiran, sembari mengais-ais kenangan indah selama 10 tahun di sana.

Catatan: Foto paling atas diambil dari SumselPostOnline.com

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

14 Comments on Musi Triboatton, balap perahu menyusuri Venesia dari Timur

  1. Adik saya yang dulu rajin banget scan album foto lama semasa masih di Jogja. Alhasil, beberapa foto lama masih tersimpan dengan baik dalam bentuk JPEG.

    Suka

  2. Wah msh ada dokumentasi foto Bapak Pak..?

    Salut dah… dibanding sy malah nggak ada.. 😀

    Album lama dah pada ngilang 😀

    Suka

  3. Hehehe, itu foto nyaris rusak dan hilang karena cuma tersimpan di dalam album. Untung adik saya berinisiatif memindai foto-foto dalam album keluarga sehingga masih bisa dilihat meski sudah buram dan tetap ada tanda-tanda kerusakan.

    Terima kasih doanya 🙂

    Suka

  4. luar biasa, lengkap, komplit. Itu foto kecilnya unik ya kisahnya, kok bisa kepikiran mau ditembak. Dan foto dulu itu nggak bisa berulang-ulang ngambilnya, repot nyucinya, hehe.
    Semoga menang ya Pak ^_^

    Suka

  5. Ah, harusnya ikutan, Mbak. Mayan hadiahnya dua hari city tour di Palembang dan nonton Musi Triboatton.

    Saya ngoyo bikin posting ini, dari pagi sampe ke pagi lagi, begadang bolak-balik liat apa yang kurang, hapus, tambah, gitu terus. Setelah tepar bangun-bangun langsung finishing dan inilah jadinya. Kalau nggak keburu deadline mungkin masih diotak-atik, hehehehe

    Suka

  6. Hehehe, makasih. Saya juga dibuat kagum sama Palembang saat ini. Mudah-mudahan ada rejeki saya berkunjung ke kota ini dan menyaksikan Musi Triboatton. Amin.

    Suka

  7. Aku gak kesampaian ikutan lomba ini..nyesel..padahal kangen banget sama pempek

    Suka

  8. Postingannya kerena mas. Palembang asyik juga yah sekarang. Semoga menang lombanya yah mas.

    Suka

  9. Balap perahu di Sungai Musi ada setiap tahun. Kalau jaman saya kecil cuma ada yang namanya bidar, alias balap perahu tradisional yang panjang kaya perahu naga itu. Kalau Musi Triboatton ajang baru, tapi sudah taraf internasional.

    Suka

  10. Jangankan buat njenengan yang belum pernah, saya yang lahir dan tumbuh jadi anak-anak di Palembang saja kepengen banget ke sana setelah ngeliat perkembangan kota ini dalam beberapa tahun terakhir.

    Terima kasih support-nya, Mbak 🙂

    Suka

  11. aku sudah pernah ke palembang tapi belum pernah lihat balapan perahu, wah kalau saja bisa lihat pastinya seru

    Suka

  12. Liat foto2nya jadi mupeng ke Palembang. Moga mennag ya mas 🙂

    Suka

  13. Ya, boleh banget, Mbak.

    Suka

  14. Wahh boleh ini infonya bung

    Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.