Ibuku (pernah jadi) tukang cuci pakaian
TEPAT di hari terakhir November, saya tak sengaja menelepon Ibu di Jambi. Dibilang tak sengaja karena waktu itu niatnya sih pengen telepon adik, tapi gerak tangan yang terlalu cepat saat membuka menu recent call dan menekan tombol telepon hijau membuat sambungan telepon tidak sengaja itu terjalin. Tapi tentu saja itu sebuah ketidak-sengajaan yang menyenangkan.
Saya meninggalkan Ibu sejak masuk kuliah di tahun 2000. Total sudah 14 tahun saya meninggalkan kampung halaman, atau lebih tepatnya kampung yang dipilih oleh orang tua sebagai tempat tinggal tetapnya, di Sungai Bahar, Jambi. Selama itu, saya hanya bisa pulang sekali setahun di masa-masa awal kuliah. Namun memasuki tahun ketiga sudah mulai jarang pulang, bisa dua-tiga tahun tidak pulang.
Kangen? Entahlah. Saya sudah tak bisa merasakannya lagi. Ini karena terlalu seringnya saya berpisah dengan Ibu, juga Bapak dan anggota keluarga yang lain. Masa 14 tahun itu bukan rentang masa sesungguhnya dari berpisahnya saya dengan Ibu dan keluarga. Saat saya masuk SMP–di SMP Negeri 14 Buay Madang, Ogan Komering Ulu, saya dititipkan ke rumah salah satu kerabat dengan alasan agar lebih dekat dengan sekolah. Memasuki caturwulan kedua, Ibu menyusul Bapak yang merantau ke Jambi. Lalu tepat saat kenaikan kelas Ibu mengajak saya dan adik perempuan saya menyusul ke Sungai Bahar.
Hanya dua tahun tinggal bersama di Sungai Bahar, lulus SMP saya kembali harus meninggalkan rumah karena letak SMA yang hanya ada di ibukota kabupaten. Jaman itu tidak mudah memperoleh sepeda motor, di samping keuangan keluarga yang tidak memungkinkan untuk membelinya. Jadi, saya pun mengontrak di sebuah kampung dekat sekolah. Selama tiga tahun itu pulalah saya tinggal jauh dari Ibu, pulang setiap satu-dua bulan sekali saat bekal habis.
Praktis, saya hanya tinggal bersama Ibu hingga kelas 6 Sekolah Dasar. Usianya saya 11,5 tahun saat itu. Sedangkan saya berpisah dari Ibu selama 1 tahun saat dititipkan kerabat, lalu tiga tahun sewaktu sekolah SMA, dan 14 tahun sejak kuliah. Totalnya 18 tahun! Usia saya tepat 32 tahun pada 10 Desember nanti.
Lihat, dari total usia 32 tahun, saya tinggal terpisah dari Ibu selama 18 tahun. Karenanya, memori-memori yang tersimpan di kepala tentang Ibu adalah masa-masa kecil, terutama saat kami masih di Palembang dan kemudian pindah ke daerah transmigrasi bernama Batumarta di Ogan Komering Ulu. Kenangan dua tahun di Sungai Bahar tidak terlalu membekas, meski saya mulai tumbuh menjadi orang yang sebenar-benarnya di masa-masa itu.
Palembang yang Tak Terlupakan
Saya lahir di Palembang. Kota metropolitan terbesar kedua di Sumatra ini masih sepi sekali saat itu. Saya masih ingat, daerah sekitar tempat tinggal kami saat itu masih berupa hamparan ladang ketela. Rumah-rumah antartetangga lumayan jauh, butuh berjalan selama setidaknya 5-10 menit untuk didatangi. Kini suasananya sudah jauh berbeda. Tak ada lagi ladang ketela di sekitar rumah karena sudah berganti dengan jejeran rumah, ada juga sekolah. Namun setiap kali mendatangi tempat ini, saya selalu saja seolah-olah masih melihat ladang ketela itu.
Masa-masa di Palembang menjadi masa-masa tersulit bagi keluarga kami. Bapak yang bekerja sebagai tukang kayu, tak pernah lagi mendapat pekerjaan semenjak perusahaan kontraktor milik suami sepupu Bapak sepi order. Sepupu Bapak, kami menyebutnya Bude Plaju waktu itu, menikah dengan saudara kandung Gubernur Sainan Sagiman, Sa’ari Sagiman–kami biasa memanggilnya dengan panggilan Pakde Ari. (Saya terakhir kali bertemu dengan Pakde Ari pada 2001, sebelum beliau meninggal dunia).
Alm. Pakde Ari mempunyai perusahaan kontraktor di mana Bapak ikut dipercaya menangani operasionalnya di lapangan. Biasanya Bapak ditunjuk sebagai mandor proyek. Pekerjaan inilah yang kelak mempertemukan Bapak dengan Ibu di Batumarta.
Begitu usaha alm. Pakde Ari meredup, tak ada lagi pekerjaan untuk orang-orang seperti Bapak. Padahal Sumatera Selatan sedang sibuk membangun saat itu, terutama Kota Palembang. Namun Bapak yang sempat sangat sibuk ikut membangun sejumlah proyek di seluruh wilayah Sumatera Selatan lantas menganggur total. Semenjak itulah Bapak dan Ibu sering bertengkar. Bangun tidur, yang pertama kali saya lihat Bapak dan Ibu tengah cekcok. Begitu pula saat sepulang sekolah.
Masa-masa itu, usai sarapan Bapak biasanya memasukkan beberapa alat pertukangannya ke tasnya, ditali di boncengan sepeda. Entah kemana Bapak pergi, saya hanya diberi tahu kalau mencari pekerjaan. Tidak jelas juga apakah Bapak sudah punya tujuan saat keluar dari rumah atau malah mencari-cari tujuan, yang saya tahu sore hari menjelang magrib Bapak pulang. Nyaris berbarengan dengan saya yang baru pulang sekolah sekitar jam lima sore karena masuk siang.
Setiap libur caturwulan, Ibu mengajak kami menjenguk Simbah dan Pakdhe di Batumarta. Naik kereta Palembang-Baturaja, lalu melanjutkan perjalanan dengan kendaraan umum ke Batumarta. Seminggu di sana bermain-main dengan saudara sepupu yang seumuran, kami lalu pulang. Kelak setelah besar baru saya tahu kalau dalam kesempatan ke Batumarta itu Ibu meminta uang hasil panen berupa sepetak kebun karet yang diberikan Simbah. Dengan uang itulah kami melanjutkan hidup di Palembang.
Lalu kabar tentang Bapak yang “menganggur” sampai ke telinga Pakdhe-Pakdhe di Batumarta. Oleh Pakdhe, Bapak disarankan ikut transmigrasi, kebetulan di Jambi sedang ada pembukaan daerah transmigrasi baru. Bersama Pakdhe yang mencari kebun baru, Bapak pun berangkat ke Jambi. Janjinya hanya sebentar, namun baru dua tahun setelahnya Bapak kembali. Saya duduk di bangku kelas empat SD saat Bapak berangkat ke Jambi melihat daerah transmigrasi baru itu.
Ibu Jadi Tukang Cuci
Sejak itulah kondisi keluarga kami berubah total. Bapak tak kunjung memberi kabar. Jaman itu tidak seperti sekarang di mana kabar bisa diberikan dalam waktu singkat dengan sms dan telepon. Masa itu satu-satunya komunikasi jarak jauh yang terjangkau dan mungkin dilakukan adalah dengan surat. Tapi Bapak tak sekalipun mengirim surat pada kami. Entah apakah Ibu pernah dikirim surat, tak pernah saya dengar ceritanya. Satu hal yang pasti, sejak saat itulah Ibu menjadi tulang punggung bagi ketiga anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
Bermacam-macan usaha dilakukan Ibu untuk mendapatkan uang untuk membiayai kami bertiga. Mula-mula Ibu menjadi pedagang sayur, mengikuti Simbah dari pihak Bapak yang juga berjualan sayur. Setiap hari, Ibu bangun pagi-pagi sebelum Subuh untuk pergi ke pasar. Saya tak pernah diceritakan, juga tak pernah bertanya, di pasar mana Ibu waktu itu berbelanja sayuran untuk dijual kembali. Yang saya ingat, saya pernah melihat Ibu dengan bakul bambu di punggung plus caping bambu di kepala, melintas menjajakan sayur.
Saya tak tahu persis apa yang ada di pikiran saya ketika melihat Ibu berjualan sayur dari kampung ke kampung seperti itu. Mungkin karena sudah terbiasa dengan tukang sayur, yakni Simbah dari pihak Bapak yang sejak saya lahir saya kenal sebagai tukang sayur, saya melihat Ibu biasa-biasa saja. Dalam logika anak kecil saya ketika itu, sama sekali saya tidak merasa malu mempunyai Ibu seorang pedagang sayur keliling, sebab apa yang dilakukan Ibu juga dilakukan Simbah.
Tapi tidak lama Ibu berhenti berjualan sayur. Tidak jelas apa alasannya waktu itu. Namun setelah besar saya bisa memahami jalan pikiran Ibu. Berjualan sayur membuatnya harus meninggalkan rumah pagi-pagi buta dan baru kembali ke rumah pukul 9-10 pagi. Padahal di rumah ada tiga orang anak-anak kecil tanpa ada yang mengasuh. Adik saya yang terkecil baru berusia 5 tahun saat itu. Kini ia telah menjadi seorang dokter hewan di Payakumbuh, Sumatera Barat.
Semenjak Ibu berhenti menjadi penjual sayur, saya kemudian sering melihat Ibu keluar rumah pagi-pagi. Setelah membereskan rumah dan memasak, Ibu keluar entah kemana. Siang hari saat adik pertama saya pulang sekolah, yang bertepatan dengan saat saya bersiap masuk sekolah, Ibu pulang sebentar untuk kemudian berangkat lagi. Terus seperti itu setiap hari. Saking lugunya saya, tak sekalipun saya bertanya Ibu pergi kemana saja hari-hari itu.
Suatu ketika, Ibu membuat aneka jajanan banyak sekali. Rupa-rupa jajanan khas Palembang seperti pempek dan laksan dibuat, lalu ada juga potongan-potongan cincau, kolang-kaling, tape dan juruh (air yang dicampur gula merah) dalam toples-toples. Kami lagi-lagi tak mengerti untuk apa itu semua, tapi Ibu segera menjelaskan bahwa kami akan mulai berjualan hari itu. Ya, mulai berjualan hari itu. Dan bahasa yang digunakan Ibu adalah “kami” yang berarti aku dan adik-adik dilibatkan dalam rencana tersebut.
Kemudian kami membawa semua jajanan dan bahan-bahan es itu ke muka gang. Ibu rupanya sudah meminta ijin pada seorang kenalannya yang punya rumah terletak di tepi jalan besar, untuk meminjam emperan rumahnya sebagai tempat berjualan. Ya, menumpang. Di sanalah kami menggelar dagangan. Di atas sebuah meja sedang, Ibu menata piring-piring berisi pempek dan cukanya, laksan dan kuah santannya, diikuti toples-toples yang rupanya merupakan bahan-bahan es campur.
Kami pun mulai berjualan hari itu juga! Seingatku kami sekeluarga menunggui dagangan hari pertama, itu berarti aku dan adik pertamaku libur sekolah. Tapi Ibu tak bisa terus-terusan menunggui dagangan. Setelah beberapa hari melatih aku dan adik pertamaku bagaimana menyajikan pempek, laksan dan es campur, Ibu kembali ke rutinitasnya sebelum ini: pergi sejak pagi, pulang sebentar di siang hari, lalu pergi lagi. Entah ke mana.
Rutinitas harian Ibu hanya berubah sedikit saja sejak kami mulai berdagang. Pagi selain masak Ibu juga menyiapkan dagangan, setelah itu ikut mengantarkan dan menata dagangan di meja yang ditinggalkan di rumah tempat kami berjualan. Setelah itu, Ibu meninggalkan sejumlah uang recehan sebagai kembalian, baru pergi. Entah kemana, dan saya tak pernah bertanya saat itu.
Karena saya masuk sekolah siang, maka tugas menjaga dagangan di pagi hari menjadi kewajiban saya. Saya ikut mengantar dan menata dagangan, lalu menjaganya hingga tepat tengah hari. Adik pertama saya yang sudah pulang sekolah kemudian akan menggantikan saya. Pergantian tugas itu selalu diawasi Ibu yang pulang sejenak untuk menengok anak-anaknya. Uang hasil penjualan pagi hari saya setorkan pada Ibu. Sebagian dari uang itu biasanya diambil untuk membeli tekwan kesukaan saya, hehehe. Harganya masih Rp50 semangkuk waktu itu.
Tak satu pun dari kami yang tahu Ibu kemana saat itu. Bahkan kami tak juga kunjung tahu hingga tumbuh besar. Barulah, setelah kuliah di Jogja saya mendapat cerita dari seorang kerabat sewaktu berkunjung ke Palembang bahwa waktu itu Ibu menjadi tukang cuci pakaian. Alamak! Saya terkejut sekali ketika itu, tapi seperti biasa saya tak menampakkan keterkejutan tersebut secara berlebihan. Saya lalu mengonfirmasi cerita tersebut ke Ibu dan diiyakan.
Malu? Tidak sama sekali. Saya justru merasa bangga pada Ibu. Di tengah ketidak-pastian ekonomi yang tengah melanda kami saat itu, Ibu bersedia melakukan pekerjaan apapun untuk menghidupi kami. Dari berjualan sayur keliling, sampai mencuci pakaian tetangga. Tidak itu saja, Ibu juga menanamkan sikap mandiri dalam diri kami dengan cara mengajari berjualan jajanan. Siapa sangka, kini jurus berjualan inilah yang kemudian saya pakai untuk menghidupi anak-istri, di samping tetap menulis artikel, buku dan sebuah blog yang memang saya khususkan untuk mencari uang.
Begitulah. Setiap kali menerima telepon dari Ibu, atau saya yang menelepon Ibu, setelahnya saya selalu saja teringat masa-masa kebersamaan kami yang tidak bisa dibilang panjang. Terutama sekali teringat pada betapa besar pengorbanan Ibu demi membesarkan kami anak-anaknya.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera.
Beri komentar