Ketika Blog Masih Dipandang Sebelah Mata
Kenal Alfian Alfan, Arif Afandi atau Asef Umar Fakhruddin?
Tidak jadi persoalan kalau Anda tidak mengenal mereka, atau bahkan baru kali ini tahu nama-nama tersebut. Kenapa? Jawabannya simpel saja, mereka penulis kolom di media cetak, sedangkan kita adalah blogger yang lebih akrab dengan media online.
Mereka adalah kolumnis-kolumnis terkenal di koran-koran nasional. Alfian Alfan sering menampilkan tulisannya di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan media nasional lainnya. Arif Afandi adalah pentolan Jawa Pos dan tulisan-tulisannya kerap mewarnai halaman Jawa Pos serta seluruh media daerah di bawah jaringan JPNN. Begitu juga dengan Asef Umar Fakhruddin. Tulisannya sudah bertebaran di mana-mana dan menerbitkan beberapa judul buku.
Kenapa saya menceritakan mereka?
Belum berapa lama ini saya terlibat satu diskusi seru dengan seorang penulis kolom ternama. Awalnya ia sering sekali menyarankan saya untuk menulis artikel di koran. Pertanyaan khasnya setiap bertemu saya adalah, “Sudah nulis, Kang?”
Biasanya saya hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan itu. Kalaupun menjawab, saya akan bilang, “Mohon doanya, Kang.” Nah, hari itu saya menjawab lain. “Sudah!” Kata saya. Dia lantas tanya lagi, “Nulis di mana?” Saya jawab, “Di blog.” Dia tersenyum.
Pembicaraan kemudian melebar. Sampai pada saatnya dia mengeluarkan ucapan yang membuat telinga saya memerah. Apa katanya?
“Saya dan teman-teman komunitas penulis itu sejak dulu tidak begitu tertarik dengan blog. Soalnya kalau blog itu kan asal tulis saja bisa dimuat, pasti dimuat. Beda dengan koran yang harus melalui proses redaksional.”
Intinya, ia ingin mengatakan kalau blog itu mutunya kalah dibanding media cetak. Itu artinya, secara tidak langsung ia ingin mengatakan kalau kolumnis seperti dia ‘lebih berkualitas’ dibanding blogger. Oh ya?
Ya, benar kalau ia bilang tulisan di koran telah melalui proses seleksi di meja redaksi. Ia juga benar ketika mengatakan kalau asal menulis saja sudah bisa dimuat di blog. Tapi ia salah besar ketika menyimpulkan kalau blog tidak sama baik dengan koran, dan blogger tidak sepandai kolumnis dalam hal menulis.
Di titik ini ia telah mencampur-adukkan fakta dengan pendapat pribadi dan bingung dengan rangkaian logikanya sendiri sehingga menyebabkannya mengeluarkan kesimpulan yang tidak tepat. Ditambah lagi, ia juga tidak begitu akrab dengan blog dan komunitas blogger. Klop.
Lain Ladang Lain Belalang
Ada banyak alasan mengapa seseorang lebih suka menulis di blog ketimbang di koran. Alasan paling utama adalah ketidakmampuan penulis untuk mengontrol dan mengatur apa yang harus ia tulis ketika ingin menulis di koran. Setiap media memiliki kebijakan redaksional sendiri-sendiri mengenai naskah yang boleh dimuat. Untuk dapat menembus meja redaksi, penulis kolom harus bisa menyesuaikan diri dengan style yang diinginkan koran tersebut.
Selain itu, koran adalah media bisnis, jualannya adalah berita. Agar laku, sebuah media harus bisa mencium informasi apa yang sedang dibutuhkan masyarakat. Isu-isu apa saja yang tengah berkembang, itulah yang akan diangkat.
Begitu juga dengan kolom opininya (yang ditulis oleh para kolumnis seperti saya sebutkan di atas). Hanya artikel dengan tema-tema ‘aktual’ saja yang akan lolos sampai ke halaman opini. Tapi arti ‘aktual’ di sini sudah berubah maknanya menjadi ‘sesuai keinginan pasar’ dan ‘sesuai dengan mainstream‘.
Masih ada hubungannya dengan koran sebagai media bisnis, ketika Bung mengirim sebuah artikel ke satu media dan pada saat yang bersamaan seorang yang terkenal (tokoh masyarakat, akademisi, pakar, dll.) juga membuat artikel dengan tema yang sama dengan tulisan Bung, percayalah, redaksi akan lebih memilih artikel si tokoh tadi.
Mengapa demikian? Maaf, nama Bung tidak cukup menjual. Redaksi tidak mau berjudi dengan menampilkan tulisan Bung yang bukan siapa-siapa, yang belum dikenal masyarakat luas. Mereka lebih memilih popularitas penulis sebagai daya tarik, sungguhpun mungkin tulisan Bung lebih baik.
Cukup? Belum. Satu lagi kelemahan media cetak adalah keterbatasan halaman, baik oleh jumlah halaman yang sudah tetap maupun karena digusur iklan. Bung hanya boleh mengirim naskah sepanjang 4 halaman kwarto spasi ganda ke Kompas. Lebih dari itu, tulisan Bung kemungkinan besar diedit, dipotong. Tapi editor tidak akan mau bersusah-payah mengedit terlalu banyak. Kalau ada tulisan lain dengan tema sama tapi seusai dengan lebar halaman yang disediakan, tulisan Bung akan dibuang ke kotak sampah.
Menulis di media massa juga harus memiliki kesabaran ekstra. Bung mesti sabar menunggu kabar naskah yang dikirimkan, entah itu ditolak atau diterima. Padahal kalau tema yang Bung angkat sebuah topik tematik, begitu naskah sampai ke tangan editor bisa jadi isi tulisan tersebut sudah basi.
Tambahan lagi, tidak cukup sekali-dua kali mengirim naskah untuk dapat melihat tulisan kita dimuat di koran. Seorang wartawan senior Kedaulatan Rakyat pernah bercerita kalau ia harus mengirim lebih dari 100 naskah sebelum bisa melihat karyanya dimuat di Intisari. Wow!
Bersyukurlah kita yang hidup di jaman internet ini, terlebih saat blog dan citizen journalism menjadi cara baru menyampaikan informasi kepada masyakarat luas. Karena itu, berbagai kemudahan yang dimiliki blog jangan lantas membuat kita selaku blogger berlaku seenaknya saja dalam menulis konten. Jangan biarkan kolumnis yang saya ceritakan tadi terus-terusan meremehkan blogger.
Untuk itu, ayo kita ciptakan konten yang lebih berbobot. Tunjukkan bahwa blogger juga tak kalah piawai dengan kolumnis koran dalam soal tulis-menulis. Setuju?
Ucapan rekan ngopi cum-kolomnis itu ada benarnya. Mungkin banyak juga teman-teman bloger yang tulisannya apa adanya, karena tidak ada proses penyuntingan naskah atau malah masih dalam tahap belajar menulis.
Tapi kalau dia cuma menggeneralisir bahwa setiap bloger begitu, ya salah besar.
SukaSuka
Yak, memang tidak bisa disalahkan sih. Ada memang beberapa blog yang ngasal, baik teknis penulisan maupun yang bahkan masih suka typo. Tapi, yang waktu itu tidak atau belum ia ketahui, tak sedikit pula blogger yang tulisannya setara atau bahkan melebihi para kolomnis yang tulisannya bolak-balik dimuat di media massa. Belakangan, blogger menulis di media massa bukan hal ajaib.
Pendapatnya ada benarnya, berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Tapi tidak untuk menggeneralisir.
SukaSuka
Wew, hahaha. Pantesan aku dulu tiap pekan ngirim selalu dibalikin ya. Lha kamu siapa? Pikir editornya. Lak mending milih cerpenis kondang, hahaha.
SukaSuka
Mirip naskah cerpen di media yang sampean sebutkan di atas. Konon setiap pekan editor harus menyeleksi 500 cerita pendek untuk hari Minggu. Berhubung redaktur juga punya tugas lain, kadang ia lebih memilih nama yang sudah kondang. Tak perlu gambling toh. Maklum, honornya mencapai satu juta rupiah kalau tak salah. Jadilah cerpen menyerbu….
SukaSuka
@Joko Sutarto: Hehehe, sekedar tambahan saja, Pak. Beberapa waktu setelah mengeluarkan ucapan begitu, si kolomnis ini malah meminta diajarin membuat blog sama saya. Hahaha, saya jadi tertawa-tawa dalam hati. Sampe sekarang kayanya belum jadi-jadi tuh blognya, orang saya cuma ngajari cara daftar di Blogger.com tok. 😀
SukaSuka
Penulis kolom ternama yang diajak diskusi itu apa salah satu diantara ketiga orang yang Mas Eko sebut di atas itu, Mas? 🙂
Menarik kalau menyikapi opini orang terhadap blogger. Terlebih yang beropini belum tahu lebih jauh tentang bagaimana, sih ngeblog itu yang sesungguhnya. Saya jadi ingat pendapat serupa dari Roy Suryo yang pernah memandang rendah blogger. Ngeblog hanya Eforia sesaat!
Satu lagi, yang berpendapat seperti itu juga lupa bahwa di rana blog tidak sedikit para jurnalis dan kolumnis yang juga ngeblog. Bahkan kolumnis yang punya kolom tetap di media saja ada yang ngeblog, lho. Contohnya, tak perlu saya sebut satu per satu. Sepertinya Mas Eko salah satunya. 😀
Logikanya sederhana saja sebetulnya, sama seperti yang Mas Eko paparkan di atas, jika media mainstream sudah cukup mewadahi tulisan opini para kolumnis mengapa banyak para kolumnis (jurnalis) yang juga tetap ngeblog? Bukankah itu artinya media tidak cukup mewadahi sisi lain yang diinginkan para jurnalisnya karena adanya keterbatasan media yang tidak bisa didapat kalau tidak nulis di blog.
Pertanyaan itu seharusnya mereka coba cari tahu dulu jawabannya sebelum mereka memandang nyinyir kepada kaum blogger.
Kalau mereka menilai tulisan di blog tidak berkualitas perlu dilihat dulu di blog yang mana dulu, Mas. Bukan begitu, Mas Eko? 🙂
SukaSuka