Memahami Fenomena Sedot Pulsa
IlustrasiTOPIK seputar sedot-menyedot pulsa sedang hangat dibicarakan. Ulah nakal content provider yang bekerja sama dengan operator dalam menyedot pulsa pelanggannya melalui berbagai layanan SMS premium, dirasa sudah sangat meresahkan.
Bukan cuma meresahkan, aksi ini jelas sangat merugikan konsumen. Karena sering dilakukan secara ‘diam-diam’, aksi penyedotan pulsa pelanggan ini kemudian disebut-sebut sebagai pencurian pulsa.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengatakan kasus ini sebenarnya sudah lama terjadi. Tahun lalu saja masuk 101 pengaduan ke YLKI terkait aksi pencurian pulsa ini. Ketika isu ini memanas, seorang pelanggan Telkomsel bernama Feri Kuntoro memberanikan diri untuk melapor ke kantor polisi. Keberaniannya ini menjadikan Feri sebagai satu-satunya warga yang berani melaporkan kasus pencurian pulsa yang akhir-akhir ini meresahkan masyarakat ke polisi.
Ia mengeluhkan pulsanya yang disedot Rp50.000 setiap bulan oleh operator. Malang baginya, PT Colibri Networks yang merupakan penyedia layanan yang digunakan Feri merasa dicemarkan nama baiknya dan melaporkan balik Feri ke polisi. Bagaimana nasib Feri kelak? Akankah ia juga menjadi korban arogansi perusahaan penyedia jasa yang ia gunakan, seperti Prita Mulyasari vs RS Omni International atau De Neve Mizan Allan vs Lion Air? Kita tunggu saja.
Akhir Masa Keemasan Operator Seluler
Kalau Bung sudah pegang hape di awal tahun 2000-an, pasti pernah merasakan tarif SMS Rp500. Beli kartu perdana mana boleh cuma Rp5.000 seperti sekarang, harganya ratusan ribu dan terkadang harus sabar menunggu karena barangnya inden. Isi ulang pulsa juga demikian, masa itu nominal paling kecil Rp50.000. Sekarang isi pulsa Rp1.000 pun bisa.
Maklum, persaingan operator seluler waktu itu belum seramai sekarang. Saat saya pertama kali punya hape awal 2001, pilihan operator yang tersedia hanya Telkomsel dan Indosat. Telkomsel cuma punya dua jenis kartu, yakni Simpati (prabayar) dan Halo (pascabayar). Indosat juga cuma punya Mentari (prabayar) dan Matrix (pascabayar). Berhubung Telkomsel masih memberlakukan sistem roaming–tak bisa digunakan di luar area asal kartu, saya memilih Mentari yang bebas roaming.
Boleh dibilang itulah masa jaya-jayanya operator seluler, yaitu Telkomsel dan Indosat. Dengan hanya mereka berdua yang menduopoli pasar, konsumen tak ada pilihan lain kecuali manut saja dengan aturan yang mereka buat. Tarif SMS Simpati waktu itu masih Rp500, sedangkan Mentari Rp350. Tarif telepon jangan ditanya. Jangankan menelepon nomor operator lain atau telepon rumah, menelepon sesama operator namun berbeda area saja mahalnya bukan kepalang. Sisi positifnya, waktu itu tak ada ceritanya SMS-SMS premium.
Kini, operator seluler setidaknya ada 7: Telkomsel, Indosat, PT XL Axiata, Axis, dan Three pada jaringan GSM, ditambah Bakrie Telepon dan Smartfren di jalur CDMA. Telkomsel punya 3 varian kartu, yakni Simpati, Halo, dan As. Begitu juga dengan Indosat yang punya Mentari, IM3, dan Indosat Mobile. XL sempat punya Jempol dan Bebas, namun kemudian semuanya melebur jadi satu. Bayangkan sendiri betapa ketatnya persaingan operator telepon.
Side Income Operator Seluler
Di tengah ketatnya persaingan, mengandalkan kualitas layanan sebagai jargon promosi jelas tak ampuh. Apalagi mayoritas pengguna handphone justru kalangan menengah ke bawah yang abai terhadap hal-hal teknis. Maka, apalagi yang bisa diunggulkan kalau bukan tarif super murah dan banjir bonus. Kehadiran operator baru seperti Three dan Axis harus diakui memberi andil besar terhadap maraknya bonus telepon dan SMS gratis belakangan ini.
Ambil contoh XL yang berani memberi bonus gratis telepon 1.444 menit ke sesama nomor XL setelah sekali menelepon minimal Rp1.500. Ini masih ditambah dengan bonus SMS sepuasnya selama seharian, gratis! Apa tidak gila coba? Untuk layanan internet, setelah pemakaian Rp5.000, pengguna XL bebas melanjutkan aktivitas onlinenya berjam-jam tanpa biaya lagi. Layanan serupa diberikan oleh Simpati.
Layanannya boleh gratis, tapi sumber daya yang dipakai operator tentu saja tidak gratis. Itu artinya, operator melakukan tambal sulam demi mempertahankan kesetiaan pelanggan. Sadar peluang menjaring pendapatan dari jalur tradisional (baca: pemakaian SMS, telepon, dan internet) kian sempit, operator musti cari sumber lain. Muncullah ide untuk menyediakan layanan SMS premium dengan menggandeng perusahaan content provider.
Awalnya mungkin ini hanya side income saja. Namun seiring semakin ketatnya persaingan yang mengakibatkan semakin menurunnya penghasilan dari SMS dan telepon, layanan seperti ini malah jadi andalan utama operator. Coba cek pulsa di *888#, selain informasi saldo pulsa dan masa aktif pasti ada tawaran layanan SMS premium. Begitu juga dengan operator lain. Belum lagi iklan-iklan yang nyelonong begitu saja via SMS.
Coba hitung-hitung sendiri, SMS premium memasang tarif minimal Rp2.000/SMS belum termasuk PPN. Bila tarif tersebut dibagi rata, berarti operator mengantongi Rp1.000 per SMS. Jumlah ini lebih dari 6x lipat dari tarif SMS normal yang rata-rata hanya Rp150. Siapa yang tidak tergiur, coba? Jadi, jangan heran kalau operator terkesan tutup mata tutup telinga terhadap persoalan sedot-menyedot pulsa ini.
Sekali lagi, kita tunggu saja kelanjutan kisah ini, terutama perjalanan kasus Feri Kuntoro vs PT Colibri Networks.
Kaget: Itu kalau hukum berpihak pada orang kecil. Bisa jadi Feri Kuntoro bernasib seperti Prita yang terus ditindas RS Omni International dan Kejaksaan. Hmmm…
Rizkyzone Online: Saya juga begitu, Bung. Kalau gak kenal, ngapain juga ditanggepin kan?
SukaSuka
dan Alhamdulillah selam asaya menggunakan hp saya belum pernah mengalami kesedot pulsa yang penting saya nggak ngikutin pemberitahuan sms masuk, kalau saya sekiranya ada sms masuk dengan nomor aneh nggak saya baca tp langsung saya delete
SukaSuka
Kalau kasus ini meledak, orang lain juga bakal ramai mengadu ke polisi. Saya sudah pernah kena, alih2 ganti kartu yang sekarang gampang diperoleh š
SukaSuka