Kupikat Kau dengan Bismillah, dan Turki…
JUDULNYA keren, Kupinang Kau dengan Bismillah. Meski terkesan menjiplak judul buku laris Muhammad Faudzil Adhim, Kupinang Engkau dengan Hamdalah, setidaknya sinetron ini tak seperti sinetron-sinetron lain yang berjudul asal jadi. Sebut saja Putri yang Ditukar (Tambah), Anu(nya)gerah, dan sebangsanya. Dari segi judul, Kupinang Kau dengan Bismillah cukup menjanjikan perbedaan dan pencerahan.
Episode-episode awalnya juga menggiurkan karena syutingnya mengambil lokasi di Istanbul, Turki. Dalam promosinya, mulai dari pemain hingga sutradara kompak mengatakan dengan bangga bahwa sinetron yang banyak menampilkan muka-muka baru ini akan menjadi satu-satunya sinetron yang ber-setting Turki. Wow, keren! Pikir saya. Bukan apa-apa, bayangkan sendiri berapa banyak biaya yang musti dikeluarkan produser untuk membiayai syuting di Turki selama berhari-hari.
Kesan Pertama Begitu Menggoda, Selanjutnya…
Bahkan untuk setting Situbondo saja tak benar-benar dilakukan di kabupaten tersebut, tetapi di Depok. Mungkin produsernya berprinsip, tak ada Situbondo (di Jawa Timur), Situ Gintung (di Depok) pun jadi.Nah, justru karena membayangkan biaya syuting di Turki–yang pastinya tidak sedikit, bisa berkali-kali lipat dari biaya syuting di Jakarta atau tempat lain di Indonesia–itulah keraguan muncul di benak saya. Mungkinkah Kupinang Kau dengan Bismillah terus-terusan, dari awal sampai akhir, ber-setting Turki?
Hmmm, rasanya kok mustahil ya. Maaf, bukannya meremehkan, tapi sama-sama tahulah bagaimana kualitas sinetron Indonesia. Maka saya menyimpulkan–atau menduga-duga lebih tepatnya, kalaupun benar sinetron produksi ScreenPlay Productions ini ber-setting Turki, mungkin hanya 1-2 atau paling banyak 3-4 episode.
Benar saja! Setelah menceritakan pertemuan Amar (diperankan Dimas Anggara), seorang santri saleh asal Situbondo yang mendapat beasiswa, dan Nirvana (Natasha Rizky Pradita), seorang fashion designer yang tengah berlibur di Istanbul, cerita selanjutnya lebih banyak ber-setting Indonesia. Lebih tepatnya Jakarta dan sekitarnya. Bahkan untuk setting Situbondo saja tak benar-benar dilakukan di kabupaten tersebut, tetapi di Depok. Mungkin produsernya berprinsip, tak ada Situbondo (di Jawa Timur), Situ Gintung (di Depok) pun jadi. Hehehe…
Untuk mengarahkan jalan cerita ke setting Indonesia, cara yang ditempuh juga terkesan dipaksakan dan jauh dari kata kreatif. Diceritakan Fitria (Poppy Bunga), anak Gus Mujo yang memberi beasiswa kepada Amar, diperkosa penjahat secara bergiliran dan trauma berat. Untuk menutupi aib, Amar diminta pulang dan dinikahkan dengan Fitria. Ah, rasa-rasanya para kyai pemimpin pesantren boleh dan layak memprotes jalan cerita ini. Lagipula, alangkah bodohnya Amar yang bersedia meninggalkan studinya di Turki hanya untuk menutupi aib orang lain, sekalipun itu orang yang memberinya beasiswa.
Setali Tiga UangFoto: internet
Salah satu adegan episode-episode awal Kupinang Kau dengan Bismillah di Istanbul.Meski ceritanya masih setengah jalan, saya kok yakin Kupinang Kau dengan Bismillah tak beda dengan sinetron-sinetron lainnya. Syuting di Turki–Masjid Aya Sofya–hanyalah pemanis, sedangkan kata ‘bismillah’ di judul hanya untuk ‘mengecoh’ penonton. Dengan memakai kata itu di judul, sinetron yang disutradarai Iqbal Rais ini terkesan bertema relijius, namun nyatanya tidak. Sekalipun pemainnya berjilbab dan berbaju koko, serta berlatar belakang pesantren, tidak serta-merta lantas disebut sinetron reliji. Toh, yang dieksplor tetap cinta-cintaan juga, bukan ajaran agamanya–ajaran Islam.
Contoh, episode Rabu (28/9) malam kemarin. Ada satu adegan di mana seorang tokoh wanita memakai rok mini berada satu scene dengan muslimah berjilbab, setting-nya sebuah kafe. Keduanya bercakap-cakap soal lelaki, entah pacar atau incaran salah satu dari mereka, dan si perempuan berpakaian seronok mengeluarkan ucapan kurang-lebih begini pada si muslimah berjilbab, “Memangnya kenapa kalau perempuan yang lebih dulu menghubungi laki-laki? Apakah itu haram?” Dari nada suara dan mimiknya ada semacam cibiran.
Well, akhirnya lagi-lagi penonton yang jadi korban. Lagi-lagi terlihat betapa para pelaku industri sinema masih mengutamakan profit, sekalipun harus mengorbankan kualitas, sekalipun dengan ‘mengelabui’ penonton mereka sendiri. Harapan untuk mendapat tontonan berkualitas yang sekaligus dapat menjadi tuntunan, entah kapan terwujud.
“Kapan-kapan…” begitu kata Yok Koeswoyo. Kalau kata Bung Pembaca bagaimana?
Yaa.. ampun mudah-mudahan Dimas Anggara sama Natasya bener-bener pacaran dehh??
SukaSuka