Highlight:

Menabung Sampah Pangkal Selamat

“RAJIN menabung pangkal kaya.” Demikian kata pepatah bijak yang sudah kita dengar sejak di bangku Sekolah Dasar dulu. Pertanyaannya, bagaimana kalau yang ditabung sampah? Apakah rajin menabung sampah juga pangkal kaya? Bisa jadi. Sebab kini sampah bisa ditabung. Di mana? Di bank sampah!

Ya, bank sampah memang sedang jadi topik hangat akhir-akhir ini. Media cetak dan elektronik ramai-ramai mengangkat profil bank sampah di beberapa daerah di Indonesia. Bank Sampah Gemah Ripah yang digagas Bambang Suwerda di Bantul, Yogyakarta, dan Bank Sampah Karya Mandiri yang dipelopori Nanang Suwandi di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, adalah 2 contoh bank sampah yang kerap dipublikasi media massa.

Sampah, PR Terbesar Indonesia
Sampah sebenarnya barang biasa. Sebagai manusia yang hidup dengan mengonsumsi serta memakai berbagai kebutuhan, setiap hari manusia menghasilkan sampah. Mulai dari ‘sampah’ hasil proses metabolisme alias (maaf) tinja, hingga sampah-sampah dari sisa-sisa barang-barang kebutuhan sehari-hari semisal plastik, kertas atau daun pembungkus makanan dan juga botol.

Untuk sampah sisa proses metabolisme tubuh, rasanya tidak menjadi masalah mengingat masyarakat sendiri cukup punya rasa malu untuk membuangnya sembarangan. Buang air besar sembarangan sama saja mengumbar aurat sembarangan, dan itu memalukan. Masalahnya justru terletak pada sampah-sampah yang lain, di mana masyarakat kita tidak punya rasa malu sedikitpun untuk membuangnya secara serampangan di tempat umum.

Kalau Bung pernah naik kereta api kelas ekonomi, maka Bung akan tahu betapa masa bodohnya masyarakat kita dengan kebersihan lingkungan. Selesai menyantap nasi bungkus, bungkusnya dibuang begitu saja ke kolong kursi kereta. Penumpang yang ‘sedikit lebih beradab’ membuangnya keluar jendela kereta karena tak ingin tempat duduknya kotor oleh sampah. Tapi tetap saja mereka membuang sampah sembarangan.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Medan, Semarang, Surabaya, Makassar, hingga Samarinda, sampah adalah masalah super serius yang terus-menerus membuat pusing kepala para pejabat setempat. Volume sampah yang dihasilkan warga selalu jauh melampaui kemampuan Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam membersihkannya. Ambil contoh Jakarta Utara yang pada 2010 lalu rata-rata menghasilkan 2.500 meter kubik sampai setiap hari, atau Kota Bogor yang pada 2009 menghasilkan sampah rata-rata 2.294 meter kubik per hari tapi Pemkot cuma mampu mengangkut 1.602 meter kubik per hari.

Karena jumlah sampah yang dihasilkan warga jauh lebih banyak dari yang dibuang petugas kebersihan, tumpukan sampah terlihat di banyak sudut kota. Tempat sampah sudah tidak memadai lagi, membuat masyarakat memilih tempat-tempat lain sebagai pembuangan sampah. Di Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya, sungai sudah beralih fungsi menjadi tempat sampah raksasa. Akibatnya, begitu musim hujan datang banjir merendam kota karena sungai tak sanggup menampung luapan air yang menuju ke Laut Jawa.

Bukan cuma di sungai atau got, bahkan di tempat-tempat wisata pun sampah berserakan merupakan pemandangan biasa. Coba lihat pantai-pantai di Yogyakarta. Mulai dari pantai-pantai yang tak terlalu terkenal seperti Ngerenehan, Sepanjang, dan Kwaru; hingga pantai-pantai yang kerap dikunjungi wisatawan seperti Parangtritis, Krakal, dan Kukup; semuanya kotor oleh sampah. Begitu juga dengan objek wisata Candi Prambanan, Borobudur, atau Kraton, di mana sampah berupa botol atau plastik-plastik terlihat berserakan di beberapa sudut. Padahal di sana disediakan kotak sampah.

Masalah Perilaku dan Strategi Pengelolaan Sampah
Menurut saya, setidaknya ada 2 hal yang menyebabkan sampah seperti begitu susah ditangani di Indonesia. Pertama, ini terkait dengan perilaku masyarakat kita yang sangat abai dengan kebersihan lingkungan. Kedua, strategi pengelolaan sampah yang diterapkan tidak tepat.

Foto: bataviase.wordpress.com
Mendayung sampan di sungai sampah.
Soal perilaku masyarakat yang terbiasa membuang sampah sembarangan, DKI Jakarta mencoba menanganinya dengan menerbitkan Perda khusus. Di dalam Perda tersebut disebutkan bahwa warga Jakarta yang membuang sampah sembarangan dapat dikenai denda. Langkah serupa dilakukan Pemkot Yogyakarta, yang mengancam denda sebesar Rp 2 juta bagi siapapun yang membuang sampah sembarangan di Kota Yogya. Hasilnya? Masih sangat jauh dari harapan.

Di lain pihak, sampah-sampah yang diangkut petugas kebersihan hanya ditumpuk begitu saja di TPAS. Ya, hanya ditumpuk begitu saja, bahkan dipilah-pilah pun tidak. Akibatnya, semakin hari tumpukan sampah menjadi semakin tinggi. Tidak heran kalau TPAS Bantargebang bisa menewaskan seorang pemulung dengan longsoran sampahnya.
Tumpukan sampah di tempat terbuka juga menimbulkan bau busuk luar biasa. Belum lagi pasukan lalat yang akan berdatangan, membuat lingkungan sekitar TPAS menjadi terlihat jorok. Wajar saja jika rencana pembangunan TPAS Kayu Manis, Kelurahan Kayu Manis, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, ditolak habis-habisan oleh warga sekitar.

Apa yang dilakukan Ma’had al-Zaytun, Ponpes asuhan Syaikh AS Panji Gumilang yang dituding sesat oleh sebagian kalangan, rasanya bisa jadi contoh. Ribuan santri plus tenaga pengajar dan pegawai Ponpes ini menghasilkan sampah yang sangat banyak setiap hari. Namun, sampah-sampah tersebut dikelola dengan bijaksana sehingga tidak menjadi gunungan yang menjijikkan. Sampah-sampah berupa sisa-sisa makanan diolah menjadi pakan ternak, sampah-sampah plastik dan kertas didaur ulang, sedangkan sisanya dijadikan pupuk kompos.

Bank Sampah, Inovasi Tepat Kurangi Sampah
Berterima kasihlah pada bank sampah. Inisiatif inovatif yang dipelopori oleh Bambang Suwerda di Bantul, Yogyakarta, lalu diikuti oleh Nanang Suwandi di Semper Barat, Jakarta Utara, boleh jadi merupakan solusi paling jitu untuk mengatasi persoalan sampah saat ini. Ide ini menyelesaikan sekaligus 2 poin utama dalam persoalan sampah yang saya sebut sebelumnya.

Pertama, sistem insentif yang diterapkan bank sampah membuat masyarakat tidak mau sembarangan membuang sampah. Alih-alih membuang sampah, warga di sekitar bank sampah justru mengumpulkan sampah-sampah mereka serta sampah-sampah yang berserakan di sekitar mereka untuk ditabung di bank. Tak jadi soal orientasi mereka uang, bukan kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan. Yang terpenting, mereka tidak lagi menghambur-hamburkan sampah dan bersikap masa bodoh melihat sampah berserakan.

Kedua, kehadiran bank sampah secara tidak langsung mendidik masyarakat untuk mengelola sampah secara bijak. Harus diakui, pemerintah tak punya cukup tenaga untuk mengelola sampah-sampah warganya dengan baik. Jangankan memilah-milah dan memanfaatkan sampah, mengangkut tumpukan sampah ke TPAS saja masih keteteran. Jadi, mendorong pengelolaan sampah oleh unit terkecil dalam sebuah wilayah, yakni rumah tangga, adalah langkah tepat. Dengan kehadiran bank sampah, minimal masyarakat mau dan mampu memilah-milah sampahnya sendiri.

Bank Sampah Gemah Ripah yang dikelola Bambang Suwerda malah sudah melangkah lebih jauh. Tidak sekedar menjual sampah-sampah tabungan nasabahnya ke pengepul barang bekas, tapi bank sampah ini juga mulai mendaur ulang sampah-sampah plastik, stereofoam, dan kertas menjadi aneka produk kerajinan tangan. Hasil penjualannya tentu lebih besar lagi, sehingga keuntungan yang diperoleh bertambah banyak, membuat bank sampah ini semakin berkembang.

Melihat peran nyata bank sampah dalam mengatasi persoalan sampah, rasanya pemerintah perlu semakin menggalakkan gerakan bank sampah di seluruh daerah di Indonesia. Prioritas utama jelas kota-kota yang selama ini kesulitan mengelola sampahnya. Acungan jempol patut diberikan pada Pemprov Jawa Barat yang telah menyelenggarakan pelatihan sistem bank sampah pada Maret 2009 lalu. Nampaknya provinsi ini sadar betul akan posisinya sebagai penghasil sampah terbanyak di Indonesia (Harian Kompas, Kamis, 12 Nopember 2009). Langkah serupa semestinya diikuti daerah-daerah sehingga masyarakat turut berperan aktif dalam pengelolaan sampah. Setidaknya, masyarakat mau memilah-milah sampah dan tidak asal membuangnya begitu saja. Dengan adanya bank sampah, kepedulian masyarakat akan kebersihan lingkungan diharapkan menjadi lebih tinggi.

Okelah, bank sampah memiliki sisi negatif. Salah satunya, motivasi utama masyarakat adalah memperoleh uang, bukan turut peduli pada kebersihan lingkungan. Ini tidak baik. Tindakan apapun, kalau motivasinya semata-mata hanya uang bisa jadi kontraproduktif. Tapi, sejauh ini peran positif bank sampah lebih menonjol sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sekarang memang mereka masih berorientasi pada uang semata. Setiap melihat sampah, yang terbayang di kepala adalah uang dari bank sampah. Tapi, lambat-laun kesadaran akan pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat bakal tumbuh. Sehingga kelak seandainya bank sampah tidak ada lagi, mereka tetap peduli pada kebersihan lingkungan. Mereka akan tetap mau memilah-milah sampah dan mengelolanya secara bijaksana.

Bagaimana pendapat Anda, Bung?

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

14 Comments on Menabung Sampah Pangkal Selamat

  1. saya minta dikirim harga perbarang..email saya onasisarya@yahoo.com

    Suka

  2. saya minta dikirim harga perbarang..email saya onasisarya@yahoo.com

    Suka

  3. @Enak: Ealah, kalo sampeyan jujur, mana bakal kasih komentar anonim dan pake nama seenaknya gitu. Ini lempar batu sembunyi tangan = gak jujur alias bohong. Kalau mau ngomongin aib sendiri jangan di blog orang lain dunks. Gimana sih?

    Suka

  4. Enak gak Sekolah jadi org,jujur besuk di ahkirat bisa masuk Surga,dari pada sekolah sampek tinggi,pintar tapi bohong melulu,gak lama hidup,mati lansung ke jurusan Neraka.

    Suka

  5. @judulnya yang aneh: komentarnya yang aneh. Kata 'menabung' di sini adalah kiasan, Bung. Ini ada kok di pelajaran Bahasa Indonesia sejak SD, SMP, bahkan kuliah. Pertanyaannya, sampeyan ini sekolah apa nggak sih? Peace…

    Suka

  6. judulnya yang aneh // Jumat, 30 Desember 2011 pukul 22.12 // Balas

    Menabung itu ya uang,kalo menabung sampah itu namanya org.apa ? pikir sendiri.

    Suka

  7. Saya sangat tertarik untuk mengudang Bapak Nanang Suwardi (initiator bank sampah semper barat) sebagai pembicara di kampus saya. Akan tetapi, saya kesulitan mendapatkan kontak info Bapak Nanang. Apakah saya dapat dibantu untuk mendapatkan kontak infonya? thank you 🙂

    Suka

  8. @Anonim: Sampeyan ini bodoh atau gimana sih? Baca dulu yang bener, diresapi, baru berkomentar. Sampeyan ini sejak awal sudah tidak suka sama saya, jadi nyari-nyari cara untuk menjatuhkan. Tapi, maaf, cara begitu idak pernah berhasil tuh. Oya, orangtua Sampeyan ini aneh juga, kasih nama kok Anonim. :p

    Suka

  9. kok aneh-aneh,sampah ditabung,tanpa ditabung di lokasi tpa kan banyak,juga banyak sampah yg.berskan dimana-mana dari pada demikian kan lebih baik ditabung semua,tapi juga heran seberapa besarkah tabuangannya sedangkan tpa yg.seluas itu aja gak mampu ?

    Suka

  10. beberapa bulan yg lalu saya juga mengunjungi desa sampah di daerah bantul bung.. jadi desa tsb mengumpulkan berbagai sampah dan kemudian didaur ulang menjadi bahan²/mainan yg bagus² dan mereka jual…
    sampah hilang, uang datang.. salut buat desa tsb

    Suka

  11. keren dan kreatip 😀

    Suka

  12. Tulisan menarik Bung. Aku pernah nonton tentang Bank Sampah yang di Trans TV. Gak kepikiran klo ada yang sampai punya ide seperti itu. Klo di desa nenek saya (Purwodadi), ada beberapa yang mengumpulkan bungkus deterjen lalu dibuat semacam hiasan tirai. Hasil kerjanya bagus dan unik, dijual sekitar Rp 15.000. Adikku sempat beli.

    Suka

  13. Kalau Bank sampah sudah menyebar rata ke seluruh Indonesia pasti sampah yang berserakan bakal banyak yang berkurang.

    Suka

  14. bahaya sampah sudah bukan rahasia umum lagi..

    ayoo kita gerakan …sampah musuh bersama

    Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.