Robert Kiyosaki dan Laba-laba
ROBERT Toru Kiyosaki dalam buku larisnya The Cashflow Quadrant menyebutkan dua macam kuadran penghasilan yang dibedakan dari cara orang mencari uang. Kuadran kiri dan kuadran kanan, yang masing-masing terbagi ada dua jenis.
Kuadran kiri adalah golongan orang-orang yang mencari uang dengan bekerja, baik menjadi karyawan/pegawai (employee) ataupun bekerja sendiri sebagai profesional seperti pemusik, dokter, pengacara (self-employed). Sementara orang-orang di kuadran kanan sebaliknya, mereka mencari uang dengan cara berbisnis (business owner) atau berinvestasi (investor).
Menurut Kiyosaki, penghasilan orang-orang di kuadran kiri adalah penghasilan aktif (active income). Artinya, penghasilan didapat jika dan hanya jika seseorang bekerja. Kalau tidak, misalnya karena sakit atau dipecat, maka penghasilan orang tersebut mandeg.
Berbeda dengan penghasilan orang-orang di kuadran kanan yang bersifat penghasilan pasif (passive income), di mana tanpa bekerja pun penghasilannya akan terus mengalir. Penghasilan tersebut berasal dari aset yang dibangun sebelumnya.
Sebenarnya pelajaran mengenai passive income ini dapat dipetik dari laba-laba. Ya, laba-laba adalah contoh hewan cerdas yang bisa dimasukkan ke kuadran kanan buatan Kiyosaki. Kok bisa? Bisa saja. Sebab hewan yang dianggap pemalas ini menerapkan konsep passive income. Dalam konteks hewani, mungkin istilah tersebut bisa diubah menjadi passive feeding.
Coba amati cara seekor laba-laba mencari makan. Berbeda dengan cicak yang aktif berburu mangsa, laba-laba cukup duduk santai menunggu hewan malang yang terperangkap di jaringnya. Tak perlu bersusah payah mengejar-ngejar mangsa, justru mangsanyalah yang “datang sendiri” dan kemudian siap disantap si laba-laba. Asyik, bukan?
Apa yang dilakukan si laba-laba, meminjam istilah Kiyosaki, adalah sebuah smart work. Hewan yang mengubah Peter Parker menjadi superhero bernama Spiderman ini tidak “mencari makan”, tapi “membuat jaring untuk menangkap makanan”.
Karena itu, ketika cicak sibuk memburu nyamuk atau serangga lain, laba-laba justru sibuk membuat jaring perangkap. Cicak bisa langsung kenyang memakan hasil buruannya, sementara laba-laba masih harus menahan lapar sampai jaringnya selesai dibuat. Tapi kondisi berbalik ketika perangkap tersebut sudah jadi. Saat cicak masih sibuk mencari makan, laba-laba dapat bersantai sembari menunggu mangsa.
Sama seperti pegawai dan pebisnis. Seorang pegawai dapat langsung menikmati gaji Rp 1-2 juta rupiah sebulan di masa awal bekerja, sementara di saat yang sama seorang pebisnis bisa jadi malah minus pemasukannya. Bisnis yang dibangun masih belum bisa memberikan penghasilan memadai di awal-awal berdirinya.
Keadaan berkebalikan terjadi ketika bisnis tersebut sudah berjalan. Ketika si pegawai masih harus bekerja untuk memperoleh gaji Rp 1-2 juta rupiah, si pebisnis sudah bisa duduk manis dan memperoleh hasil yang lebih banyak dari gaji si pegawai.
Mana yang kalian pilih, menjadi laba-laba atau menjadi cicak?
ini analogi yang jadi perenungan saya sekian lama bung 🙂 betul, kisah dua mahluk itu patut kita jadikan pelajaran, dan robert kiyosaki memang sudah membuka jalannya.
cuma ya, kembali pada diri kita masing2, apa masih puas sebagai cicak, atau rela bersusah2 dahulu kemudian ongkang2 seperti laba2? 🙂
itu hal yg amat tak mudah di zaman yg serba urgent ini 🙂
SukaSuka
Rachmadi Triatmojo:
Saya setuju dengan apa yang Bapak sampaikan. Dan, yang saya tekankan, kita dapat lebih maksimal berbagi dengan sesama jika mencari uang lewat kuadran kanan.
Jimmy:
Saya yakin Koh Jimmy bisa pindah kuadran.
Saya juga pengen cepat-cepat pindah kuadran ke kanan atas, lalu kanan bawah, Koh. 😀
iskandaria:
Betul banget, Bung. Posting ini pernah saya publish di blog ekonurhuda.com yag sekarang sudah almarhum, eh, mati suri ding 😀
ago:
Untuk bisa menikmati hasil di kuadran kanan, tentu saja bakal ada poses yang harus dijalani. Dan, rusaknya jaring-jaring adalah bagian dari proses itu. Persoalannya bukan pada rusaknya jaring, tapi maukah kita membangun jaring baru yang lebih kuat setiap kali jaring itu rusak?
blogger terpanas:
Nah, ini saya setuju sekali.
Ya, rasulullah adalah seorang pebisnis ulung pada jamannya. Demikian juga dengan Abu Bakar, seorng saudagar sukses.
Agung Prasetyo:
Sebelum Robert, saya sudah membaca buku-buku bisnis lainnya. Namun konesp kuadran kanan-kiri ini benar-benar menancap di benak saya, Bung.
adeskana:
Sabar saja, Mas. kalau kita serius dan mau berusha keras, pindah kuadran bukanlah hal mustahil, tinggal menunggu waktu saja.
SukaSuka
Yang tengah saya jalani saat ini, adalah kuadran kiri (E). Harus sabar jika di'tatar' atasan, kudu ngemong kepada sesama staf jika menghadapi permasalahan yg bersifat kolektif. namun dalam mimpi dan bawah sadar saya, pikiran saya pelan2 mulai merayap utk berencana hijrah ke kuadran kanan. saat ini masih mencari momentum untuk mencipta daya ungkit yang membangunkan 'macan' dlm diri.
artikel yg memotivasi, Bung Eko. thanks! salam sukses.
SukaSuka
Pas sekali bung jika dikaitkan dengan laba-laba. Saya sebelumnya belum menyadari hal ini. Awal saya berbisnis juga buku panduannya dari Rich Dad Poor Dad dan The Cashflow Quadrant berikutnya.
Robert memiliki pandangan yang membuka pola pikir saya mengenai sebuah bisnis. Mulai dari membangun jiwa bisnis dan merawatnya dengan pengembangan diri terus menerus.
SukaSuka
kalau saya pribadi lebih suka pada kuadran yang kanan. karena Rosulullah S.A.W adalah juga berada di kuadran kanan. beliau adalah jutawan atau bahkan munkin milyader di jamannya. bisa kita ketahui dari apa yang beliau berikan kepada Sayyidatina Khotijah binti Khualid sebagai mas kawinnya. menurut sejarah beliau memberikan 10 onta sebagai mas kawinnya. seorang yang yatim mampu memberikan 10 onta adalah karena beliau seorang pebisnis yang sangat sukses di masanya
SukaSuka
Analogi yang bisa memberikan motivasi untuk pindah kuadran atau membangun bisnis. Masalahnya mungkin terletak pada manusianya. Saya juga bisa menganalogikan, saat sarang laba-laba sudah jadi dan sudah siap menunggu mangsa, tapi tiba-tiba misalnya manusia datang dan merusak jaring laba-laba tersebut, untuk laba-laba mungkin dia pindah tempat dan membuat jaring laba-laba tersebut. Tapi bagaimana dengan manusia Bung, saat mulai membangun bisnis, tapi usaha yang diharapkannya bisa memberikan passive income gagal atau tidak sesuai dengan harapannya, bersediakah dia membangun asset baru untuk passive incomenya,,,
SukaSuka
Wah, kayaknya ini postingan yang pernah terbit di blog sebelumnya ya Bung ^_^ Intinya tentang kekuatan atau efek dahsyat dari aset yang telah terbangun. Bersusah-payah di awal, tapi santai dan menikmati hasilnya di akhir. Metode/konsep jaringan/aset ini pun telah banyak diadopsi pada bisnis online di dunia maya. Tinggal pintar-pintar kita saja dalam memilih dan memilah.
SukaSuka
analogi yang bagus Bung Eko.. saya juga pengen seperti si laba-laba, pindah ke kuadran kanan, cuma tinggal tunggu waktu aja deh 😀 sekarang masih aktif di kiri nih 🙂
SukaSuka
Bismillah,
kalau menurutku perkaranya bukan sekedar dapet uang atau enggak Bung …
Manusia perlu berkarya untuk menunjukkan eksistensinya … dengan eksistensi dia pun dapat bersosialisasi. Manusia adalah makhluk sosial. Bung sendiri pernah bilang di buku Bung bahwa kita yang penting memberi manfaat pada orang lain. Walau pendapatan sedikit, tapi hati puas telah memberi manfaat pada orang lain.
Nah, kalau menurutku yang paling ideal adalah perpaduan di antara keduanya. Disamping kita berkarya untuk menjaga eksistensi diri, tapi dalam berkarya itupun kita memasang “jaring2 laba2” sehingga kalau permintaan terhadap karya kita “mbludak” kita bisa salurkan ke orang lain bahkan kita bisa memberi pekerjaan pada orang lain yang belum bisa membuat “jaring2 laba2” tersebut ..
Iya apa iya ? he he
SukaSuka