Highlight:

Betapa Saya Mencintai Buku

Suatu waktu, ketika saya sedang asyik menyampul buku-buku hasil perburuan di pameran, seorang teman kos masuk kamar.

Melihat buku-buku yang tinggi bertumpuk menunggu giliran untuk disampul, teman ini berkomentar dengan logat Tegal-nya yang masih kentara, “Wuih, akeh nemen bukune (= banyak sekali bukunya).” Saya cuma tersenyum. Lha, di pameran kan harga buku cuma 5-10 ribu–Gramedia yang terkenal “pelit” memberi diskon pun ikutan banting harga, masa iya cuma beli sedikit?

Teman tadi kemudian bertanya, “Buku sebanyak ini dibaca semua ya?” Lagi-lagi saya dibuat tersenyum dengan pertanyaan ini. “Ya iyalah,” jawab saya sekenanya. Eh, lha kok setelah itu dia berkomentar yang membuat telinga saya jadi merah. Katanya, “Enak ya kalau nggak ada kerjaan, bisa baca buku.” Oalah… Garuk-garuk kepala saya jadinya.

Entah sejak kapan awalnya, tapi yang jelas saya sudah sangat suka membaca dari kecil. Ketika masih duduk di bangku SD di Palembang, bacaan favorit saya adalah cergam Petruk-Gareng karya Tatang S. Saya rela tidak jajan seharian demi membeli cergam tersebut. Waktu itu uang jajan saya Rp100 sehari, sedangkan harga cergam Petruk-Gareng Rp150. Jadilah saya tidak jajan sehari, kemudian memotong uang jajan keesokan harinya agar bisa membeli cergam favorit itu.

Saya juga sering menumpang baca koran dan majalah–Sriwijaya Post, Pos Kota, Nova, Wanita Indonesia, dll.–pada seorang tetangga yang merupakan teman baik Ibu. Atau di rumah Bude saya yang (waktu itu) terletak di Plaju. Kebetulan Ibu selalu mengajak kami berkunjung ke rumah Bude Plaju, demikian kami memanggil beliau, sekali sepekan. Yang lebih menyenangkan saya, Bude selalu mengijinkan saya untuk membawa pulang beberapa koleksi koran atau majalah miliknya. ^_^

Saat pindah ke Batumarta, sebuah daerah transmigrasi di Kab. OKU (kini OKU Timur), saya mulai berkenalan dengan cerita silat Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro Sableng. Berawal dari serial Wiro Sableng yang berjudul Singa Gurun Bromo, saya mulai keranjingan dengan tokoh rekaan alm. Bastian Tito tersebut. Sampai-sampai saya mengikuti semua seri petualangan Wiro Sableng mulai dari serial Geger di Pangandaran sampai serial petualangan di Negeri Latanahsilam.

Ketika saya dan keluarga pindah ke Sungai Bahar, daerah transmigrasi di Jambi, Novel silat Wiro Sableng masih menjadi teman setia saya. Setiap Sabtu–hari pasaran–saya membolos pelajaran terakhir untuk pergi ke pasar dan membeli beberapa buku Wiro Sableng. Waktu itu harganya masih Rp1.000/eks. Kalau beli 2 eks. cukup bayar Rp1.500 saja. Karena hampir setiap Sabtu beli baru, dan belinya tak cukup hanya satu, jadilah kamar saya penuh dengan novel Wiro Sableng. Ketika Wiro Sableng semakin susah dicari–atau belum ada koleksi terbaru, saya beralih ke novel silat lain. Mulai dari Pendekar Slebor, Pendekar Romantis, Pendekar Rajawali Sakti, Garuda Emas, Joko Sableng, dll. Pokoknya, apa saja yang bisa saya baca, pasti saya beli.


Tumpukan buku-buku yang belum sempat saya baca.
Ada cerita menarik berkaitan dengan cerita-cerita silat ini. Waktu itu saya lebih sering membaca cersil ketimbang belajar. Kapan saja ada waktu luang, saya selalu memegang cersil di tangan. Bahkan saat buang air besar, sambil makan, sambil menunggu padi di ladang, atau saat istirahat setelah membantu Bapak bekerja. Sampai-sampai Ibu marah ketika nilai saya turun, dan mengancam akan membakar koleksi cersil saya. Ya, persis seperti ibunya Nobita yang sedikit-sedikit mengancam akan membakar komik-komik Nobita jika sedang kesal. ^_^

Masuk SMA, seorang teman mengenalkan saya pada dunia cerpen remaja. Mulailah saya akrab dengan majalah-majalah remaja semacam HAI, Aneka Yess, Anita, dan Ceria Remaja. Saya suka majalah terakhir karena isinya lebih banyak cerpen dan pengasuhnya adalah orang yang berkecimpung di dunia sastra. Saya juga mulai mencoba-coba menulis cerpen. Sayang, berhubung mesin tik tidak punya, cerpen-cerpen yang saya tulis tidak pernah dikirim ke majalah manapun. Satu cerpen sempat dimuat sih, tapi hanya di Majalah Windi–majalah sekolah SMA Negeri 1 Muara Bulian.

Naik ke kelas 2 SMA, saya mulai mengenal dunia sastra. Bacaan saya sekarang Majalah Horison. Setiap waktu istirahat saya isi dengan membaca Horison di perpustakaan. Dunia sastra mulai merasuki jiwa saya. Berawal dari Horison, saya mulai menyukai novel-novel sastra. Yang menjadi favorit saya hingga sekarang adalah novel-novel karya NH Dini, terutama serial kenangannya. Sedangkan untuk puisi/sajak, saya sangat menyukai 2 pendobrak sastra Indonesia: Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahri. Membaca karya-karya sastra tentu saja memengaruhi tulisan saya, yang kemudian mencoba-coba menulis cerpen ‘berat’. Alahmdulillah, satu cerpen sempat dimuat di Harian Jambi Ekspress pada bulan Mei 1999.

Nah, ‘karir’ menulis saya berhenti total sewaktu menginjak Jogja. Karena memilih melanjutkan ke Pendidikan Profesi Pariwisata, dunia saya seketika berubah. Meski masih sering membaca antologi cerpen dan koran-koran edisi Minggu, tapi saya tidak pernah menulis lagi. Terutama setelah beberapa kali mengirim cerpen ke KR selalu tak ada kabar berita. Plus, waktu itu saya juga sangat berhasrat menjadi seorang pemandu wisata biar bisa jalan-jalan gratis keliling Indonesia sambil mengantongi bayaran gede.

Saya kembali bergelut dengan dunia kepenulisan ketika masuk ke Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY) di pertengahan 2003. Saya kembali rutin mengirim cerpen ke KR dan juga Kompas, meskipun selalu ditolak dan dikembalikan naskahnya. Pada periode ini, satu-satunya tulisan saya yang dimuat adalah sebuah artikel populer berjudul Mengapa Ada Pengangguran? di Majalah Sahabat Pena edisi Mei 2004. Dan, berkat tulisan inilah saya menerima honor pertama dari menulis. Besarnya tak seberapa, tak sampai Rp50.000, tapi bahagianya bukan alang-kepalang. πŸ˜€

Ah, kok jadi ngelantur saya. Tapi yang jelas, selama ini saya merasakan bahwa buku merupakan sahabat setia saya. Masa kecil saya di Palembang boleh dibilang keluarga kami hidup di bawah rata-rata. Orangtua saya hanya punya sepeda butut dan radio yang tak kalah butut. Untuk mencari hiburan, saya terpaksa menumpang menonton televisi di rumah tetangga. Karena malu, saya lebih memilih di rumah. Dan bukulah yang menemani saya, menghibur saya.

Ketika pindah ke Sungai Bahar, kehidupan kami belum berubah. Kami sekeluarga masih harus menumpang ke tetangga jika ingin menonton televisi. Dan, lagi-lagi saya lebih suka sendirian di rumah, mendengarkan siaran RRI Pro 2–satu-satunya siaran radio yang bisa ditangkap di desa saya waktu itu–sambil membaca buku. Ini terbawa sampai saya masuk SMA dan di masa-masa awal saya kuliah di Jogja.

Kini, ketika di rumah sudah ada televisi layar lebar, DVD player, dan segudang saranan hiburan lain, saya tetap lebih suka membaca. Hanya saja, kalau dulu saya membaca buku sebagai hiburan untuk membuang kejenuhan, maka sekarang saya membaca buku karena memang membutuhkan buku. Ada yang aneh kalau tak membaca buku dalam sehari. Makanya, setiap buang air besar di pagi hari, saya selalu membawa buku. Lumayan, 5-10 menit di WC bisa dapat berapa puluh halaman tuh. ^_^

Teman kos yang saya ceritakan di awal posting ini boleh bilang hanya orang-orang yang tidak punya pekerjaan saja yang sempat membaca buku. Bagi saya, kalau kita sudah mencintai buku, sesedikit apapun waktu luang yang tersedia rasanya rugi kalau tidak dimanfaatkan untuk membaca buku. Betul apa tidak, Bung?
Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

25 Comments on Betapa Saya Mencintai Buku

  1. sekarang ini saya tetep suka baca (minimal baca-baca artikel yang bertebaran di internet, termasuk di blog). Itu kan baca juga namanya. Cuma medianya aja yang beda (secara online atau elektronik book)
    tapi saya belum bisa baca cepat

    Suka

  2. belajar investasi:
    Mitrialur itu senjata mesin (machine gun) yang sekali ditembakkan gak berhenti-henti menghamburkan peluru. Kalo saya sih gak akan menganggapnya spam, sepanjang komentar tersebut masih ada kaitannya dengan posting. Saya malah senang ada rekan yang bersedia berdiskusi di blog ini seperti Bung. Tapi Google mungkin tidak sependapat dengan saya karena sistem mereka tidak bisa membaca teks dan ekspresi seperti saya. ^_^

    Saran saya, mungkin ada baiknya kalo jeda antar komentar agak lebih lama. Tapi, ini hanya saran lho ya… ^_^

    Suka

  3. tembakan mitrialur? maksudnya gimana Bung? πŸ™‚ mohon maaf bila komentarnya seolah spamming, insyaAllah masih dalam kerangka tema postingan kok … sekali lagi tentang tembakan mitrialur, saya cari di Google, nggak ketemu nih artinya, atau karena saya kurang wawasan ya πŸ™‚

    Suka

  4. @yusnita:
    komik juga salah satu jenis buku πŸ™‚ intinya adalah tradisi membacanya yang harus kita lestarikan, karena hakekat pembuatan buku adalah untuk dibaca. sehingga ragam atau jenis apapun bukunya, yang paling utama adalah jangan sampai kita kehilangan semangat untuk membaca dan menggali ilmu darinya
    salam

    Suka

  5. buku juga bisa jadi pengantar tidur looh.. πŸ™‚

    klo saya lebih sering beli komik ketimbang buku, Buku tak teratur membelinya tergangtung keuangan aja. Tp lo ada book fair yaa beli buku karena baiasanya di sana ada diskon πŸ™‚

    Suka

  6. dan ketika dikaitkan dengan kalimat 'dengan nama Tuhanmu yang menciptakan;, ini berarti bahwa ketika kita membaca, maka niatkanlah bahwa membaca pun adalah ibadah dan butuh keikhlasan, bukan sekedar untuk meningkatkan kadar intelektualitas semata. dan pada akhirnya, dengan membaca kita aka lebih tersadarkan lagi bahwa kita memang ada yang menciptakan, dan sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an, tujuan penciptaan manusia tiada lain hanya untuk beribadah kepadaNya…
    semoga komentar yang panjang ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat. just share. makasih buat bung Eko yang blognya sudah saya corat coret πŸ™‚

    Suka

  7. setelah mempelajari beberapa tafsiran para ulama, akhirnya ditemukan kesimpulan sederhana, bahwa ketika kata transitif iqra tidak langsung diikuti dengan objek, maka ini berarti objek nya tidak spesifik. hikmahnya, kita diwajibkan membaca apa saja, tidak terbatas pada buku dan tulisan saja. kita juga wajib membaca fenomena alam, gejolak sosial, kemutakhiran teknologi dan lain-lain.

    Suka

  8. apabila kita kaji ayat pertama tadi, maka di sana menggunakan kata iqra (bacalah!). biasanya dalam bahasa Arab, kata iqra dan derivasinya akan diikuti langsung oleh objek (maf'ul bih) seperti pada ayat lain, 'iqraa kitaabaka …' yang berarti 'bacalah buku amalmu …'. sementara pada ayat pertama yang diturunkan, kata iqra tidak diikuti langsung dengan objek, melainkan dengan kata 'bismi rabbikal-ladzii khalaqo '. mengapa ya?

    Suka

  9. saya menyadari bahwa ternyata ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai salah satu dari 100 orang yang paling berpengaruh di dunia adalah dimulai dengan kata iqra yang artinya 'bacalah!'. untuk mengawali rangkaian wahyu yang akan mengubah dunia, Allah tidak memerintahkan untuk beribadah dalam dimensi ritual, melainkan perintah untuk melakukan tradisi keilmuan berupa membaca. tidak heran bila dalam suatu hadits disebutkan bahwa orang yang berilmu itu lebih baik dari 60 orang yang rajin ibadah. mengapa? karena ibadah tanpa ilmu hanya akan mengantarkan manusia pada sebuah penghambaan yang dangkal.

    Suka

  10. saya juga mencintai buku dengan secinta2nya
    hehehe
    alhasil karena banyak membaca dan isi kepala sudah penuh buku2..saya mencoba menulis buku..
    eh jadi deh novel, kumpulan puisi, cerpen..
    lumayan dah punya setidaknya 5 buku sekarang
    hehehehe

    bahakan sekarang saya bikin penerbitan indie untuk membantu kawan2 menerbitkan buku
    di http://indiebook.co.cc

    selamat menjadi pecinta buku
    hidup buku!

    Suka

  11. membaca adalah ibadah. pepatah itu yang selalu terngiang di telinga saya setiap kali membuka buku. saya lahir di tempat yang waktu itu masih jauh dari sumber pengetahuan. saya masih ingat ketika masih duduk di SD, untuk mengetahui nama gubernur pun harus sampai melihat koran bekas yang sudah jadi bungkus ikan asin :-). tapi karena koran bekas juga akhirnya saya bisa mengenal beberapa rumus matematika dan tebak-tebakan angka. hari ini mungkin sudah jauh berbeda, dimana saya bisa membaca blog bung Eko hanya dari depan laptop meski tinggal di kampung. arus komunikasi yang sedemikian cepat lambat laun sedikit menjauhkan saya dari membaca buku dalam bentuk fisik, tapi lebih sering membaca buku dalam bentuk digital maupun elektronik. semoga membaca masih menjadi kebiasaan baik kita. salam

    Suka

  12. Darin: Hehehe, soal teman saya, dia memang gak suka buku kok, jadi ya biasalah. Heran aja dia liat orang nyayang buku kaya nyayang barang antik. πŸ˜€

    Kika: Ah, saya sekarang nulis orientasinya masih ekonomi keluarga, Mas. Jadi, belum bisa kalo diajak nulis yang 'bermutu'. πŸ˜€

    Blog Hardim: Setuju sekali! Kalau memang sudah suka, tak ada waktu pun pasti dicari-cari sesampatnya. πŸ˜€

    Fanz: Saya dulu tahunya cuma pertuk-gareng karya Tatang S. sih, jadi ya sukanya itu. Kalo waktu itu langsung tahu Wiro Sableng mungkin yang dibawa Wiro. πŸ˜€

    hanif: Tapi, biar bagaimanapun buku itu penting, Bung. Karena, pasti ada tema yang tidak diangkat oleh blog/situs, tapi justru dikupas oleh sebuah buku. Dan, kelebihan buku adalah, pembahasannya jauh lebih detil serta membacanya lebih nyaman.

    ismail: Ada beberapa buku yang sangat mempengaruhi pikiran dan tujuan hidup saya. Salah duanya adalah buku Sukses Besar Tanpa Gelar karya Yudi Pramuko, dan Sukses Bisnis Modal Dengkul karya Mas'ud Chasan. Nanti mungkin saya sempatkan untuk menulis kenapa buku tersebut sangat mempengaruhi pikiran dan tujuan hidup saya.

    Anthony Harman: Hahaha, kalo pas nge-date emang enakan makan sup ayam ktimbang baca buku Chicken Soup. πŸ˜€ Kalo istri saya sekarang malah paling rewel minta dibeliiin buku tiap kali ada pameran buku di Jogja. πŸ˜€

    Pak Eko: Terima kasih. Tapi bakat saja tidak akan membawa kita ke mana-mana, Pak. ^_^

    adeskana: Hahaha, ternyata kita sama-sama suka baca di WC ya, Mas. πŸ˜€ Poin yang ini “aroma yg macam-macam pun tidak tercium” juga saya rasakan. Hahaha…

    gus ikhwan: Hehehe, kebetulan saya memang gemar membaca, Gus.

    iskandaria: Oh iya, saya juga dulu sangat suka membaca Bobo. Tapi tak lama, soalnya kelas 5-6 SD saya sudah langsung 'melompat' membaca majalah-majalah remaja dan dewasa punya Ibu saya. Kalo untuk urusan mata, alhamdulillah saya tidak mengalami gangguan mata meskipun membacanya parah dan di luar kevbiasaan yang katanya bisa merusak mata (membaca dalam ruangan yang cahayanya kurang, membaca sambil tiduran, dll.).

    buJaNG: Hahaha, tidak jauh beda, Bung. Saya juga kayanya lebih suka membeli buku ketimbang membacanya. Beli buku baru dibaca beberapa halaman kadang sudah males melanjutkan,. Terlebih kalo bukunya ternyata tidak menarik. Tapi ada buku yang begitu mulai dibaca baru berhenti setelah habis alias tamat. Yang ini berarti buku tersebut benar-benar bagus dan menarik minat saya. πŸ˜€

    jimmy: Sama aja, Koh. Saya juga bacanya kadang maleees banget. Padahal kadang pas di toko buku semangat betul belinya. πŸ˜€

    Suka

  13. sama dengan bung eko, saya juga sangat suka sama buku dan sering beli buku.. kalo jalan2 di mall, saya hampir pasti selalu ke gramedia lihat2 buku sementara istri jalan2 ke tempat lain πŸ˜€

    tapi bedanya dengan bung eko, buku2 yang saya beli masih banyak yang belum terbaca 😦

    Suka

  14. Kalau saya saat ini hanya baru sebatas penggemar koleksi buku saja, belum masuk tahap gemar membaca. Nggak tahu kenapa susah banget mau membiasakan membaca.
    Sering saya disindir ma teman gara-gara sering beli buku tapi sampai di kost hanya dibaca beberapa lembar lalu masuk rak buku. Setiap ke toko buku, biarpun buku yang saya cari nggak ada tetap aja ada buku yang terbeli. Entah nanti sampai di kost mau dibaca atau nggak πŸ˜€
    Kayaknya ada yang kurang kalau keluar toko buku dengan tangan hampa…

    Suka

  15. Saya dari kecil juga sudah hobi membaca Bung. Waktu SD, saya langganan majalah Bobo. Koleksinya lumayan banyak sampe numpuk. Waktu SMP, saya beralih langganan tabloid Bola. Maklum, pas SMP saya lagi suka-sukanya nonton bola di tv. Kebetulan pas kelas satu smp waktu itu lagi ada Piala Dunia 1994.

    Lanjut, ke SMA, saya lebih suka baca dan koleksi buku-buku tentang Islam. Malahan jadi merembet ke buku-buku ilmu hikmah dan tasawuf..hehehe. Pas kuliah, saya cenderung lebih suka buku-buku pengembangan diri, filsafat, psikologi, dan tentang tulis-menulis. Saya betah berjam-jam di perpustakaan cuma buat baca πŸ™‚ Sampe kuliah lagi sekarang ini saya tetep suka baca (minimal baca-baca artikel yang bertebaran di internet, termasuk di blog). Itu kan baca juga namanya. Cuma medianya aja yang beda (secara online atau elektronik).

    Kesimpulannya, saya sangat bersyukur terlahir sebagai manusia yang kutu buku. Nggak ada ruginya sama sekali deh pokoknya. Kalaupun harus dinilai ruginya, mungkin berakibat saya harus memakai kacamata πŸ˜€ (penglihatan saya udah mulai kabur saat kelas 6 SD).

    Suka

  16. Wah bung eko kutu buku ya
    sering membaca buku jadi bisa nambah referensi, jadi pengin nimbun buku ni, tapi waktunya buat baca buku masih kirang
    temannya juga lucu ya
    bagi bung eko buku adalah teman sejati??
    dengan membaca pengetahuan kita makin nambah

    Suka

  17. […Kapan saja ada waktu luang, saya selalu memegang cersil di tangan. Bahkan saat buang air besar, sambil makan, sambil menunggu padi di ladang, atau saat istirahat….]…
    jadi teringat masa lalu, saat saya masih di bangku MTsN (SMP) waktu di kalimantan dulu. jika Bung Eko membawa cersil dan membaca buku cersil sambil “bermeditasi” di belakang, maka saya sering membawa buku pelajaran selain buku pelajaran agama ke dalam “bilik meditasi” tadi. dan tidak bisa saya pungkiri, saya merasakan fokus, konsentrasi dan proses pemahaman materi pelajaran yang lebih mudah saat itu. hingga aroma yg macam-macam pun tidak tercium oleh indera penciuman saya. πŸ™‚

    Suka

  18. Bakat terpendam yang akhirnya mau tidak mau muncul juga…!? tinggal penempatannya saja untuk bisa berkarya dan berprestasi lebih…….!?

    Suka

  19. Sebenarnya saya juga suka mbaca, mas Eko.
    Ngomong soal buku, saya jadi inget pas masih pacaran ama bakal istri saya.

    Waktu itu, pas Ultah saya kado dia sebuah buku yg berjudul “Chicken Soup”

    Apa komentarnya coba? “Buat apa buku ini. Mending sup ayamnya aja”

    Nah loo…

    Suka

  20. Klo boleh tau mas, buku apa yang paling mempengaruhi hidup anda ? Dan klo boleh sekalian di review kenapa kok buku itu mepengaruhi hidup anda. Terima Kasih dan mohon maaf jika kurang berkenan….halah resmi banget ^_^

    Suka

  21. aktifitas saya sekarang kurang baca buku. hehe, mau gimana lagi, baca informasi dari internet, blog, wah, udah gak kesampaian deh buat baca buku.

    Suka

  22. Heheheh saya dulu juga suka sama komik tatang s mas. cuma waktu saya masih kecil harganya udah 500an.
    Btw sekarang saya udah jarang baca buku. Sekarang lebih sering baca blog heehhehe

    Suka

  23. baca buku itu bukan soal ada waktu atau nggak, tapi soal ada keinginan atau nggak untuk baca.

    Suka

  24. Ayoo menulis lagi Mas. Ada Sulang dari Timur yang sedang saya susun ceritanya. Indonesia butuh tulisan-tulisan bermutu soalnya.

    Suka

  25. Baru tahu saya dalemannya bung eko seperti ini πŸ˜€ Sepertinya kita agak2 mirip, cuma saya ngga seganas bung, yang sampe dibawa ke 'belakang' segala hahaha.
    Betul, sebenarnya buku itu ibarat teman yg bisa diajak ngobrol, itu menurut saya lho. Karena disitu kita seakan berdialog dengan penulisnya, maksudnya kita bisa menyelami ala fikir penulis, sehingga terasa ikut hanyut di dalam tulisannya.
    Masalah teman bung itu saya jadi ketawa πŸ˜€ Koq ada ya orang seperti itu?
    Salam bung eko.

    Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.