Mengenal Seni Kontemporer di Jogja National Museum

Salah satu karya seni instalasi yang dipamerkan di Jogja National Museum. FOTO: Harian Jogja/Eko Nurhuda
PRIHATIN melihat bekas gedung Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) terbengkalai, KPH Wironegoro tergerak untuk memanfaatkannya. Melalui Yayasan Yogyakarta Seni Nusantara yang ia pimpin, menantu Sri Sultan Hamengku Buwono X ini lantas mendirikan sebuah museum seni rupa kontemporer bernama Jogja National Museum (JNM).
Alasan awal hanyalah ingin mendirikan museum seni sederhana saja.
“Jogja kan kaya akan potensi seni dan budayanya. Kesenian kontemporer sendiri tumbuh subur di sini, dan seniman-senimannya punya reputasi tak hanya nasional tapi juga internasional,ā jelas KPH Wironegoro saat ditemui di ruang kerjanya dalam kompleks JNM, beberapa waktu lalu.
Alasan lain, komplek bangunan ASRI memiliki nilai historis bagi perkembangan seni di Indonesia. Di tempat yang merupakan cikal-bakal Institut Seni Indonesia (ISI) inilah seniman-seniman besar Indonesia seperti Heri Dono, Butet Kertaredjasa, Jaduk Ferianto, Hanafi, atau Widayat pernah menuntut ilmu.
Yang tak kalah penting, menurut KPH Wironegoro, pertumbuhan seniman baik dari ISI ataupun akademi seni yang lain cukup banyak. Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan adanya sebuah institusi seperti museum di mana para seniman dapat memamerkan karyanya kepada publik.
Ditambahkan KPH Wironegoro, selama ini seni rupa kontemporer adalah sebuah dunia yang eksklusif. Seniman dan karyanya hanya dikenal oleh komunitasnya sendiri. Akibatnya masyarakat Jogja banyak yang tidak tahu kalau di kotanya tinggal seniman-seniman besar bertaraf internasional.
Dengan tujuan lebih memasyarakatkan seni rupa kontemporer itulah JNM didirikan. Kegiatan renovasi gedung mulai dilakukan awal 2006. Namun, pembangunan sempat terhenti akibat gempa bumi 27 Mei 2006 lalu. Pembangunan kembali dilanjutkan awal tahun 2007 dengan menggandeng beberapa perusahaan swasta sebagai sponsor.

Bangunan Jogja National Museum (JNM) dilihat dari pintu masuk di sisi utara. Gedungnya dicat warna kuning. FOTO: Harian Jogja/Eko Nurhuda
Menghidupkan Museum
Lebih lanjut, KPH Wironegoro menyebutkan kalau selama ini museum belum menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jogja. Bahkan masih ada keengganan untuk mengunjungi museum. Hal ini membuat perkembangan seni menjadi terbatas dan hanya diketahui oleh komunitas seni itu sendiri.
“Museum sudah dapat konotasi yang tidak baik di Indonesia. Museum as only gudang penyimpanan karya-karya. Tidak pernah ditampilkan ulang, diceritakan ulang, dirawat ulang, sehingga orang datang ke museum itu bawaannya sudah boring,” jelas suami GKR Pembayun ini.
Atas dasar itulah JNM dibangun sebagai sebuah museum publik di mana semua orang dari segala kalangan masyarakat bisa datang untuk mengapresiasi karya-karya yang dipamerkan.
Hal terberat yang harus dilakukan bagi pengelola JNM adalah bagaimana membuat museum ini diminati oleh masyarakat. Karena itu JNM tak hanya difungsikan sebagai galeri seni tapi juga sebagai ruang publik tempat masyarakat umum dapat menghabiskan waktu senggang untuk berlibur bersama keluarga.
“Yang penting membuat masyarakat mau mengunjungi museum dulu,” kata KPH Wironegoro soal visinya menghidupkan museum sebagaimana di negara-negara Eropa.
Untuk menarik minat pengunjung, pengelola JNM mengakalinya dengan cara menyediakan fasilitas publik. Selain art shop, di komplek seluas 1,4 ha tersebut juga terdapat kantin yang dilengkapi dengan hostspot area di mana masyarakat dapat mengakses internet secara gratis.

Dinding salah satu ruangan di Jogja National Museum yang dipenuhi lukisan-lukisan tradisional. In frame: Mbak Esti, staf JNM. FOTO: Harian Jogja/Eko Nurhuda
Pusat Seni Kontemporer
Sejak awal, JNM dikonsep sebagai sebuah pusat kegiatan seni kontemporer di Jogja. Salah satunya dengan mengadakan pameran-pameran yang digelar secara rutin. Selain itu, ke depan JNM akan dilengkapi dengan beberapa fasilitas yang dapat mendukung perkembangan seni rupa kontemporer.
Contohnya studio residensi seniman yang sedang dalam proses pengerjaan. Studio residensi ini kelak akan menjadi tempat tinggal seniman yang ingin berkarya di Jogja. Fasilitas lain yang akan dibangun adalah perpustakaan seniman, music shop, mess seniman, coffee shop, dan toko material seni rupa.
“Kita juga akan membuat RJ Katamsi Room sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa RJ Katamsi terhadap pertumbuhan seni rupa di Jogja,” kata Eka Esti Susanti, staf marketing JNM saat menemani saya mengelilingi kompleks museum sebelum mewawancarai KPH Wironegoro.
Sejumlah pameran berskala besar pernah digelar JNM. Seperti Biennale Jogja 2007, atau pameran gabungan seniman Indonesia dengan seniman Jepang bertajuk KITA! yang diadakan sepanjang April-Mei 2008 lalu. Atau pameran tunggal karya-karya Agus Suwage dalam rangka memperingati 50 tahun usia seniman besar tersebut, pertengahan 2009 lalu.
Setelah itu ada pameran tunggal Irenius Bongki dan Nasirun yang masing-masing digelar pada September dan Desember 2009.
Catatan: Posting ini merupakan publikasi ulang dari hasil liputan saya di Harian Jogja yang berjudul “Jogja National Museum, Memasyarakatkan Seni Kontemporer”, dimuat pada 7 Juni 2009.
Beri komentar