Highlight:

Sendang Sari, Penghasil Mendong Minus Produksi

SECARA administratif, Desa Sendang Sari terletak di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman. Namun, secara geografis desa ini lebih dekat dengan Kabupaten Kulon Progo. Sendang Sari dan Kab. Kulon Progo memang hanya dibatasi oleh Sungai Progo, atau yang biasa disebut orang asli Jogja sebagai Kali Progo. Karenanya, Suroso–teman kos yang asli Sendang Sari, sering bercanda kalau ia bisa bolak-balik Sleman-Kulon Progo dalam waktu kurang dari 5 menit.

Ya, cukup seberangi saja Sungai Progo, maka sampailah kita di wilayah Kulon Progo.

Sendang Sari merupakan desa penghasil mendong, tanaman yang biasa dijadikan sebagai bahan pembuat tikar selain pandan. Secara sekilas tanaman ini seperti padi, namun jika diperhatikan sangat berbeda sekali. Masyarakat Sendang Sari menjadikan mendong sebagai tanaman andalan setelah padi. Masa tanam mendong pun biasanya setelah masa panen padi.

Satu hal yang membuat mendong menjadi favorit petani Sendang Sari, tanaman ini cukup ditanam sekali saja. Setelah dipanen, biasanya panen pertama sekitar 1-2 bulan, akar-akar yang masih tersisa akan menumbuhkan mendong-mendong baru yang bisa dipanen terus-menerus. Panen tanpa henti ini hanya bisa distop jika petani memberangus habis akar mendong agar dapat tanah ditanami tumbuhan lain.

Mengurus mendong juga tidak sulit. Paling tidak, tanaman ini tidak serewel padi meskipun sama-sama ditanam di sawah. Hanya saja, tentu bakal ada perbedaan antara mendong yang diurus baik-baik (dipupuk, pengairan cukup, gulma dibersihkan) dengan mendong yang diurus ala kadarnya saja. Dan, untuk masing-masing kualitas ada perbedaan harga yang cukup mencolok.

Sayangnya, saya lupa berapa kisaran harga yang dulu pernah diceritakan seorang petani ketika saya berwisata ke Sendang Sari.

Sebagaimana umumnya sentra penghasil sesuatu hasil bumi, di Sendang Sari mendong bertebaran. Kita bisa melihat di depan tiap-tiap rumah penduduk ada tumpukan mendong kering yang diikat dalam gulungan besar-besar. Mendong-mendong tersebut sudah siap jual.

Yang jadi persoalan, petani Sendang Sari menggantungkan sepenuhnya penjualan mendong hasil panen mereka ke pengepul yang biasa berkeliling kampung-kampung mencari mendong berkualitas. Kalau tak ada pengepul yang datang, alamat mendong bakal terus tertumpuk sampai dimakan rayap atau lapuk ditempa panas dan hujan.


Mendong setelah dipanen petani.
Cerita jadi semakin dramatis karena mendong Sendang Sari dipasarkan untuk pengrajin di daerah Jawa Barat. Pengepul yang biasa keluar-masuk kampung adalah kepanjangan tangan dari pengrajin luar daerah tersebut.

Karena hanya bergantung pada satu daerah dan satu sistem penjualan, petani-petani mendong Sendang Sari terpaksa terus menumpuk hasil panen mereka jika tak ada pembeli yang datang. Padahal, kalaupun terjual petani masih harus mengelus dada karena harganya anjlok drastis.

Sangat disayangkan Sendang Sari sebagai sebuah sentra penghasil mendong tidak mempunyai pengrajin yang dapat mengolah sendiri hasil panen tersebut sebagai barang yang siap jual. Kalau saja ada pengrajin lokal yang siap menampung hasil panen petani Sendang Sari, masalah menumpuknya hasil panen dapat teratasi.

Masalah lain memang bisa saja muncul, yakni persoalan distribusi hasil kerajinan. Namun ini dapat diatasi secara kreatif dengan melakukan penjualan melalui internet, dititip-jualkan ke swalayan/supermarket, atau sekalian menggandeng pemerintah daerah. Toh, sekarang Pemda sangat peduli dengan aktivitas kreatif seperti ini.

Itulah sebabnya ketika Suroso, teman saya yang asli Sendang Sari tersebut, bingung merancang-rancang apa yang akan ia lakukan setelah lulus dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD), saya nyeletuk agar ia pulang saja ke Sendang Sari. Ada banyak hal yang bisa ia lakukan di tempat asalnya terbut.

Repotnya, teman saya ini bercita-cita menjadi guru dan telah merintis karir sebagai guru privat serta guru pengganti di sebuah SMA di Jogja. Harus diakui, prospek guru–terutama guru privat–jauh lebih cerah di Jogja.

Kalau akhirnya teman ini memilih menekuni karir di Jogja, entah sampai berapa lama petani mendong di Sendang Sari harus menunggu kehadiran generasi muda desanya yang peduli pada mereka.

Foto-foto: Koleksi pribadi.

Menulis di GoodNovel dan raih penghasilan ratusan USD!
About Eko Nurhuda (412 Articles)
A happy father of three. Blogging and making video for fun. Love food, book, music, and sometime football #YNWA

18 Comments on Sendang Sari, Penghasil Mendong Minus Produksi

  1. Akan hadir, informasi seputar cerita sejarah mangir, kegiatan-kegiatan serta tempat-tempat menarik dimangir yang bisa anda kunjungi. Website mangir http://mangir.web.id

    Suka

  2. sebenarnya sekarang banyak program pemerintah, terutama dari Departemen Pertanian, yang bermaksud untuk memberdayakan potensi pertanian maupun peternakan suatu daerah. ada salah satu teman yang mencanangkan program Sarjana Masuk Desa dan berhasil mendapatkan dana kurang lebih 300 juta an untuk usaha penggemukan sapi varietas tertentu. ia koordinir para petani dan peternak dalam suatu wadah untuk menjalankan program yang sudah direncanakan. uniknya, meskipun beliau ini seorang magister, yang jadi ketua kelompok taninya hanyalah lulusan SD. so, apabila ada keinginan untuk mengembangkan potensi mendong misalnya, tinggal ada kemauan dari sarjana setempat untuk memulai analisis usaha dan membuat semacam proposal bantuan kepada Deptan setempat. gimana?

    Suka

  3. Dari kemarin mau komentar ngga bisa2 bung ^_^ koneksi lelet.
    Ooh ini tho bahan baku tikar itu? Saya malah baru tau :D, wah jangan2 apa yg saya kira padi itu mendong? ckckck..
    Hmm, kenapa harus menunggu pengepul datang ya bung. Kenapa ngga jemput bola saja, langsung mendatangi sentra produksinya. Ya, mungkin pada awalnya sulit, tapi selanjutnya kan jadi lebih mudah. Apalagi media komunikasi kan gampang, pakai sms jg bisa.
    Lebih bagus lagi jika membuat sentra produksi sendiri. Memang pemda harus turun tangan, kalau tidak ya repot, sulit untuk maju. Apalagi generasi sarjana sekarang memang begitu, lebih mementingkan karir sendiri daripada membangun daerahnya masing2.
    Semoga petani mendong dsana dapat menemukan jalan keluar yg lebih baik ya bung.
    oya, bung dapat tag dari saya ^_^ kalau berkenan diambil, kalau tidak ya tak apa bung 🙂
    met aktivitas ya bung, salam.

    Suka

  4. Ini tananman yang biasanya suka tumbuh kalau selesai panen padi. dulu saya juga sering lihat neh, karena saya anak petani jadi lumayan tau, namun kalau didaerah saya sekarang sih udah jarang.
    Menanggapi tentang cerita akhir memang harus putra daerah yang turun tangan karena memang siapa lagi kalau bukan putra daerah yg majuiin daerahnya sendiri.
    Salam kenal Mas Joe

    Suka

  5. gus ikhwan:
    Oya? Wah, tiap kali ke Pemalang saya pasti ngelewati daerah Gus dunks..? Oke deh, tar kalo pas saya pulang motoran saya mampir. Oke?

    Blogger Terpanas:
    Setuju, Mas. Saya juga lebih suka make tikar mendong atau tikar pandan ketimbang tikar plastik. Selain lebih hangat, juga lebih empuk. 😀

    Kika:
    Gempuran media susah dibendung, Bung. Itulah tugas berat kita sebagai generasi muda Indonesia.

    munawar am:
    Krisis identitas? Barang sendiri diabaikan, tapi begitu ada yang mengklaim barang tersebut sebagai miliknya, rame=rame protes. Kesadaran dan kebanggaannya sebagai orang Indonesia masih diragukan, Kang. 😀

    belajar investasi:
    Yups, saya setuju sekali, Bung.

    buJaNG:
    Bener kan nyangka itu padi kalo dari jauh. Saya juga pertamanya begitu, saya kira padi. Btw, daerah mana sih itu, Bung? Bujang Rimbo bagian mana tuh yang rawanya diubah jadi kebun karet dan membuang Bung Bujang gak bisa mancing lagi? Kasihan betul. Besok kalo ke pulang saya undang ke Sungai Bahar deh, masih banyak sungai di Sungai Bahar. ^_^

    Suka

  6. Weleh… sepintas saya kira tadi itu tanaman padi. ditempat saya tanaman seperti ini tumbuh liar dirawa, nggak diapa2in. tapi kemungkinan sekarang dah musnah karena ditempat saya rawa yang terbengkalai sudah diubah menjadi perkebunan karet. tak ada lagi tempat memancing dirawa setiap pulang kampung gara-gara rawa2 yang sudah berubah menjadi perkebunan tadi 😦

    Suka

  7. Di Desa Kebon Peuteuy Kang, sekarang aku kurang smeangat ngurusinya karena susah sekali mengatur orangnya. Mungkin aku yang kurang bersabar.

    Suka

  8. @kika: kalo boleh tahu dimana alamat taman bacanya yang di Cianjur ya? insya Allah kalau ada waktu saya sempatkan mampir ke sana, terima kasih sudah berkenan sharing bersama di blog ini; memang materialisme telah mengalami mewabah sampai pelosok desa

    Suka

  9. terbukti hingga saat ini beberapa komoditas kita merajai dunia. dan ketika kita teliti lebih lanjut, masih banyak aset agraris kita yang belum tersentuh dunia investasi. salah satunya mendong tadi. dulu ketika belum zaman biodiesel, pohon jarak jarang dilirik. tapi sekarang banyak dicari untuk diambil minyaknya

    Suka

  10. kalau dalam dunia investasi dikenal sebuah adagium, “the best investment in the earth is earth itself”. investasi terbaik di muka bumi adalah bumi itu sendiri. apalagi di negeri kita yang kaya akan sumber daya alam.

    Suka

  11. sekarang ini memang sudah memasuki zaman springbed, Mas. tidak mudah mengangkat derajat produk lokal-tradisional-rorisinal asli indonesia jika pemerintah tidak memberi ruang gerak yang leluasa bagi para petani Mendong itu. Mengapa kok yang berkaitan dengan produk lokal-tradisional-orisinal terus menerus tergusur dengan produk baru yang datang silih berganti? Ini semua karena salah menagemen barangkali yahh?

    Suka

  12. Kirain hotel di kampung halamanku, namanya sama Sendang Sari.
    Aku mendirikan taman baca di Cianjur dan beberapa tempat yang pendidikannya tertinggal, sungguh sebuah perjuangan tanpa henti. Glamournya kehidupan kota telah membuat segala sesuatu hanya materi bagi mereka. Prinsip materialisme tidak hanya banyak di kota, kenyataannya di Desa sangat banyak. Juga cara-cara instan yang masih di dewakan.

    Suka

  13. terima kasih bung atas informasinya, namun sekarang sepertinya sudah jarang yang mempergunakan tikar dari mendong. mereka lebih suka memakai tikar dari plastik. padahal, tikar mendong itu juga bisa berguna untuk selimut jika berada di daerah pegunungan seperti tempat saya. dari pada memakai selimut kain, masih lebih hangat berselimutkan tikar mendong. mungkin perlu inovasi model dari para pengrajinya bung, agar tikar mendong tetap bisa bersaing.

    Suka

  14. Bung Eko
    kok ga mampir ke rumah gus sih, padahal itu nglewati rumahnya gus ikhwan..
    rumah gus ikhwan itu deket telkom temanggung, kalau main ke daerah temanggung mampir ke padepokan gus ikhwan ya,

    soal mendong sendiri terus cara membuatnya gimana prosesnbya maksut saya
    secara manual atau udah pake mesin

    Suka

  15. belajar investasi: Itulah kelemahan kita, Bung. Sayang sekali, padahal kalau bisa dikelola dengan baik, hasil bumi Indonesia lebih kalau cuma untuk menghidup 230 juta lebih warga negaranya ini. Cuma karena sistem yang salah urus ini jadinya malah gak karu-karuan. Kasihan para petani…

    gus ikhwan: Wah, kalau Sendang Agung saya malah baru tahu, Gus. Coba deh nanti saya cari tahu informasinya.

    Mendong itu semacam tumbuhan rawa yang biasa dipakai untuk membuat tikar (kloso). Saya dulu sempat berkunjung ke Parakan, tapi dari RS Panti Waluyo itu masih naiiiiik lagi ke atas sampai kira-kira 2 KM. Nama desanya lupa, tapi kalau disuruh ke sana lagi insya Allah saya ingat karena sudah beberapa kali ke sana.

    Suka

  16. terima kasih telah share bung.
    mendong itu apa sih, kok kayaknya asing ditelinga gus, setelah mampir dan menyimak2 postingan bung eko ini, akan menambah kosakata saya..
    hasil panen petani sendang sari [mendong] tersebut dikumpulkan dimana bung..
    finishing dari tanaman mendong itu apa bung wujudnya..
    kalau di daerah gus di temanggung dikenalnya di penjuru nusantara sebagai penghasil terbesar tembakau se indonesia, ga heran ketika para petani tembakau melakukan demo ke jakarta dan ke pemkab soal fatwa haram..

    Suka

  17. tak kira desa sendangsari kecamatan purwodadi, ternyata ada juga ya desa sendang sari terletak di kecamatan minggir, kabupaten sleman, gus malah ga tahu soal ini yang gus tahu malah desa sendang agung itupun gus tahu karena ada mitos upacara adat yang memusatkan “pemujaan” kepada tokoh ki ageng tunggul wulung..
    dan apa benar ki ageng tunggul wulung itu merupakan leluhur dari kerajaan majapahit
    mohon konfirmasinya bung eko, karena gus belum sempat kesana itupun gus tau dikit2 karena sering dengar teman2 cerita.

    soal hadiah ga masalahlah, lagian gus berkomentar karena ingin membangun networking

    Suka

  18. terima kasih telah berbagi ceritanya bung Eko
    di daerah saya, Cianjur, beras merupakan komoditas utama yang menjadi andalan dan penyumbang PAD terbesar bagi pemerintah daerah, selain obyek wisata alam yang ada di lereng Gunung Gede dan kota Cipanas. siapa pun akan mengenal keunikan dan kekhasan beras Cianjur. Lahan hektaran terhampar luas mulai dari Ciranjang hingga Warungkondang. namun kini tidak jarang saya lihat, papan-papan iklan 'Dijual' mulai bermunculan di sawah-sawah tersebut. Bahkan beberaoa areal produktif telah disulap menjadi perumahan elit. Tambahan lagi generasi penerus petani sudah banyak yang tidak mau jadi petani. Mereka lebih memilih karir di ibukota atau menjadi TKI di luar negeri (perlu diketahui Cianjur termasuk pemasok terbesar TKI ke daerah Timur Tengah)
    lahan mendong merupakan lahan prospektif, namun bila tidak ada yang mampu mendayagunakan produksinya, maka nasib para petani mendong akan seperti sekarang saja.
    salam

    Suka

Beri komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.